Self-Reflecting Room

Start from the beginning
                                    

Tak ada yang bersuara setelah itu. Gara masih berusaha mengendalikan gejolak emosinya, sementara Gendis tetap bersiaga jikalau sewaktu-waktu Gara meradang lagi. Gendis benar-benar harus menahan Gara bertemu ibunya walaupun kedengarannya memang jahat sekali. Bertemu seorang ibu yang telah tiada dalam keadaan emosi yang tidak stabil tentu akan melahirkan hal-hal yang tidak diinginkan, untuk itu Gendis setengah mati melarang cowok itu.

"Gue salah apa, Dis?" tanya Gara tiba-tiba, nada pilunya menggema ke seluruh penjuru kamar. "Selama ini gue nemenin Bunda, tapi Rasio nggak tau karena gue cuma pengen berdua sama Bunda. Salah, Dis?"

"Nggak salah sama sekali," jawab Gendis. "Semua orang tau kamu sayang Bunda, Gar."

"Rasio nggak tau gue sayang Bunda."

"Tau, kok."

"Kalo tau, harusnya gue nggak dipukulin," Gara menatap Gendis dengan mata berkaca-kaca. "Gue pantes dapet perlakuan kayak gini? Jawab, Dis!"

Gara terus-menerus menyuarakan apapun yang lewat di pikirannya hingga suaranya semakin lenyap dan menyisakan tarikan napas tak beraturan. Airmata Gara akhirnya tumpah juga, membasahi memar pada wajahnya.

Gendis mendekatkan tubuhnya pada Gara dan memeluknya. "Semua orang tau kamu sayang Bunda, Gara," bisiknya sembari mengusap punggung Gara lembut. Tubuh Gara kaku, seolah-olah tak ada jiwa di dalamnya, dan semakin remuk perasaan Gendis melihatnya seperti ini.

 "Besok kita ketemu Bunda kamu, ya, Gar."

Lalu tubuh yang tadinya tak bergerak itu mendadak berguncang tak terkontrol. Runtuh juga pertahanan Gara yang selama ini ditutupi dengan amarah dan keangkuhan.

Sisa malam itu dihabiskan Gendis untuk menemani Gara hingga tangisnya reda. Gara tidak banyak bicara, tidak pula kehilangan kendali diri seperti tadi. Ia hanya menumpahkan airmatanya dan memanggil Bunda puluhan kali.

Sisa malam itu juga dihabiskan Gendis untuk menyadari sesuatu yang akan mengubah hubungannya dengan Gara dan Rasio. 

----

Gendis duduk berdempetan dengan Gara di mobil yang disupiri orang suruhan Papa Gara. Efek kurang tidur dan tekanan emosional membuat Gendis tak merekam dengan baik apa saja yang terjadi padanya. Ia hanya ingat satu tugasnya, yaitu memastikan Gara tak jauh dengannya. Beberapa sanak keluarga Gara maupun Rasio sempat berbincang dengan Gendis, tapi ia tak terlalu memperhatikan karena pikirannya bercabang tak karuan. Hingga ketika Gara dan Gendis digiring masuk ke dalam mobil menuju pemakaman, Gendis sadar bahwa ia sudah terlibat sangat jauh dalam keluarga ini.

Pagi ini juga Gendis akan berhadapan dengan Rasio, seseorang yang seharusnya mendapat perhatiannya namun malah ditinggalkannya demi menemani Gara yang babak belur. Rasio boleh marah dan kecewa, Gendis akan menerima itu semua. Ia punya alasan kuat mengapa pasca Tante Mia meninggal dirinya malah ada di kamar rawat untuk menemani Gara, bukannya menemani Rasio. 

"Tangan lo gemeter," Gara bergumam dengan suaranya yang lirih.

Gendis mengangguk dan mengaitkan kesepuluh jarinya membentuk kepalan untuk meredakan getar pada kedua tangannya.

"Kenapa?" Gara bersuara lagi.

Kali ini Gendis menggeleng. Ia juga tidak tau mengapa pikirannya bisa mempengaruhi gerak badan yang tidak diinginkan otaknya.

"Dis," Gara menyentuh punggung tangan Gendis. Kedua matanya menghujam langsung ke bola mata gadis itu. "Tenang."

Gendis mengangguk lagi, masih tanpa kata-kata. Gara yang malah menyuruhnya tenang setelah semalam ia sendiri yang hancur habis-habisan.

FrouWhere stories live. Discover now