chapter 9: tanya

5.8K 907 30
                                    


“di umur 19 kamu menyadari bahwa cinta saja tidak cukup.”

AMA: Tapi besok aja, okay? 04.45 PM

Rendra tersenyum-senyum seperti orang bodoh sambil membalas iya. Sekarang, dirinya benar-benar melupakan buku sketsa yang ada di hadapannya. Entah sejak kapan, bersama Ama, entah hanya lewat pesan-pesan singkat, atau menghabiskan minuman bersama di sore hari, terasa lebih menarik dibanding menggoreskan grafit di atas kertas.
Hal-hal yang ia lakukan untuk pelariannya, kini berhenti di titik terakhir. Begitu saja.

Mungkin karena bersama Ama, Rendra bisa bercerita banyak hal yang tidak bisa ia ceritakan pada orang lain. Juga, berdiskusi tentang film, novel, dan lagu yang sama-sama mereka sukai. Rendra seklop itu dengan Ama hingga ia rasa, menghabiskan waktu berjam-jam tidak akan membuat mereka kehabisan topik.

BRAK!

Suara pintu yang dibanting dari arah pintu utama, membuat senyum Rendra terhapus. Rendra bangkit dari tempat tidurnya dan mengintip ke arah pintu. Terlihat Papa membawa boks besar sedang berderap ke arah kamarnya dengan Mama terseok-seok mengikuti dari belakang. Rendra buru-buru berbalik untuk menyembunyikan seluruh bukti kemarahan Papa, tapi terlambat, Papa sudah mengetahui dari lama.

“Mau jadi apa kamu?” tanya Papa, nada suaranya tinggi dan tajam.

“Pa, jangan,” ucap Rendra lemah ketika Papa menyabet kertas-kertas berharga Rendra dan juga koleksi kuas dan cat yang ia jaga sebaik mungkin. “Pa.”

Papa ternyata tahu di mana Rendra menyembunyikan sisa gambarnya. Papa mengumpulkan semuanya di boks besar lalu membawanya ke luar rumah tanpa bicara sepatah kata pun. Mama mengikuti di belakang, memohon-mohon pada Papa untuk tidak merusak semuanya, tapi Papa tetap berjalan tegap. Sementara, Rendra masih ada di dalam kamar, duduk bersila, dengan kepala menunduk.

Suara pematik api terdengar. Dari segala jenis suara yang membisingkan dunia, Rendra masih bisa mendengar suara itu. Suara yang akhirnya menjadi penanda bahwa mimpi-mimpi yang ia simpan rapat, kini sudah menjadi abu.

Papa kembali setengah jam kemudian. “Sekarang kamu bisa fokus kuliah,” lalu ke luar kamar Rendra seolah tadi hanya mengatakan bahwa mereka akan makan malam sebentar lagi bukannya menghancurkan semua yang telah Rendra bangun susah payah.

***

GIMANA?” pertanyaan Depha itu dibalas Ama dengan bibir cemberut dan mata berkedut.

“Si Botak memang lagi butuh liburan,” jawab Ama dengan nada ‘ini-tidak-menggangguku-tapi-sebenarnya-sangat-menggangguku’ yang biasanya.

Depha tersenyum kecil. Senang melihat Ama tidak bersedih atas kegagalannya. Depha sudah takut Ama akan putus asa dan berhenti di sini, karena itu artinya, Depha tidak akan bisa melihat Ama lagi.

Egois, memang, tapi itulah yang Depha cemaskan.

“Pusing, nih!” keluh Ama sambil berjalan beriringan dengan Depha ke luar gedung agensi. “Asyiknya sih jalan-jalan.”

“Mau?” tanya Depha.

Mata Ama bersinar cerah mendengar tawaran Depha. “Seriuuus?”

“Iya. Kamu mau jalan-jalan ke mana?” Depha menyunggingkan senyum canggung, senang melihat reaksi Ama.

Tak perlu banyak waktu bagi Ama untuk menjawab pertanyaan sederhana itu,

di umur 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang