Akan tetapi, belakangan ini tak jarang juga Daniel memperhatikan air muka Yena yang murung. Ada kalanya menampakkan raut sendu dan lebih banyak diam. Kendati begitu, akibat terlalu fokus pada pekerjaan, Daniel sering kali lupa bertanya pada Yena. Ataupun sekadar meluangkan waktunya untuk mendengar curahan hati sang adik. Ditambah perusahaan yang dipercayakan sang ayah sedang menanjak. Banyak projek yang mulai ditangani Daniel yang juga menjadi alasan kenapa ia kerap pulang larut malam. Setiap ia pulang, Daniel terus menemukan Yena sudah tertidur lelap. Namun, beberapa kali Daniel juga pernah menemukan Yena tertidur dengan kondisi air mata yang masih berjejak. Daniel coba menebak, mungkinkah alur cinta sang adik tak semulus senyum Yena di awal dulu?

"Yena-ya, kau mau kemana?" Pernah suatu kali Daniel memergoki Yena hendak keluar di hari libur.

Gadis itu tampak tidak bergairah. Cenderung pucat, tapi tetap memaksakan diri untuk tersenyum.

"Aku mau keluar sebentar, Oppa. Mencari udara segar." Yena menjelaskan singkat, sebelum kembali berlalu begitu saja.

Saat itu perasaan Daniel tidak begitu baik. Ia lantas memutuskan pergi ke kamar Yena. Tanpa sengaja ia menemukan sesuatu di layar laptop sang adik yang belum tertutup utuh. Alisnya bertaut kala membaca pesan-pesan yang ditinggalkan beberapa orang yang tak dikenal pada kolom komentar media sosial sang adik.

"Oppa! Apa yang sedang kaulakukan?!" Yena memekik sesaat kembali ke kamar ketika sadar ponselnya tertinggal. Tangan Yena bergerak cepat menutup layar laptop dan air mukanya mendadak cemas.

Sejujurnya Daniel belum puas karena belum membaca semua komentar tajam yang ia yakin ditujukan pada adiknya. "Apa dirimu yang diolok-olok? Kenapa? Karena ternyata pria itu menolakmu?" Daniel langsung mencecar Yena dengan banyak pertanyaan.

Yena memalingkan wajah. Rahangnya mengeras seiring ia menahan diri untuk tidak menangis saat ini.

"Kang Yena!" Suara Daniel meninggi.

Setelah beberapa detik meyakinkan diri, Yena kembali menatap Daniel. Dengan suara yang serak, ia coba membenarkan perasaannya. "Aku menyukainya, Oppa. Tidak apa-apa kalau dia tak menyukainya, tapi aku tetap akan menyukainya. Jadi, berhentilah menasihatiku. Jangan menyuruhku untuk menjauh darinya. Jangan jadi seperti mereka. Aku tidak butuh ucapan itu juga darimu, Oppa!" Emosi Yena meluap. Kali pertama Yena terlihat 'menggila'. Tidak seperti Yena yang tenang ataupun ceria.

Menakjubkan, sekaligus mencengangkan. Yena yang selama ini dikenal ceria dan patuh, sosok itu seolah hilang. Berubah menjadi sosok yang egois dan ambisius karena perasaannya.

"Siapa dia?! Beritahu Oppa namanya!"

Dalam kondisi seperti ini, Daniel ikut tersulut emosi. Ia menyesalkan tidak membaca keseluruhan kata-kata sarkas yang ditujukan pada Yena. Tidak ada pilhan lain, mau tidak mau Yena-lah yang harus memberitahunya tentang sosok yang membuat dirinya menyedihkan seperti sekarang.

Yena tampak menunduk. "Apa setelah tahu namanya, semuanya akan berubah, Oppa? Apa kau bisa memintanya untuk menyukaiku?"

Mulur Daniel kontan terkunci. Betapa rapuhnya gadis pemilik manik hitam legam itu. Dia sedang patah hati seiring air matanya berderai, seolah melambangkan perasaannya yang berberaian.

***

Hari itu menjadi terkelam. Hari berkabung untuk Daniel dan keluarganya yang tidak memiliki pemikiran bahwa pilihan inilah yang diambil Yena. Ingatan itu tidak akan pernah luntur sesaat asisten rumah tangga menemukan Yena mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di kamar. Gadis itu ditemukan tewas dalam kondisi tubuh membiru.

DANDELION [END]Where stories live. Discover now