Bagian 1

32 3 1
                                    

Cerita ini berdasarkan pengalaman nyata seorang muslimah yang tinggal diluar negeri. Bersumber dari mulut ke mulut, akhirnya penulis mencoba menarasikannya melalui sebuah cerita pendek ini. Selamat membaca!

     Kenangan itu samar, seperti rasa hujan dikulit. Aku meraba raba ribuan laci di otakku. Menemukan sebingkai foto yang berdebu. Mengingatkanku pada suatu peristiwa. Dimana yang aku pikirkan hanya menaiki kereta kelinci dan merengek untuk sebuah lolipop. Sungguh. Tidak terfikirkan dinginnya diluar sini. Di dunia yang sekarang aku tinggali.

     Langit senja mulai tenggelam. Hari ini hari yang panjang dalam satu pekanku. Penat sekujur tubuh, seakan sedang dililit tali tambang berdiameter 5 cm. Sesak menyesakan. Seperti nafas udara malam ini. Pilu memilukan. Aku berlalu cepat mencari ruang kosong untuk menunaikan sholat maghribku. Mengesankan! Ruang kosong yang biasa aku gunakan untuk sholat ternyata masih ada. Kabar tentang ruangan itu akan diganti menjadi janitor ternyata urung. Bergegas sebelum iqomah di layar gawai berkumandang aku segera membenarkan posisi untuk sholat.
     Kota ini berjarak hampir 100 mill dari pusat kota Manhattan, tepatnya dibagian tenggara. Kampusku jauh dari masjid raya Manhattan. Memaksaku mencari ruang kosong sendiri untuk menjalankan sholat. Aku tidak pernah membayangkan hal ini akan sedikit menyusahkan. Bersyukurlah seharusnya aku saat di kampung halaman, jarak antara rumah dan surau kurang dari lima langkah. Oh sungguh aku merindukan saat saat itu.


     Penat ini kembali lagi menyamun tubuh dari ubun ubun hingga jempol kaki. Ugh, aku harus segera pulang dan mengejar kereta terakhir. Tepatnya dua terakhir. Sebelum aku harus mengeluarkan tambahan dolar demi membayar taksi. Aku berjalan sedikit berlari. Memeluk jaketku sendiri dengan tangan yang menguap uap. Lagi lagi aku meninggalkan sarung tanganku di toilet. Pasti ibu penjaga toilet itu akan mengomel lagi esok hari.
    Aku membuka gawai untuk melihat peta jalur terdekat menuju stasiun. Satu satunya jalan terdekat adalah melalui gang gang kecil di kawasan gedung lama. Aku menghela nafas panjang. Seharusnya aku bisa melewati jalan yang biasa aku lewati. Meskipun lebih jauh, tapi jalanan ini terang dan dipenuhi orang berlalu lalang. Sayangnya proyek konstruksi dijalan itu belum usai juga.


    Bayang bayang melewati gang gang kecil itu kembali datang. Terakhir kali aku melewatinya saat festival musim panas bulan lalu, bersama rombongan tentunya. Saat melewatinya pun, kami sedang menghitung hitung dengan jari jemari kami. Seberapa banyak kasus pembunuhan yang belum bisa polisi pecahkan di kawasan itu. Delapan belas. Angka itu berputar putar, seperti bintang mengelilingi kepalaku. Sebanyak itu. Oh Tidak! Kenapa aku harus ke kampus ditanggal merah begini, proyek penelitian ini benar benar membuatku menghabiskan ongkos naik kereta. Sekarang kampus ini semakin sepi, dan aku masih membiarkan diriku mematung dibalik gerbang besi ini. Aku harus segera pergi.


     Beberapa mahasiswa yang aku kenal tampak sudah menemukan taksi yang sudah mereka pesan. Beberapa yang lain mulai menaiki Ford mereka. Tapi tidak ada yang searah dengan rumahku. Rumahku yang jauh dari kampus. Satu satunya rumah yang mempunyai induk semang dengan penawaran yang jauh dibawah harga pasaran.


     Lagi lagi aku harus menghela nafas untuk membayangkannya, memutuskan harus melewati gang gang kecil itu sendirian. Kau tahu seperti apa gang gang kecil yang aku lewati untuk menjemput kereta malamku. Sangat mengerikan. Seperti ada yang mengintaimu diantara kotak sampah itu. Bersembunyi dibaliknya, lalu siap mengulitimu, mencabik setiap inchi daging dibalik jaketmu. Kemudian mendadak aku bergumam sendiri. Tidak, maksutku mengucapkan mantra. Mantra penenang hati saat kau ditengah ketakutan seperti malam ini. Mantra seorang muslim, dzikir, melantunkan doa dan sebagainya. Seharusnya kemaren aku menolak ajakan Sabrina ikut menonton film thiller, sungguh sampai sekarang membuat pikiranku menjadi paranoid.


     Akhirnya mataku menangkap lalu lintas lamban partikel debu di ambang cahaya. Melegakan. Dzikirku mulai buyar, namun tidak ketika dibalik ambang cahaya itu, sebuah bayangan ikut datang. Lelaki itu berbadan besar, ototnya seperti binaraga kelas internasional. Meskipun tertutup jakat tapi aku yakin semua orang bisa melihatnya. Dengan otot otot sebesar itu dia pasti dengan mudah mengnagkat tubuhku mencincangnya habis-habisan. Bola mata kami bertemu, matanya menatapku tajam. Oh Tuhan! Tidak! ternyata memang benar ada sesuatu dibalik kotak sampah besar itu. Apakah benar akan mengulitiku? Atau bahkan jawabannya lebih dari itu. Matanya tajam, seakan berkata hai mari kita melakukan sebuah permainan, aku menjadi pembunuh dan kau korbannya.


     Aku mengejar dzikir kembali. Mengeja 3 surat terakhir dari Al Quran, ayat kursi dan ah semua yang bisa aku baca saat ini. Aku melirik jam, oh masih pukul delapan lebih tiga menit, kenapa tiada orang lain yang berjalan di gang ini selain kami. Bergidik seluruh buluku, bahkan bulu mataku. Tunggu, aku harus tetap membuka mata, menampilkan rasa tidak takut, meberanikan diri. Seperti pesan Pak Kyai di kampung setahun silam. Satu, dua, tiga, jarak kami hanya tinggal 5 kaki. Dan, bum! Nothing happend! Hei, lelaki itu melanjutkan perjalanannya melewatiku, hingga bayangan punggungnya tak terlihat diantara gang sesak itu. Aku menarik nafas dan mengeluarkannya dengan dengusan melegakan. Tapi tetap meninggalkan rasa heran yang cukup mendalam.


    Akhirnya kereta malamku datang dari arah jarum jam setengah lima. Namun aku masih merasa limbung. Seseorang seperti sedang memaku tanda tanya tanya besar diatas batok kepalaku. Aku hanya butuh melihat pintu rumah, membukanya, dan menghamburkan diri diatas kasur.

Second ChanceWhere stories live. Discover now