02: sweet tooth.

1.1K 232 19
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Giginya Bang Jingga udah tumbuh ini."

Adalah kalimat yang diucapkan Bunda saat memeriksa gigi Si Kembar. Bunda memang selalu begitu. Karena Bunda dokter gigi, maka anak-anaknya dipastikan menjaga kebersihan gigi dan rongga mulut secara keseluruhan. Jingga dan Fajar dipastikan tidak tidur atau berangkat sekolah sebelum menyikat gigi. Ditambah sejak umur Si Kembar berumur enam tahun, Bunda selalu membawa sepasang kaca mulut dari klinik dan memeriksa rongga mulut anak-anaknya setiap minggu. Kata Bunda, di umur enam tahun, gigi mereka akan berganti menjadi yang lebih bagus.

"Giginya Bang Fajar juga udah goyang. Pulang sekolah nanti ke klinik Bunda, ya? Biar Bunda cabut."

Tetapi tidak pernah terbersit di dalam benak Jingga dan Fajar kalau ganti gigi sama dengan pencabutan terhadap gigi lama. Bukankah dicabut itu sakit? Papa yang suka menakut-nakuti bilang demikian. Bunda melayangkan senyum pada mereka berdua. Senyum lembut yang entah mengapa terlihat mengerikan di mata kanak-kanak mereka. Membayangkan Bunda yang tersenyum seraya membawa jarum suntik dan tang cabut—seram, sangat seram.

Cepat-cepat Jingga menutup mulutnya dan menggeleng panik. Sementara Fajar langsung menutup rapat mulutnya dan mundur beberapa langkah. Bunda menghela napas. Ternyata menjadi dokter gigi bukan jaminan bahwa anak-anakmu akan berani dengan segala prosedur di kursi dental.

.

.

.

Belum sempat kabur, Papa sudah keburu datang dan menjemput kembar Yudhistira.

Di dalam mobil, tidak ada yang membuka suara. Fajar hanya memeluk tasnya erat sementara Jingga memilih menghabiskan tusuk-tusuk telur gulung di tangan. Perkataan Papa, "Enggak sakit kok Bang, cabut gigi itu. Papa waktu itu bercanda doang," sama sekali tidak menenangkan mereka berdua. Tangan mungil Fajar masih dingin. Jantung Jingga masih berdebar keras. Memang, yang mencabut gigi mereka adalah ibu mereka sendiri, tetapi tetap saja. Rasa takut itu tetap datang dengan sendirinya.

Mereka tiba di klinik Bunda. Ragu, Jingga masuk duluan dan disusul oleh Fajar. Klinik Bunda masih sepi, hanya ada Bunda sendirian di dekat kursi dental, dengan pakaian santai, kedua tangan terbalut handschoen, dan separuh wajah ditutupi masker. Tidak terlihat senyum (mengerikan) Bunda, tetapi penampilan itu jauh lebih mengintimidasi dibandingkan saat Bunda tersenyum.

"Siapa yang mau duluan?" Bunda bertanya lembut. Mata Bunda kemudian mendarat pada Fajar yang mengkerut, "Abang Fajar dulu aja, apa? Habis ini Bunda beliin es krim sama ayam KFC, janji."

Fajar (yang memang takut-takut sejak dulu, yang memang tidak bisa menolak apapun) dengan berat hati melangkah masuk. Di belakang punggung adiknya, Jingga turut berduka cita.

.

.

.

"Enggak mau!"

Bahkan Fajar yang keluar ruangan seraya menggigit tampon kapas dan mata berkaca-kaca tidak cukup untuk menenangkan Jingga. Alih-alih tenang, anak lelaki itu langsung berlari dari tempat duduknya memeluk erat tiang sambil berteriak, berlari ke meja perawat dan mengambil buku administrasi sebagai tameng. Bunda memijat kepala. Setelah Fajar yang hampir menangis saat melihat tang cabut, kini dihadapkan dengan Jingga yang histeris. Padahal hanya pencabutan gigi susu, gigi susu yang sudah goyang karena akarnya resorpsi—yang tentu saja tak akan sesakit itu.

"Bang?! Ayolah, Bang! Bang Fajar aja udah dicabut!"

"Nanti sakit! Lihat itu, Ajar aja nangis!"

Fajar menggeleng kuat. Mulutnya masih penuh akibat tampon. Matanya masih basah, tetapi anak kecil itu meyakinkan diri bahwa ia baik-baik saja, bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan di dalam sana. Tangan kecil Fajar menepuk-nepuk bahu kakaknya, menguatkan yang tertua.

"Tuh. Sini, Bang. Abang Jingga kan yang paling tua? Masa kalah sama Fajar?"

Mendengar kalimat tersebut membuat Jingga memberanikan diri duduk di atas kursi dental. Ada Fajar yang turut masuk (agar Jingga tidak berlari keluar lagi). Papa pun sudah bersiap di belakang kursi, siap memegangi Jingga kalau-kalau anaknya kembali menjerit. Mata bulat Jingga menatap horor sebuah tang cabut gigi susu rahang bawah, gerak bunda yang menyemprotkan chloretil di atas kapas. Kemudian saat Bunda datang, Jingga membuka mulutnya. Pertama, dingin dari kapas chloretil yang menyapa gusinya. Dingin yang menusuk-nusuk, sampai Jingga tidak sadar akan tang yang sudah mencengkeram mahkota gigi dan memutarnya, sampai Jingga tidak sadar jika gigi susunya yang goyang sudah terlepas.

"Gigit, Bang."

Jingga menurut. Digigitnya tampon kapas seraya melihat gigi susunya yang sudah lepas. Gigi susu yang goyang. Mengerjaplah ia ketika tahu bahwa cabut gigi itu tidaklah sesakit dan seseram itu.

"Udah. Gitu aja." Bunda melepaskan handschoen, mengusap puncak kepala anak sulungnya, "Cuma bentar, kan? Enggak sakit, kan? Nanti gigi Abang bakal tumbuh yang baru. Gigi-gigi yang lain juga bakal kayak gitu."

Anak lelaki itu mengangguk mengerti. Lamunannya buyar saat Papa dan Fajar mengajak untuk mencari es krim. Jingga belajar satu hal, tidak semua hal yang terlihat menyeramkan itu memang menyeramkan.

//

resorpsi gigi susu terjadi pas di bawah gigi itu benih gigi tetapnya udah mau tumbuh. jadi akar gigi susunya berkurang gitu, makanya gigi susunya goyang dan lepas.

handschoen: sarung tangan karet, yang biasa dipake dokter itu

chloretil: biasa dipakai untuk ngetes vitalitas gigi atau menghilangkan rasa sakit (biasanya dipakai atlet atau pas pencabutan gigi sulung yang udah goyang). sediaannya berupa spray.

[1/3] jingga dan fajar.Where stories live. Discover now