11: shut up and dance

791 143 21
                                    

"Mau apa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau apa?"

Setelah berulang kali memastikan bahwa Dira dan Fajar telah pulang, barulah Jingga melangkah menuju tempat yang telah ditentukan. Reaksi pertamanya adalah mendelik, memasang nada sesengit mungkin kepada pemuda-pemuda bertubuh bongsor di hadapannya. Anggota band sekolah lain—sekolah dengan prestise yang terbilang buruk dan anak-anak yang sulit diatur. Tahun kemarin, band ini turut tampil di pentas seni mereka, diakhiri dengan pertikaian di belakang panggung yang mengharuskan OSIS memasukkan murd sekolah lain dalam daftar hitam pengunjung pentas seni mereka.

Beralasan. Agar tidak ada lagi kerusuhan. Buktinya hari ini—dan mereka berusaha menciptakan kerusukannya di luar pentas seni.

"Gue enggak terima." Salah satu dari mereka membuka mulut, "Lo lo pada masih bisa tampil di sekolah kita. Lo juga tampil di mana-mana. Kita enggak pernah kebagian panggung biar sebentar. Semuanya ludes diambil lo dan anak-anak sekolah lo."

Jingga memutar bola matanya (yang membuat beberapa dari mereka jengah). Masalah klasik. Rasa iri. Memang band-band sekolahnya terbilang aktif mencari panggung, dan dikarenakan ada Christian yang bersemangat dan Jingga yang berapi-api, band mereka yang terbilang paling terkenal untuk ukuran band SMA. Bukan sekali dua kali ia melihat orang yang menaruh iri. Tetapi baru kali ini ada yang berani maju menyerangnya yang tengah sendirian.

Jika mereka semua menyerangnya alih-alih Christian, itu hanya berarti satu hal.

Mereka tahu beberapa hal.

"Bukan cuma ini. Gue lihat semuanya. Lo kan yang bikin kami diusir dari kafe waktu itu?! Lo juga kan yang bikin Bagas ditangkep polisi?!"

"Gue enggak tahu apa-apa soal itu. Tanya sama yang punya cafe. Tanya sama OSIS."

"Alah! Alesan."

Salah satu dari mereka hendak maju dengan tangan terkepal sebelum dilarang yang lainnya. Jingga tidak gentar. Ini masih di dekat wilayah sekolah. Jingga tinggal berteriak jika ada yang memukulnya. Setidaknya mereka masih punya otak karena keributan tersebut diurungkan. Dengan wajah marah dan napas tersengal, telunjuk seorang pemuda mengarah ke wajahnya.

"Gue tunggu lo besok jam 10 di markas kami. Sendirian."

Tatapan Jingga masih sengit, "Kalau gue enggak mau?"

"Kembaran lo kayaknya boleh juga. Sama sahabat lo—atau tepatnya itu pacar kembaran lo?" Salah satu dari mereka menyeringai. "Cocok banget buat gantiin lo."

Bahu Jingga menegang. Tangannya terkepal erat. Bukan hanya bagaimana mereka mengetahui Fajar dan Dira, tetapi bahwa mereka berdua pun akan dilibatkan. Tidak, tidak. Mereka memegang kartu as, membuat Jingga terduduk dan tidak punya daya lain.

"Oke."

Dan dari seringai mereka, Jingga tahu bahwa ia telah terperosok ke dalam mulut-mulut harimau.

[1/3] jingga dan fajar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang