09: potrait of fryderyk in shifting light

695 162 45
                                    

"i imagine my wrists broken just enough to keep the feeling from crawling up my arm

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"i imagine my wrists broken just enough to keep the feeling from crawling up my arm."

(richard siken)

//

Fajar sudah tahu.

Saat kabar bahwa sang kakak dan Yulia telah menjalin hubungan kekasih terdengar di koridor-koridor sekolah, Fajar sudah tak lagi heran. Terlihat jelas kakaknya menyukai Yulia, dari pandangan mata dan caranya bertutur telah menyiratkan demikian. Semua telah terbaca. Bukan lagi hal yang mengejutkan.

Senang? Jelas, Fajar senang. Fajar senang akan apapun yang membuat kakaknya bahagia. Di saat yang sama, ada perasaan aneh yang menjalari batin. Benci? Fajar tidak sejahat itu, sungguh. Iri? Entahlah. Tidak tahu pasti. Mungkin karena melihat betapa jauhnya jarak antara dirinya dan sang kakak kini—dan betapa jauhnya jarak antara dirinya dan Dira. Rasanya sesak tetapi ia tak tahu ini apa dan kenapa.

Yang Fajar tahu, dunia tidak boleh tahu.

Memangnya apa yang kau ketahui dari manusia? Fajar teringat akan puisi yang pernah ia baca di internet. They shift in the light. Add a second light and you get a second darkness, it's only fair. Ada kalanya ia ingin mengeluh, seperti mengeluhkan dirinya yang tidak bisa mendapatkan teman sebanyak Jingga, atau dirinya yang tidak seberani Jingga dalam mengambil resiko, atau bahkan, dirinya yang tidak menyukai perempuan sebagaimana Jingga demikian (yang ini sudah memakan korban, seperti Adelia). Tetapi kau tahu apa yang akan mereka katakan kepada siapapun yang mengeluh? Tidak bersyukur. Pengemis perhatian. Problematik. Tanpa tahu bahwa diperhatikan kebusukannya dan kecacatannya adalah hal terakhir yang diinginkan Fajar.

Memangnya apa yang kau ketahui dari manusia?

Apa kau tahu jika mereka berubah? Jika kau melihat cahayanya, ada saatnya kau akan melihat gelapnya. Kau tidak dapat membiarkan saklar itu menyala selamanya atau mati selamanya. Semua orang punya dua sisi. Dan itu, sesungguhnya, manusiawi. Tapi apa orang ingin mengetahui gelapmu saat orang tersebut sudah akrab dengan terangmu? Tidak akan ada yang mau.

Terkadang ia berharap semudah itu mematikan hatinya. Terkadang ia berharap bahwa ia dapat tutup mata akan semua hal, termasuk rumput tetangga atau pandangan sosial. Terkadang ia berharap hatinya semudah itu lapang. Tapi bagaimana caranya saat ia takut dihakimi hanya karena bercerita?

Ia tidak boleh mengatakan apapun. Ia tidak boleh merasakan apapun. Dibayangkannya tangan kakinya remuk tersimpul hanya agar perasaan itu mengendap membengkak hanya di tubuhnya saja. Demi kebaikan semua orang, ia tak boleh merasakan apapun.

.

.

.

Minggu siang, tidak ada yang anak-anak Yudhistira dan Ardhan lakukan selain berkutat pada kesibukan masing-masing. Darius tetap sibuk dengan pelajarannya (seperti biasa, semua orang maklum, dunia Darius memang pelajaran sekolah seperti Fajar—dengan derajat keparahan yang lebih mengkhawatirkan). Jingga, Fajar, dan Dira terhanyut dalam film Cek Toko Sebelah yang telah ditayangkan di televisi. Adalah rengkuhan Dira yang membuat Fajar nyaman dengan posisinya. Tubuhnya berada di atas pangkuan Dira, didekap erat enggan dilepas. Sementara sang kakak membiarkan kepala Dira bersandar di dadanya.

Hatinya tenang. Setidaknya, hubungannya dengan Dira sudah mulai membaik. Sekalipun perasaannya dan isi hatinya akan banyak hal sudah mulai membengkak, ditahan agar tidak muntah pada dunia. Muntahannya buruk rupa, kasihan semua orang yang terciprat.

"Sampomu ganti?"

Adalah pertanyaan yang membuat Fajar mendongakkan kepalanya, melihat pemandangan tak biasa. Hidung Jingga mengendus puncak kepala Dira, bertanya apakah sahabatnya mengganti sampo atau tidak. Terlalu tidak biasa sampai Dira mematung beberapa detik sebelum tersenyum pada akhirnya. Fajar tahu jika temannya senang. Biasanya Jingga tidak akan sedekat ini pada Dira, entah mengapa. Jangankan Dira, Fajar pun terkejut karenanya.

"Tumben."

Mendelik sang kakak saat menyadari intonasi menyindir dari nada suaranya. Sesuatu yang hanya membuat Fajar mendengus geli. Biasanya sang kakak bersuara ketus pada Dira, atau berlaku kasar. Entah dalam rangka apa, Fajar tidak bisa menerka secara pasti. Mungkin karena suasana hati sang kakak sedang baik karena penyebab yang tidak Fajar ketahui pasti. Sayang dekapan Dira terlalu nyaman untuk ditinggalkan hanya untuk sekedar mengambil kamera dan mengabadikan sebuah pemandangan langka.

"Diem ah."

Jingga melengos dan Fajar terkikik melihat hidung sang kakak yang tetap tidak beranjak dari puncak kepala Dira. Ingkar seperti biasa.

//

puisi rekomendasi fajar:

potrait of fryderyk in shifting light (richard siken). kutipan di narasi juga diambil dari sana.

//

i am sorry.

[1/3] jingga dan fajar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang