07: broken compass

966 185 41
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

i'm left to rely on a broken compass to swim in an open sea
i'm heading to a mysterious goal
without knowing which is the right direction

(3racha)

//

Sekalipun kelas Jingga adalah kelas paling akhir dengan penghuni deretan peringkat terakhir jurusan, label IPA itu membuat para penghuninya dapat menaikkan kepala.

Jingga tidak tahu mengapa ia memutuskan untuk masuk IPA. Pun ia tidak punya tujuan yang jelas seperti Fajar yang ingin masuk Fakultas Kedokteran. Hal yang diinginkan Jingga remaja hanyalah musik, panggung, dan gemerlapnya yang secandu sabu. Pun hal yang mampu dipikirkannya saat ini hanya bagaimana cara menyamarkan bibir dan gusinya yang mulai menghitam akibat nikotin dari mata jeli sang ibunda. Tidak ada hal spesifik lain yang dapat disangkutpautkan dengan jurusannya sekarang.

Pun anak-anak kelas XI IPA 4 hanyalah sekumpulan muda-mudi yang masuk IPA bukan karena mereka memang ingin mengambil jurusan IPA saat kuliah kelak. Sebagian karena tuntutan orang tua yang ingin anak mereka masuk IPA (demi kemudahan hidup mereka kelak—padahal masuk IPA pun, kalau nasibnya jelek yang tetap saja). Sebagian karena gengsi. Sebagian karena iming-iming kemudahan lintas jurusan (padahal pelajaran IPS bukankah sama sulitnya dengan pelajaran IPA?). Bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan kelas Fajar yang berisi orang-orang ambisius secara akademik. Hampir seluruh penghuninya berpikir, untuk apa bersusah-susah belajar memecahkan kalkukasi matematika jika ujung-ujungnya setelah lulus kau tidak akan menggunakannya lagi?

Kontras dengan Fajar (dan Adelia) yang menganggap bahwa tiap ilmu yang dipelajari di sekolah memiliki kegunaan kelak.

Jingga hanyalah populasi kecil penduduk kelas yang masuk IPA karena tidak tahu harus ke mana. Lihat, adiknya yang cemerlang. Adiknya yang cerdas. Jika Jingga tidak masuk IPA, ia tahu bisik-bisik tak enak itu akan semakin kuat. Ditambah dengan bumbu nilai-nilai Jingga yang terjun drastis jika dibandingkan dengan nilai-nilainya saat SD dan SMP. Dulu kala, Jingga dipuji-puji pintar. Ironi rasanya saat bertumbuh sama dengan menyadari kalau kau tidaklah sespesial dan secerdas dulu kala. Mungkin, kecerdasan memang mengalami degradasi seiring waktu berjalan. Atau mungkin, Jingga yang sedang sial salah langkah dan tersesat.

Ada kompas di dalam kepala tiap orang. Dan tidak seperti Fajar, kompas di kepala Jingga adalah kompas rusak.

.

.

.

Bisik-bisik yang terangkum di kepalanya pun akhirnya tertuang di hadapan Dira dan dua batang rokok yang menyala.

Tidak diindahkannya celana seragam kelabunya yang mulai kotor berkat debu, ataupun kemejanya yang lengket berkat keringat. Mentari sudah akan kembali ke peraduannya, cahaya jingganya bermain di helai-helai poni Jingga dan Dira. Lucu, mengingat dulu kali ia merokok sebagai upaya agar diterima, masuk ke lingkungan demikian agar ia dapat perlindungan dalam kerasnya masa SMA. Seiring waktu berlalu, teman-temannya dan musik perlahan menjadi dunia Jingga. Tetapi bukan berarti ia senang Dira menyebrang ke jalan yang sama.

[1/3] jingga dan fajar.Where stories live. Discover now