Bagian 2

45 3 1
                                    

     Pagi sekali, setelah kegiatan rutin pagi di hari libur. Sarah memutar gagang kamar kami terburu. Seperti sedang ada diskon akhir tahun di kamar ini.


     "Ra, tadi malam apakah kamu melewati jalan di kawasan gedung lama?" Matanya menyorotiku penuh misteri.
     "Maksut kamu gang sesak itu? Yah kau tahu aku terpaksa melewatinya sendirian karena proyek konstruksi yang belum usai, Kenapa Sar?"
     "Jam berapa tepatnya?" Nafasnya memburu, semakin cepat.
     "Yah sekitar jam delapan." Dia semakin menunjukan eksperi gelisah dengan mulut menganga, dia menunjukan koran pagi.
     Seorang gadis ditemukan tidak bernyawa di Kawasan gedung lama! Sebuah headline berita yang membuat bulu gudukku kembali berdiri, menghadirkan kembali kengerian malam itu. Aku membaca menelurusi kembali. Dibawahnya terpampang sebuah foto. Sebuah wajah dengan kengerian yang aku lihat samar samar tadi malam. Wajah ini, wajah yang sama. Lelaki itu! Berita itu berkata bahwa kejadian diperkirakan terjadi pukul delapan lewat lima belas menit. Sungguh hanya berselang sepuluh menit setelah melewatiku! Satu lagi, dia pembunuh berdarah dingin yang kini tengah jadi incaran empuk polisi kota. Dan aku semalam bertemu dengannya di gang sempit itu! Tubuhku melemas. Tulang punggungku seperti telah habis dimakan rayap. Jemariku tak lagi mampu memegang lembaran koran ini yang bahkan beratnya kurang dari berat tugas makalahku. Sebuah kelegaan dan kengerian seakan merajang datang bersamaan.
     Bahkan Sarah terheran, kami terheran, sangat. Seumur hidup aku hanya melakukan sujud syukur dua kali saat aku menerima beasiswa di kampus ini dan sekarang. Menerima kenyataan bahwa aku masih hidup dan baik-baik saja adalah lebih melegakan daripada kelolosan itu. Pikiranku masih meradang mengenai kejadian tempo malam. Otakku masih belum bisa menerima logika ini. Sebagai calon magister matematika, kemungkinan ini sangat kecil. Sama dengan saat kau melemparkan seratus dadu, dan berharap kesemuanya muncul kelipatan tiga di permukaan. Ah! pikiran ini harus segera dienyahkan. Bahkan dia mulai mengusik ketenangan mengerjakan penilitan besarku.
     Tiga hari berlalu. Hari ini sepulang dari kampus, aku memanggil Sarah. Menelpon dia dan memutuskan apa yang kami bicarakan tadi malam. Sebuah kegilaan katanya. Tapi aku harus menghentikan pikiran ini. Dan ini satu satunya jalan. Ya! Menemui lelaki pembunuh itu! Aku sudah mendapat alamat bui yang ia tinggali dari seorang teman yang ibunya mantan sherif di kota ini. Kami berdua akhirnya bertemu di persimpangan jalan pemberhentian kereta.
"Kau yakin?" Sarah menatapku bimbang.
"Ya, tentu saja sangat yakin. Engkau tidak tau rasanya diikuti perasaan ini selama ribuan jam." Aku meyakinkan.


     Kereta kami telah sampai, melaju seakan kota ini hanya berjarak beberapa mill. Aku melanjutkan dzikir petangku, karena langit mulai berwarna jingga. Ingat pesan Umi bahwa mengingat Allah akan melindungi kita, dari bahaya makhluk bernama manusia bahkan yang kasat mata. Kami sampai dan mulai membuka pintu gedung bercat biru ini. Seorang polisi penjaga menghampiri dan menanyakan maksud kedatangan kami. Dua orang perempuan memakai penutup kepala datang mengunjungi bui, pemandangan yang sulit ditemukan. Akhirnya dia mengantarkan kami setelah apa yang aku jelaskan mengenai kejadian malam itu.


    Ubin putih ini begitu dingin, mampu menembus sepatu dan dua lapis kaoskakiku. Oh sungguh malang orang-orang yang harus merasakan dinginnya lantai ini hingga bertahun tahun. Bahkan apabila hakim memberi vonis jeratan seumur hidup. Kami telah sampai didepan jeruji besi yang jarak batangnya berkisar lima sentimeter. Cukup untuk memasukan 3 biji pensil konvensional. Lelaki itu berbalik dengan wajah sedikit terkejut.
     "Hai, kau masih mengenaliku?" Aku memberanikan diri membuka percakapan lebih dulu. Meski kau akan melihat sedikit banyak rasa cemas di kedua mataku.     "Yah, kau wanita malam itu, wanita dengan 2 pengawal besar di kanan kirimu." Dia menjawab mengecilkan suaranya.
     "Apa maksutmu?" Aku dan Sarah terkejut, sungguh aku ingat tidak ada siapa-siapa lagi selain kami berdua malam itu, di gang sesak itu. Dan.. pengawal? Sejak kapan uang sakuku mampu membayar gaji pengawal yang ditakuiti oleh seorang pembunuh buronan.
     "Yah, pengawalmu dua kali lebih besar dariku. Maka untuk berniat melukaimu saja, pikiranku urung." Dia semakin mengecilkan suaranya.
Aku dan Sarah kembali dengan sebuah rasa heran yang sangat besar. Kalau kau tahu perasaan ini melebihi perasaan heran saat teman beasiswamu tiba-tiba membelikan seisi asrama satu paket pizza mozarella plus segelas kopi seharga 5 dollar di akhir bulan.


Aku menelfon Umi dan menceritakan segala kegilaan yang terjadi sepekan terakhir ini. Suara lembut Umi begitu menenangkan dan menyejukan. Begitupula jawabannya.
"Kau tahu Ra, seseorang yang selalu membaca dzikir, pagi, petang dan melakukannya secara istiqomah, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dua pengawal yang dilihat pembunuh itu adalah jelmaan dzikir-dzikir yang telah kau lantunkan degan tulus. Kamu ingat kata Abah, Allah tidak pernah tidak berhenti memberikan pertolongan pada hamba-hambaNya yang bertaqwa. Ingatlah Ra, pertolongan Allah ada dimanapun, kapanpun. Bersyukurlah lebih banyak mulai hari ini karena kamu telah diberikan kesempatan hidup untuk kedua kali."


---------------------------------------------------------oOo-------------------------------------------------------------

Yogyakarta, 29 Januari 2018 



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 08, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Second ChanceWhere stories live. Discover now