Chapter 08

1.5K 220 25
                                    

Flashback (2/3)

Cahaya.

Putih.

Buram.

Seokjin mengerjap sekali lagi. Langit-langit warna putih terang dan wajah Taehyung terpampang di samping sana.

"Hyung," panggil adiknya.

Mulut Seokjin bergerak menyebut nama Taehyung. Syukurlah, ia berhasil selamat.

Taehyung bernapas lega di kursinya. Ia berkata senang, "Sudah kuduga kau pasti bisa bertahan, Hyung. Dan kau sadar sebelum hari ulang tahunmu. Aku tahu kau tidak akan rela melewatkan momen berharga itu."

Seokjin terkekeh lemas. Dadanya masih terasa ngilu. Perban putih mengelilingi dada sampai perutnya dengan rapi walau tertutup piyama rumah sakit. Rasanya kurang nyaman. Tetapi semua siksaan itu terbayar mendengar tawa khas Taehyung yang paling ia rindukan selama sibuk bekerja.

"Terima kasih, Tae. Karenamu aku selamat."

"Dan karena usahamu juga, Hyung. Aku yakin, Tuhan tidak akan tega mengambilmu dariku setelah Eomma dan Appa ...." Wajah Taehyung berubah muram, ia melanjutkan lebih lirih, "Aku akan hancur jika hal itu terjadi."


***

Seokjin masih dirawat di rumah sakit besar tempat adiknya bekerja. Sudah dua hari ia menginap di sini. Agaknya cukup bosan. Taehyung bilang, luka Seokjin sangat dalam, butuh seminggu pemulihan di rumah sakit sebelum diperbolehkan pulang ke rumah. Menjengkelkan. Apalagi saat Taehyung acap kali datang ke ruang rawat Seokjin hanya untuk memastikan kebutuhannya terpenuhi. Padahal sudah ada suster, Taehyung masih saja memperlakukannya seperti anak SMP yang sedang sakit. Taehyung menanyakan apa-apa yang dirasakannya setiap berkunjung.

Ah, adiknya yang rewel itu memang sulit dikendalikan jika begini. Seokjin pasrah saja. Toh mengingat kekhawatiran saat Taehyung membawa brankarnya kala itu cukup membuat Seokjin jadi anak penurut. Semoga dengan begitu ketakutan sang adik terhapuskan.

Namun, karena kekhawatiran itu pula, Seokjin kesulitan mengatakan bahwa akhir-akhir ini ia sering merasa mual dan pusing. Kadang menghujam tanpa ampun diringi napas yang memberat. Seokjin tidak sebodoh itu untuk tidak mengetahui ada sesuatu yang salah di tubuhnya. Entah itu kesalahan operasi atau apapun, ia mempunyai firasat buruk mengenai hal tersebut.

"Suster, bisa tolong berikan aku pena dan kertas?" ucap Seokjin merasakan sesak di dadanya semakin memburuk. "Aku ingin menulis sesuatu untuk adikku."

Suster yang baru saja menambahkan cairan infus mengangguk dan menyodorkan benda yang diminta Seokjin. Melihat si pasien mengerenyit, suster itu bertanya lembut, "Anda baik-baik saja, Tuan? Apa perlu saya panggilkan Dokter Kim?"

"Ah, tidak usah. Tinggalkan saya sendiri. Saya akan memanggilnya nanti."

"Baiklah. Saya permisi." Wanita itu membungkuk sebelum pergi karena tidak ingin menganggu privasi pasien.

Seokjin merespons dengan anggukan. Lantas ia melanjutkan tulisannya.

Teruntuk adikku yang menyebalkan sekaligus tampan,

Kim Taehyung.

Sebelumnya maafkan aku. Maaf jika kau harus membaca surat ini. Artinya aku sudah tiada.

Meski banyak yang ingin kukatakan, yang jelas; semenjak terbangun, aku merasa ada sesuatu yang salah dengan tubuhku. Firasatku buruk tentang hal ini. Jadi maaf.

Maafkan Hyung, Tae.

Aku melarangmu menyalahkan diri sendiri. Ini murni takdirku. Lagipula aku yakin kau bisa hidup tanpa seorang kakak. Kumohon, jangan menyerah, hm? Aku tak akan memaafkanmu jika kau sampai terluka.

Maaf untuk waktu yang sempit dan sedikit karena pekerjaanku yang kau sebut bodoh. Kau memang pantas mengatakannya. Aku dan pekerjaanku yang bodoh ini terlalu egois sampai menelantarkanmu.

Aku tahu, selama ini kau kesepian, tetapi obsesiku untuk menghidupimu dan menangkap para penjahat itu membuatku tidak berdaya. Apapun itu, karena aku sangat menyayangimu, Tae.

Lagipula ada bagusnya, kau akan terbiasa hidup tanpaku nanti. Perasaan kehilangan tidak akan berlangsung lama. Kau harus segera bangkit dan menyampaikan padaku bahwa kau bisa hidup sendiri sebentar saja sebelum pendampingmu datang. Janji?

Banyak permintaan maaf yang kuucapkan di sini. Terutama untuk janji-janji yang telah kulanggar. Janji dimana kita akan merayakan kelulusanmu, yah ... kau tahu, daging bakar dan pesta soju, aku justru membawamu ke supermarket kecil dengan empat cup ramen instan super pedas sampai kau sakit perut.

Sungguh, maafkan aku. Maaf untuk segalanya, Tae.

Oh iya, untuk temanmu itu; Jungkook, sepertinya dia sangat perhatian padamu. Kalian terlihat seperti saudara kandung. Kumohon, jangan lepaskan orang setulus dia. Aku bisa melihatnya melalui sorot khawatir Jungkook saat menatapmu dan bercerita tentangmu kemarin sore. Ya, dia sempat berkunjung ke kamarku. Mengenalnya membuatku tidak terlalu khawatir meninggalkanmu.

Tolong, saling menjaga. Sampaikan pula ucapan terima kasihku padanya.

Khususnya untukmu, Terima kasih, Taehyung. Tanpamu aku tidak akan melangkah sejauh ini.

Jangan terlalu lama bersedih. Jaga dirimu. Aku mengawasimu di sini.

Hyung-mu,
Kim Seokjin.

Seokjin terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya. Napasnya semakin terasa menyakitkan. Mual dan pening menyerang lagi. Ia melipat surat itu sebelum menaruhnya di bawah gelas berisi setengah air.


Wajahnya bertambah pucat. Ia meringkuk memegangi perutnya. "Eomma ... uhukk ... Appa, Sekarang 'kah waktunya? Bagaimana ... Bagaimana dengan Taehyung?"

Kini erangannya menyatu dengan isak tangis. Dalam hati, Seokjin tak henti meminta maaf. Taehyung ... Semoga dia baik-baik saja. Harus. []

ENMESHEDWhere stories live. Discover now