14. kejutan di pagi hari

684 165 13
                                    

Detik jam, suara jangkrik, dan malam yang semakin larut. Yuki menutup pintu kamarnya dengan hela nafas panjang yang terdengar lelah. Mungkin karena ini hari yang panjang untuknya. Baru saja Yuki selesai membelikan makanan untuk kedua kakaknya yang nyaris sekarat, untungnya pedagang nasi goreng lewat depan rumahnya.

Yuki berbaring di atas ranjangnya. Mata coklat keemasan gadis itu melihat langit-langit kamar. Pikirannya melayang jauh. Pada kehidupannya yang rumit, pada keluarganya yang lain.

Apa benar Keyna juga terbebani? Kenapa tak terlihat seperti itu?

Tangan Yuki meraih ponselnya yang berada dalam tas. Dipandanginya ponsel itu lamat-lamat, nama Keyna terlihat di layarnya. Ragu, Yuki menekan ikon telfon pada layar. Yuki menggigit kukunya gelisah. Dia harap Keyna sudah tidur.

Tapi saat sambungan berakhir, berganti dengan suara Keyna di seberang sana. Harapan Yuki ternyata tak terkabul.

"Halo?"

"Hai, Key." Yuki tak pernah merasa secanggung ini saat bicara dengan Keyna. "Udah tidur, gue ganggu?"

"Nggak. Gue nggak bisa tidur. Lo sendiri?"

"Gue baru pulang, tadi jalan dulu sama Al."

"Wah, berarti sukses ya."

Yuki bisa merasakan jika Keyna sedang tersenyum lebar. "Ya, gitu deh."

Hening yang tak pernah tercipta di antara Yuki dan Keyna, kini membentang beberapa waktu. Yuki yang tenggelam dalam pikirannya, Keyna yang tak tahu harus bicara apa lagi.

"Keyna?" hingga Yuki akhirnya memutus keheningan mereka.

"Iya?"

"Apa lo juga terbebani kayak gue?"

"Apa?"

"Tentang keluarga kita. Gue selalu ngeliat lo baik-baik aja, itu beneran kan, atau lo juga terbebani kayak gue?"

Keyna tahu cepat atau lambat Yuki akan menanyakan hal ini. Baik-baik saja, Keyna tak bisa menyebutnya begitu. "Gue nggak mau bikin lo khawatir." sebab Keyna tahu seperti apa Yuki.

"Jadi bener ya, bukan cuma gue." Yuki bicara, entah pada Keyna, atau pada dirinya sendiri. "Keyna, apa gue terlalu berlebihan?"

"Nggak. Gue malah kagum sama lo, Yuki. Kalo gue yang ada di posisi lo, mungkin gue nggak bisa kayak gini. Lo nerima gue, lo nggak benci sama nyokap gue. Makasih ya, Yuki." suara Keyna bergetar halus.

"Keyna, gue capek. Rasanya gue mau lari, sejauh mungkin. Tapi di satu sisi gue juga tahu. Lari dari kenyataan nggak akan nyelesain masalah, dan..." Yuki menghapus setetes air mata yang jatuh. "....dan gue nggak mau jadi pengecut. Keyna?"

"Iya?" suara Keyna mulai sumbang, tanda air matanya pun mulai menitih.

"Boleh gue, makan malam di rumah lo?"

Tak apa jika kau tak sekuat karang. Jadilah batu, yang walaupun terlihat serupa tapi sebenarnya tak sama. Dan jika kau merasa kesepian, jadilah pantai, yang tak pernah ditinggalkan laut apapun yang terjadi.

Yuki berjalan selama sepuluh menit. Dari halte tempatnya turun setelah menaiki bus. Dia melihat lalu-lalang orang, beberapa murid sekolahnya atau sekolah lain juga terlihat.

Dari kejauhan Yuki melihat Keyna berdiri di samping mobilnya. Gadis itu tersenyum lebar, melambaikan tangannya pada Yuki. "Ikuy!"

Yuki tersenyum tipis. Dia menatap langit cerah pagi ini. Musim hujan hampir usai, daun hijau mulai tumbuh, bunga di tepi jalan kembali dihinggapi serangga. Ini hari yang baru, semua akan dimulai lagi dari awal, dan Yuki  telah siap menghadapinya.

|| BOOK TWO : ALKI || Terima KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang