BRIANA - 5

8.2K 977 13
                                    

Author POV

Ryo mendorong kursi roda yang di duduki anak sulungnya itu dengan tenang, Will terlalu tenang sejak kecelakaan yang merenggut Olive dan calon anak mereka.

“Ana tampak lelah” kata Ryo ketika mereka memasuki apartemen, dan Briana tampak terlelap damai di sofa.

“Biarkan saja” kata Will.

“Dad bantu ke kamar?” Tanya Ryo, namun langsung mendapat gelengan dari William.

“Pulanglah Dad, Mom pasti lebih membutuhkanmu”
Sebelum membawa William Pulang, Ryo mendapat telfon dari pelayan rumah mereka karena kondisi sang istri kembali memburuk.

William sudah meminta Ryo agar kembali ke rumah mereka terlebih dahulu, namun Ryo bersikeras untuk mengantar anak laki lakinya itu terlebih dahulu.

“Kamu baik baik, ingat apa yang dokter katakan, Mom butuh kamu sembuh Son” Will mengangguk mengiayakan perkataan Ryo.

Will menggerakkan tangannya menuju dapur setelah Ryo keluar dari apartemen.

Ia mengambil air minum, biasanya Briana akan mengambilkan minum untuknya, tapi tampaknya wanita itu terlihat lelah hingga Will tidak tega untuk membangunkan wanita itu.

Will kembali setelah ia menegak segelas air putih dingin.

Di sofa, ia melihat Briana bergerak gelisah , kening Will berkerut samar.

“No…. Adam Noo” suara teriakan Briana yang cukup keras membuatnya terkejut, apalagi Briana langsung terduduk.

“Briana, Ada apa?”

***

Briana POV

Belum juga kesadaranku kembali, suara Will terdengar mengembalikan seluruh nyawaku yang sempat melayang.

“Will, aku fikir kamu belum pulang” kataku seolah tak terjadi apapun, dia masih bergeming di tempatnya, matanya menyiratkan rasa penasaran.

“Hanya mimpi buruk Will” jawabku setelah menghela nafas pelan, aku tak ingin menceritakan apapun pada Will setidaknya untuk saat ini.

Dan aku bersyukur ketika Will memilih mengerakkan kursi rodanya ke arah kamarnya, tanpa bertanya lebih lanjut.

Aku menyusulnya setelah beberapa saat menenangkan diri.

“Apa aku juga sering berteriak dalam tidurku” pertanyaanya membuatku menghentikan langkahku, Will memilih memberhentikan kursi rodanya di dekat jendela.

“Kadang-kadang” jawabku pelan, aku berdiri memperhatikan punggungnya yang tampak begitu rapuh.

“Apa mimpimu begitu buruk?” Will memutar kursi rodanya agar bisa bertatapan denganku, aku bergeming tak menjawab apapun.

“Karena mimpiku begitu buruk hingga aku menjerit saat tertidur” katanya menutup percakapan kami yang sebenarnya lebih di dominasi olehnya.

Dia memintaku untuk membantunya berbaring di tempat tidur.

“Kau tak ingin membersihkan diri?” tanyaku padanya.

Dia menggeleng.

“Aku sudah terlalu lelah” aku hanya mengangguk.

Ketika aku akan keluar dari kamarnya aku teringat akan sesuatu.

“Will, kau belum meminum obatmu”

***

Pagi pagi sekali, aku membangunkan Will ingin mengajaknya ke sebuah taman kota terbesar di Jerman. Walau awalnya mengeluh, Will tetap mau ku ajak.

Rey membantu menurunkan kursi roda milik Will dari bagasi mobil.

“Thanks Rey” kataku padanya, dia hanya mengangguk dan tersenyum singkat.

Tiegarten, tempat ini tampak cukup sepi karena aku sengaja mengajak Will ketika Weekday, agar kami tak perlu berbagi tempat dengan orang banyak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Tiegarten, tempat ini tampak cukup sepi karena aku sengaja mengajak Will ketika Weekday, agar kami tak perlu berbagi tempat dengan orang banyak.

“Kau harus mendapat matahari pagi, Will” kataku padanya ketika aku tengah mendorong kursi rodanya pada jalanan kecil yang biasanya di gunakan untuk bersepeda atau jogging.

“Will kau tak ingin segera sembuh?” tanyaku ketika William hanya diam, menikmati angin sejuk yang menyegarkan di pagi hari.

“Kau mulai kerepotan merawatku?” dia balik bertanya padaku.

Aku menggeleng walau dia tak melihat.

“Tidak… aku hanya ingin kau kembali ke kehidupanmu yang sesunguhnya, walau aku tak tau bagaimana kehidupanmu sebelumnya” aku sedikit menunduk, menatap puncak kepalanya.

Rambutnya yang hitam agak sedikit berantakan karena dia hanya menyisir rambut tebalnya dengan jari-jarinya.

“Kau tak pernah tau rasanya kehilangan, Bri”
Aku bahkan mungkin sama hancurnya dengannya, bahkan Adam meninggalkanku ketika kami baru 2 hari menikah, demi Tuhan.
Aku begitu hancur.

“Semua orang pernah merasakan kehilangan Will” aku menghela nafasku pelan, menghalau sesak yang kian menghimpit dadaku.

“Kau tak bisa terus mendewakan rasa egoismu, mengorbankan perasaan orang orang yang masih menyayangimu Will. Ibu, Ayahmu masih berharap dengan sangat besar atas kesembuhanmu” kataku panjang lebar.

Aku tau itu kebohongan, karena pada kenyataannya aku dulu pernah mengurung diri selama berbulan-bulan, mengabaikan orang-orang yang sama terlukanya denganku, dan aku menambah luka mereka dengan terus mendiamkan mereka.

“Perjalananmu masih panjang Will”

BRIANA ✔Where stories live. Discover now