Aku bertepuk tangan sambil loncat-loncat kegirangan menerima satu toples penuh cookies coklat. Sebagai balasannya aku mencium kedua pipi mereka. Teh Uchi memelukku penuh sayang. Sedangkan Teh Ema teriak kegirangan. Aku hanya tertawa melihat kedua orang yang berada di depanku, kemudian kembali focus dengan boneka Barbie yang beberapa saat yang lalu aku abaikan karena setoples cookies.

"Ditinggal lagi?" Tanya Teh Emma. Siapa yag di tinggalkan? Aku tidak terlalu paham dengan apa yang orang dewasa bicarakan. Bukan. Bukan aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Tapi yang tak bisa ku mengerti adalah topik pembicaraan mereka.

"Iya. Lagi." Jawab Teh Uchi, lesu.

***

Aku melipat tangan di jendela kaca melihat bagaimana rintik hujan membasahi bumi. Membuat semua tanaman seakan tersenyum bahagia. Senyumku terbir saat pelangi membentuk setengah lingkaran di kejauhan sana,memberikan warna setelah mendung melanda. Aku berlari kecil membuka pintu dan hampir saja aku menabrak Teh Uchi yang akan masuk ke kamar. Aku menarik tangannya mendekat ke jendela, lalu menunjuk ke arah pelangi yang semakin jelas terlihat.

Kemudian suara mobil memasuki halaman rumah, kualihkan pandan ke ke bawah. Satu orang keluar yang aku tahu itu adalah sopir Ayah. Laki-laki itu membuka pintu bagian belakang, Ayah dan Ibu turun diikuti dua orang anak yang bersorak gembira. Ada topi berbentuk kerucut di kepala keduanya dan masing-masing membawa goodie bag berwarna biru langit.

Aku berlari, turun ke bawah sebelum mereka sampai pada pintu utama, tidak menghiraukan panggilan dari Teh Uchi. Aku selalu ingin jadi yang pertama yang menyambut mereka ketika mereka kembali ke rumah. Tubuhku tidak terlalu tinggi untuk bisa menggapai knop pintu. Hanya dengan sedikit berjinjit tanganku akhirnya bisa meraih knop itu dan menariknya dengan mudah berhasil memperlihatkan mereka, keluarga kecilku yang bahagia.

BRUGH!

Tubuhku terdorong ke belakang hingga mendarat di kerasnya lantai marmer ke emasan. Aku membuka mata pelan-pelan dan mendapati Kak Farah berada tepat di atasku.

"Farah!" Aku melihat Kak Refan dan Ayah sedikit berlari dan mengangkat Kak Farah dari atasku.

"Mana yang sakit?" Tanya Ayah setelah Kak Farah berdiri. Sedangkan Kak Refan dan Ibu berlutut memeriksa tubuhnya.

Aku masih di posisiku, terlentang karena kepalaku sedikit terbentuk ke lantai, kemudian saat suara Kak Farah menangis aku segera bangkit mengabaikan rasa sakit yang mulai menyebar ke seluruh bagian kepala. Kak Farah menangis karena aku. Sungguh aku ingin meneriakkan maaf sekarang, namun yang kubisa hanya berdiri. Menggerakkan tangan untuk menyampaikan permintaan maafku,

Tangan Kak Farah mengusap-usap kedua matanya menghalau air mata yang terus turun. Aku mengambilnya, ia kemudian menatapku dengan wajah yang tak bisa ku artikan.

"Aku minta maaf. Sungguh aku menyesal." Menggerakkan tangan kemudian tertunduk tak berani untuk menatap.

PLAK!

Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kuakui tangan Kak Farah tak akan sebesar itu sampai membuatku hampir limbung kalau saja kakiku tak kuat untuk bertahan. Semengeri inikah sebuah tamparan? Satu pertanyaan yang muncul kemudian setelah tamparan itu. Perlahan aku mengangkat kepala dan mendapati Kak Refan menatapku dengan emosi yang berapi-api.

"LAIN KALI JANGAN MAIN DI PINTU!" Bentaknya. Tak sengaja aku melemparkan pandangaku ke Ayah lalu Ibu yang juga emosi. Iya. Aku tidak sebodoh itu untuk tahu mereka marah atau tidak.

Jujur saja, Kak Refan tidak banyak bicara, terlebih kepadaku. Mungkin karena aku belum bisa bebicara, mungkin ia tak mengerti dengan apa yang aku ucapkan, tidak, dengan apa yang aku sampaikan dengan tangan. Karena aku berbeda, saat orang lain bisa berceloteh dengan mulut mereka, aku hanya bisa dengan tangan. Dalam sebulan saja bisa dihitung dengan jari. Tapi kepada Kak Farah, ia dengan mudah berbagi cerita, membelikannya es krim, mengikatkan tali sepatunya, mengajarinya PR, kadang menyuapinya, memegang tangannya ketika berjalan seperti sekarang.

Tapi aku tak pernah melihatnya semarah itu, aku tak pernah mendengarnya membentakku seperti itu. Ah, aku tak bisa menahan apa yang paling tidak aku suka. Iya, menangis. Aku benci menangis, tapi mataku sudah memanas dan detik selanjutnya air mataku sudah tidak bisa aku bendung lagi. Selamat Serena, kau berhasil mengubah senyum menjadi tangis. Kamu berhasil membuat kakakmu menangis. Aku mengejek diriku sendiri.

Tubuhku tiba-tiba serasa melayang, lantai tak lagi jadi pijakan. Pelukan hangat itu, aku tahu milik siapa.

"Hei, anak cantik tidak boleh menangis., hmm?" Aku merasakan kakiku berpijak pada kasur.

Teh Uchi mengusap rambutku dengan pelan, senyumnya tak pernah pudar. Aku menyukai senyumnya.

"Itu bukan salahmu." Ia mulai menggerakkan tangannya dengan lincah.

"Tapi aku sudah membuatnya menangis." Jawabku.

"Tifa, air mata seseorang itu tidak berarti menunjukkan Tifa bersalah." Teh Uchi tahu aku bisa mendengarkan.

Aku hanya menunduk, Teh Uchi memelukku sangat erat seperti biasa.

***
Tbc

Jangan Buang Aku, Ayah!Where stories live. Discover now