17. Sepucuk pesan.

761 144 22
                                    

Ini pagi yang kesekian setelah Yuki menginap di rumah Keyna. Semuanya mulai berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada lagi suara sumbang di balik punggung Yuki, mungkin hanya dua atau tiga orang yang masih membicarakan mereka. tapi Yuki dan Keyna sepakat menutup telinga dari suara-suara itu, seperti biasanya.

Dalang dibalik berita mereka pun terungkap, tak perlu dijelaskan bagaimana cara ayah mereka mencari tahu. Sejak hari itu juga Yuki tak pernah lagi menemukan Kesha sejauh mata memandang. Sebagian dirinya bersyukur, sebagian lagi penasaran. Tapi pada akhirnya Yuki memutuskan tak lagi peduli.

Yuki memasukkan beberapa buku ke dalam tas punggungnya. Ketika pintu kamarnya diketuk oleh sang ibu, Yuki menjawab akan turun sebentar lagi. Menenteng tas di tangan kiri, sejenak Yuki memandang boneka koala yang pernah Al berikan. Boneka itu duduk manis di atas ranjangnya. Menghela nafas panjang, Yuki keluar dari kamar.

Genap satu minggu, sejak chat terakhir mereka malam itu. Al menghilang tanpa jejak. Bahkan ketika Yuki, yang diseret Keyna, datang ke kelas pemuda itu yang dia temui hanya Gio, yang sama tidak tahunya perihal kepergian Al yang mendadak dan tanpa pamit.

Sering kali Yuki termenung. Berfikir, mungkinkah Al hanya imajinasinya. Tapi boneka koala dan gelang pemberian Al adalah bukti jika pemuda itu nyata adanya. Bukan sekedar fatamorgana.

"Kamu dijemput Papa kamu lagi?" tanya Amira sembari menghidangkan sepiring nasi goreng extra telur di depan Yuki.

"Iya, semalem udah telfon bilang mau jemput." Yuki mulai memakan nasi gorengnya.

Hubungan Yuki dan Ayahnya semakin membaik dari hari kehari. Setiap pagi Tatji datang untuk mengantar Yuki dan Keyna ke sekolah, jika tidak sempat dia akan datang untuk bicara sebentar pada Yuki. Benar-benar tidak menyiakan kesempatan yang Yuki berikan untuknya.

"Mas Danang sama Pak Darto udah pergi?" kata Yuki ketika tak melihat wajah kedua kakaknya.

"Mereka bilang mau ketemu dosen, mau bimbingan sekripsi kalo nggak salah."

"Setelah lima semester mereka kuliah, baru mau bimbingan sekripsi?"

"Iya." Amira mengangguk kaku. Sebagai ibu, dia merasa gagal. "Ki, kamu nggak boleh niru mereka."

"Baik Ma. Yuki nggak akan nunggu lima semester."

"Bagus." Setidaknya masih ada satu harapan lagi. Amira tersenyum elegan.

"Tapi enam semester."

"Apa!"

Yuki terkekeh, mencium pipi Amira sekilas lalu berlari keluar rumah. Dia mendengar suara mobil Ayahnya sejak beberapa menit yang lalu.

"Yuki, Mama serius! Awas ya kamu!" teriak Amira. Yang dibalas Yuki dengan lidah menjulur.

"Kamu ngapain lagi?" ucap Tatji sesaat setelah Yuki masuk ke dalam mobil. Tatji tadi sempat mendengar Amira berteriak.

"Paling iseng lagi sama Mama Amira, Ikuy kan emang hobi bikin Mama darah tinggi." Keyna yang duduk di kursi belakang bersuara.

"Jangan keseringan bikin Mama kamu marah. Nanti marah beneran serem lho." Tatji menyarankan. Dia ingat saat mereka masih bersama, Amira itu jarang sekali marah, tapi sekalinya marah bisa benar-benar terjadi bencana.

Yuki mengangguk malas. "Iya, cuma iseng aja kok."

Mobil yang mereka tumpangi bergulir di jalanan ibu kota. Kepadatan membuat kepala pening, suara bising dari kendaraan pun saling bersahut-sahutan. Hingga setengah jam kemudian, barulah mobil Tatji berhenti di depan sekolah Yuki dan Keyna.

"Mau Papa jemput?" tawar Tatji sebelum Keyna dan Yuki turun dari mobil.

Belum sempat Yuki menjawab, Keyna sudah lebih dulu menyambar. "Nggak Pa, kita mau pergi sepulang sekolah nanti."

|| BOOK TWO : ALKI || Terima KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang