Chapter 10A

1.7K 198 11
                                    

***

Satu kursi di ujung sebuah bis kota tengah terduduki oleh seseorang dengan pandangan menunduk, nampak muram. Dengan sebuket bunga krisan putih digenggaman, harumnya menyeruak indra penciuman.


Mentari masih berdiri di singgasana nan cahaya jingga berpendar menghiasi langit. Seseorang di dalam bis tersebut adalah Taehyung. Garis keringat di kedua pelipis serta surai tak keruan merupakan buah tangan dalam menghindari hujaman pertanyaan dari Jungkook tadi siang. Taehyung akhirnya bisa lolos dari temannya tersebut setelah mengerahkan tenaga lebih untuk berlari.

"Yak! Setidaknya biarkan aku ikut bersamamu!"

Itu kata terakhir yang Taehyung dengar dari sahabatnya. Jungkook kelewat khawatir, namun Taehyung tak menggubris.

Karena ia hendak menemui seseorang dan butuh waktu untuk sendiri.

Menaiki bus kota dalam keadaan hati yang berkecamuk, getir yang tertahan memupuk relung hati, serta akal sehat digerus secara rakus—Taehyung tenggelam dalam kubangan lukanya sendiri. Hendak mencari jawaban berikut penjelasan atas semuanya.

Decitan pelan roda terdengar tak lama kemudian setelah bis direm. Taehyung segera keluar dengan langkah panjang dan cepat, menelusuri jembatan lalu beberapa penyebrangan, berbelok pada jalan tertentu. Meski kelelahan, Taehyung enggan menghentikan langkahnya. Sesuatu menuntutnya untuk hal itu.

Dentuman sepatu terhenti di atas rerumputan hijau. Taehyung mematung di tempat tujuannya.

"Hyung ... Aku tidak bisa," Taehyung bergumam. "Aku tidak bisa melakukannya, ini sangat—"

Ada sesuatu yang membuat kerongkongannya serasa terjejal lumpur, sulit bernapas apalagi berucap. Mata hazel itu terasa memanas, pula dadanya terasa terhimpit.

Seokjin.

Karena nama itu.

Taehyung menderita karena Seokjin yang sekonyong-konyong pergi meninggalkan dirinya sendiri, tanpa pamit.

Taehyung benci.

Mengapa Seokjin tega membuat hidupnya sebegitu menderita? Taehyung hanya ingin bahagia. Nyata atau tidaknya semua kebahagian itu, ia sudah memilih. Namun semesta sepertinya tidak ingin Taehyung merasakan hal itu kendati ia telah berusaha.

Meneguk saliva perlahan, Taehyung mengangkat pandangannya yang menunduk sebelum berkata, "Hyung, mengapa kau harus berjanji lalu mengingkarinya, eoh? Kau berjanji akan selalu berada di sisiku, tapi mengapa—"

Tubuh jenjang itu ambruk perlahan, berlutut dengan tangan terkepal erat hingga buku jari memutih. "Mustahil aku mengakhiri semua ini, hyung. Sejak awal, aku bahagia bisa melihatmu lagi."

Terisak, Taehyung tenggelam dalam luka getir terbalut kerisauan nan nyata. Bagaimana bisa semua menjadi seperti ini? Yang ia inginkan hanyalah hidup dalam sedikit kebahagiaan, melewati hari-hari bersama sang kakak tanpa perlu mengingat kesedihan.

Cukuplah kedua orang tuanya saja yang pergi, jangan sertakan Seokjin.

Cukuplah dunia sekali mencekiknya dengan kepulangan eomma dan appa, tak lagi dengan Seokjin.

Taehyung hanya mendambakan hal tersebut, tak lebih.

Sesederhana itu.

Kendati tetap, pada kenyataannya, semua afeksi yang Taehyung ciptakan adalah semu. Tidak nyata. Batin Taehyung tak mengingkari hal itu. Ia nyaris menertawakan semuanya.

ENMESHEDWhere stories live. Discover now