chapter 3: setyo prasetya

11.6K 1.5K 94
                                    

"TAU gak sih, apa hal yang bikin gue kagum banget sama seseorang?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Ama pada kamera, namun kamera tidak menjawabnya, tentu saja tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa merekam perkataan demi perkataan yang muncul di mulut Ama. Menjadi saksi bisu tentang cerita demi cerita yang terjalin setiap detiknya. Ama pun mengerti bahwa tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya tadi, karena di detik selanjutnya, dia langsung menjawab.

"Orang yang tahu kalau dia sudah gagal dalam hidupnya, tapi tetap mencari celah untuk berusaha," jawab Ama. "Dia sudah jatuh di titik terendah. Dicaci. Diremehkan. Dikucilkan. Ditertawakan di balik punggungnya. Gak punya uang buat makan. Dia sudah mengalami itu semua. Dan, dia berhasil melewati itu."

Mata Ama tampak murung dalam lensa kamera, seolah perkataannya tadi menimbulkan kesan yang mendalam juga pada hatinya. Kemudian, Ama menoleh pada kamera.

"Sebuah peristiwa membentuk karakter seseorang. Gue selalu berusaha untuk memahami pilihan-pilihan yang orang buat dari hal itu. Gue gak bisa langsung menghakimi seseorang dari ngeliat satu sisi. Karena, gue gak tau sisinya dia tuh, kayak gimana, apa yang dia rasain, apa yang buat dia terluka. Gue gak tau. Jadi, memang dalam hidup ini, kita gak boleh sok tahu, karena kita adalah makhluk yang sebenarnya gak tahu apa-apa.

"Cerita selanjutnya adalah dari seseorang yang gue kagumi. Sangat-sangat gue kagumi," ada binar lain di mata Ama ketika menyebutkan 'kagum,' seolah ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dari 'kagum,' dalam hati terdalamnya. Yang tidak ada seorang pun yang tahu. Hanya dirinya. Sekali lagi hanya dirinya. "Dia yang bikin gue sadar kalau sebenarnya kita gak butuh pengakuan, kita cuma butuh segenggam kecil apresiasi."

***

SETYO melihat orang-orang berlalu-lalang dengan sibuk di depannya. Sore itu, dia ingat, dia mengenakan kostum spiderman kebanggaannya dengan gelang yang 'ceritanya' mengeluarkan jaring laba-laba. Tangan Setyo yang bebas dari gelang itu digenggam sangat erat oleh Ibu, seolah Ibu tidak mau Setyo berkeliaran di rumah atau menanyakan pada para pekerja di sekelilingnya tentang apa yang mereka lakukan sekarang di rumah mereka.

"Ibu," panggil Setyo yang sudah lelah berdiri di teras rumah menonton para pekerja itu menempelkan stiker pada tiap furnitur rumah. "Setyo pengen pipis."

Sore itu Ibu tampak tidak seperti 'Ibu' yang biasanya. Ibu seperti orang yang kehilangan arah, matanya nanar, dan bibirnya bergetar. Setyo masih kecil, masih berumur tiga tahun, untuk bisa mengetahui bahwa saat ini Ibu sedang menahan tangis yang amat dahsyat di hadapan anak pertama dan juga anak kedua yang sedang ada dalam kandungannya.

"Setyo mau pipis?" tanya Ibu seraya perlahan berjongkok untuk melihat mata anaknya yang polos.

Setyo mengangguk.

"Ditahan sebentar, ya."

Meski cemberut, akhirnya Setyo mengangguk. Lama ia menunggu hingga para pekerja itu selesai menempelkan stiker dan mengatur segala urusan mereka. Salah satu dari mereka berbicara pada Ibu. Setyo tidak begitu ingat, yang pasti, percakapan itu cukup intens dan ada nada memaksa keluar dari bibir Ibu.

"Tolong beri keringanan. Untuk hari ini saja. Saya belum punya uang untuk makan, apalagi sewa kontrakan," kalau Setyo mengerti kalimat permohonan yang terucap dari mulut Ibu, mungkin hatinya sudah berkeping-keping saat itu juga. Tapi, Setyo baru mengerti saat ia beranjak dewasa dan menemukan teman-teman di kelas, yang sebenarnya bukan temannya, mengatakan hal-hal yang membuatnya mulai memahami situasi yang ia hadapi.

Permohonan Ibu ditolak. Para pekerja itu hanya memperbolehkan Ibu membawa koper berisi pakaian. Setyo masih ingat sangat jelas di sore itu dia berjalan bersama Ibu, dengan dirinya menahan pipis, dan juga tatapan dari tetangga-tetangga yang dulu adalah teman baik Ibu.

"Ibu, Setyo bisa pipis?" tanya Setyo.

Ibu bahkan tampak lupa kalau Setyo sudah menahan pipis sampai rasanya ingin pipis di celana saja. Tapi, Setyo malu, dia sudah berumur tiga tahun, kalau dia pipis di celana, pasti Ibu akan mengomel padanya.

"Oh, iya, iya Sayang," Ibu tampak kebingungan. Mereka masih ada di kompleks perumahan. Tepat di tempat mereka berhenti berjalan adalah rumah sahabat Ibu. Bahkan, Setyo sering bermain dengan anak sahabat Ibu, Lavya.

Setyo lantas berlari ke rumah Lavya, melepas tangan Ibu darinya. Melepas rasa aman dan perlindungan yang Ibu ingin berikan pada Setyo dari ucapan-ucapan yang pada saat itu Setyo tidak tahu bisa ke luar dari mulut orang yang ia sayangi.

"Setyo!" Ibu memanggil dengan nada peringatan yang jelas, tapi Setyo tidak mempedulikannya.

Lavya adalah teman Setyo, bahkan sahabatnya. Sudah lazim Setyo main di rumah Lavya. Tapi, sore itu, Setyo tidak tahu bahwa keadaan tidak lagi sama. Sore itu, Lavya bukan lagi teman sepermainannya. Bukan lagi.

Setyo menggedor pintu rumah Lavya. Memanggil Lavya dengan nada anak kecil yang mengajak temannya bermain. Tapi, sudah berulang kali Setyo memanggil, tetap saja Lavya tidak ke luar. Malah, Tante Rumi, ibu Lavya, yang membukakan pintu.

"Tante Rumi!" seru Setyo dengan wajah sumringah. "Lavya-nya—"

"Pergi," usir Tante Rumi dengan nada yang sangat dingin, bahkan tak ingin melihat ke arah Setyo.

Setyo mengerjapkan mata. Tidak mengerti. Sungguh, bila Setyo mengerti apa yang terjadi, tidak akan sudi ia mengunjungi rumah terkutuk itu.

"Tante kenapa? Setyo salah apa?" tanya Setyo. "Setyo nakal, ya?"

"Pergi! Pergi kamu!" nada suara Tante Rumi meningkat tajam, entah kesabarannya yang sudah habis atau hati kecilnya tergelitik untuk mengatakan bahwa tidak seharusnya ia memperlakukan anak kecil yang tidak bersalah dengan seperti itu. Tapi, Tante Rumi kepalang malu, malu mengakui anak ini sebagai 'anak kedua,'-nya lagi, malu mengakui ibu anak ini sebagai 'sahabat,'-nya lagi.

Apa kata dunia?

"Setyo minta maaf, Tante," wajah Setyo sudah sangat pucat.

Saat itu Ibu langsung menghampiri Setyo dan menarik tangan Setyo untuk menjauh dari Tante Rumi. Namun, Setyo berontak. Setyo tidak ingin jauh dari Tante Rumi. Tidak ingin jauh dari Lavya. Mungkin ini terakhir kalinya Setyo bisa melihat Lavya, dan memang kenyataannya, setelah lima belas tahun berlalu, Setyo tidak pernah melihat Lavya lagi.

"Tante, Setyo minta maaf, Tante..., hiks," Setyo mulai menangis dalam gendongan Ibu.

"Kamu jangan bermain lagi dengan Lavya!" seru Tante Rumi, nadanya tetap meninggi.

Lalu, kata itu muncul.

Kata yang sangat amat dibenci Setyo hingga saat ini. Dalam setiap napas yang ia embuskan.

"Dasar, anak koruptor!"

Cacian pertama dari seseorang yang Setyo sudah anggap sebagai ibu.

Cacian pertama dari ibu sahabatnya.

Cacian yang menggores hati kecil Setyo yang berumur tiga tahun.

Kata-kata yang terucap oleh orang yang tersayang, entah itu menjadi penyembuh atau belati, mereka sama-sama memiliki kekuatan yang besar untuk membentuk karakter seseorang. Membentuk 'cap' yang tidak seharusnya ada dalam dirinya, tidak seharusnya diperbolehkan hadir.

Hingga saat ini, sampai kapan pun, Setyo Prasetya hanya-lah seorang anak koruptor, yang tidak memiliki harga apa pun di setiap mata yang memandang.

Tidak sekali pun mereka yang dulu dia panggil sahabat.

***

author note: masih suka sedih sama orang yang suka memandang sebelah mata orang lain.

di umur 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang