[3] angin sepoi, martabak manis, dan Tuhan di taman pas sore hari

1.9K 410 150
                                    

Sesaat setelah aku membalas ramah sapaan pak satpam dekat gerbang kompleks, aku menghela nafas berat-berat. Bibir sudah berkedut masam ingin mengeluarkan segala serapahan yang sudah berada di pangkal lidah. Alih-alih mendumel sesuatu yang keji, suara klakson motor sudah menyerempet dumelanku.

Tin, tin, tin.

Refleks meminggirkan diri, kemudian yang aku ketahui selanjutnya malah motor matic yang berjalan pelan menyesuaikan langkah kakiku, "Mau bareng, gak?"

"Eh, Kak Hoseok?"

Dia berhenti pas aku berhenti, dibukanya kaca helm berwarna merah untuk melihatku. "Bareng aja, yuk? Capek tahu jalan sampai rumah."

Sekali lagi, aku gak punya kuasa penuh atas menolak permintaan halus Kak Hoseok. Pertama, dia menawari dengan baik hati tidak sombong. Kedua, rasanya hariku bakal ambruk se-ambruk-ambruknya kalau membiarkan tungkai kaki ini melangkah menuju rumah. Final, aku numpang ikut motor Kak Hoseok. Pundaknya aku jadikan tumpuan saat naik ke motor vario-nya dan dengan selamat memposisikan bokongku untuk duduk dan oh iya, sialan juga bawa lima buku paket hari ini, bikin spasi pantatku termakan oleh tas.

Angin sepoi sore nyatanya bisa meredakan seluruh kemarahan yang aku tahan-tahan sejak tadi. Pasti kalian bingung ya, kenapa sih cewek SMA hormonal ini marah-marah terus? Oke, jawabannya, kalian bisa tanya pacar sialan aku—weits, pasti kalian mengira aku jomblo, ya? Haha, sori-sori, tapi aku sudah berstatus pacaran, bro. Tapi ya ... kayaknya mau putus deh, gak ngerti.

Bukan pekarangan rumah yang dikecup sol sepatuku kali ini, melainkan taman kompleks. Kupikir Kak Hoseok mau nurunin aku karena aku berat, tetapi saat aku bungkam gak ada clue, dia menjelaskan dengan cengirannya.

"Aku beli martabak, tapi baru inget Mamih gak boleh makan sembarangan," ujarnya. Kami berakhir di kursi panjang taman sembari Kak Hoseok sibuk buka bungkusan martabak manis, "Bantuin makan, dong."

"Boleh, Kak?"

"Yakali aku habisin ini semua, babon kali."

Well, faktanya, aku bisa habisin satu kotak martabak manis sendiri. Oke, makasih Kak Hoseok atas pujian gak sengajanya, aku juga bakal diam-diam saja kok kalau Kak Hoseok sebenarnya tengah mengejekku, hehe. Aku ambil satu tangkap martabak manis dan membiarkan lelehan cokelat kacangnya menyentuh lidahku, tiba-tiba halu; surga ini, ya?

"Enak, Kak."

"Iya dong, gratis."

Aku ber hehe ria. Kurang tahu deh kalau makna kata gratis itu ditujukan lagi untuk memujiku atau mengejekku. Konon, orang marah-marah kalau dikasih makanan manis nan gratis, langsung hilang marahnya. Jawabannya, 100 persen mujarab buatku. Camilan sore hari, mengisi perut keroncong, sebuah makanan pembuka sebelum makan nasi nanti di rumah.

"Tadi muka kamu merah, kenapa?"

"Hah? Masa iya, Kak?"

Kak Hoseok mengangguk sambil mengunyah martabaknya dan ketika mulutnya ngunyah begitu, nanti dua lesung pipit kecilnya bermunculan berulang kali di kanan-kiri ujung bibirnya. Uh, gemes. Hampir kehilangan fokus sejenak, tapi aku masih tetap memasang wajah bingung, merah kenapa ya?

"Lagi kesel lagi, ya?"

Oh, sampai merah juga wajahku karena si kampret Taehyung. "Oh, iya, gitu, Kak." jawabku seadanya.

"Kok sekolah kesel mulu, sih?"

"Kak Hoseok aja yang emang kebetulannya ketemu aku pas akunya lagi kesel." aku merengut, ya iya ya? Tapi masa salah aku kalau takdir ketemu dia sama aku pas saatnya aku lagi kesal? Berarti takdir dong yang harus disalahkan, eh? Iya ... apa iya, ya?

Dia ketawa berbarengan aku ngambil martabak kelima, "Salah Tuhan berarti?" tanyanya, loncat ke poin aku tanyakan sendiri di pikiranku tadi. Aku melotot sejadi-jadinya. Iya, walaupun aku sering dumel, bangkang sama Mama, sering jahilin temen, dan hampir menampar Taehyung di publik tadi sebelum pulang sekolah, aku ini masih religius yang taat sama Tuhan! Dikit, ya tapi gak sampai salahin Tuhan juga, kali!

Aku menelan martabakku cepat sebelum merocos ke Kak Hoseok. "Kak! Gak boleh gitu! Ngomong jangan sembarangan, dong Kak. Azab nanti baru tahu rasa."

Terus melihat perubahan ekspresiku yang drastis ternyata bisa buat Kak Hoseok kelabakan menghadapi aku pas kesel, "E-eh, iya, maaf deh. Maaf, ya? Di filter dulu deh nanti kalo ngomong sama kamu."

"Jangan pas ngomong sama aku aja, dong, wah ketahuan sering jelek-jelekin Tuhan ya, Kak Hoseok?"

"Gusti!"

"Kalau atheis gak usah nyebut gak papa, Kak."

"Cepetan habisin martabaknya! Kita pulang!"

Kak Hoseok sih antara percaya dan gak percaya, kalau martabaknya habis langsung sehari itu. Katanya, biasanya, paling enggak, masih ada lima tangkap tersisa sampai besok. Aku cuma terkikik geli, kasihan Kak Hoseok gak tahu kalau aku sering minta dua kotak kalau beli martabak. Terus Mama bakal dumel sendiri, "Enak kamu mah, tinggal makan, gemuk juga enggak."

Terus, salah aku gitu?

Kita turun di pekarangan rumah Kak Hoseok dan gak sengaja ketangkap pandangan Mama Kak Hoseok karena pintu rumah Kak Hoseok selalu terbuka tiap sore. Beliau menawariku untuk mampir makan di rumahnya saat aku mengamit tangan (yang sudah di lap kering pakai tisu) untuk salim.

"Gak usah, Tante, makasih. Kayaknya Mama juga udah nyariin, hehe." jawabku alasan.

"Gak mau minum dulu nih?" tawarnya kesekian kalinya, aku menggeleng pelan. "Kok bisa bareng sih sama Abang?"

"Aku gak sengaja ketemu dia di gerbang kompleks, Mih. Liat deh, bawaannya berat begitu. Masa aku tinggal?" Kak Hoseok jawab cepat.

Konklusinya, Kak Hoseok pintar ngeles kalau bicaranya sudah bernada begini. Aku pamitan sebelum senja menyapa. Memberi salam ke Mama Kak Hoseok dan Kak Hoseok yang entah kenapa kok ikutin aku sampai ujung pekarangan rumahnya? Gak tahu deh, aku bilang saja, "Makasih Kak, martabaknya. Enak banget, hehe."

"Tebengan, enggak?"

"Iya, itu juga Kak, ya ampun. Makasih, ya Kak."

"Iya, dadah."

"Dah! Sore, Kak Hoseok."

--

Mau post kemaren tapi udah keburu maghrib :( im sorry my friend

[SUDAH TERBIT] sore, hoseok !Where stories live. Discover now