chapter 1: fatimah alana syaqieb

24.3K 2.5K 232
                                    


"Dan sebenernya, yang jahat itu bukan mereka, atau standar sosial itu sendiri. Yang jahat adalah diri gue sendiri yang membiarkan hal itu terjadi."

BILA pagi menyapa, kamar milik perempuan bernama Fatimah Alana Syaqieb (lebih senang dipanggil Ama) itu selalu disesaki oleh sinar-sinar matahari serta suara burung dari tetangganya, Pak Kadir. Entah mengapa, burung-burung milik Pak Kadir selalu bercuitan di pagi hari, sementara malam tidak pernah ribut, yang jelas membuat Ama selalu tidur nyenyak dan pagi hari mendapatkan alarm alami. Kebetulan hari itu, Ama lagi berhalangan sholat, jadi seperti remaja perempuan kebanyakan, waktu-waktu tidur di pagi hari sampai jam sepuluh adalah anugerah.

Ama terbangun karena sinar matahari menusuk mata.

"CUCUCUIT."

"CUITCUITCUIIIIT."

"CRUCRUCRUCRUIT."

Disusul suara burung milik Pak Kadir.

"Kan," Ama jengkel dan langsung menyumpal telinganya dengan earphone.

Ama ini tipe orang yang kalau sudah bangun, gak bisa tidur lagi (dan itu menyebalkan, serius). Maka dari itu, Ama pun turun dari ranjangnya yang nyaman dan mulai merapikan selimut. Bukannya Ama rajin, karena kalau gak gini, pasti Bunda bisa ngomel tujuh turunan pun gak selesai-selesai. Dibanding telinga Ama merah, mending melakukan hal yang dipinta Bunda. Ya gak, Guys?

Setelah itu, Ama ke kamar mandi untuk gosok gigi, buang air, dan cuci muka. Tentu saja earphone masih menyetel lagu Happier dari Marshmellow, lagu yang ia gandrungi akhir-akhir ini meski sebenarnya dia jadi merindukan pacar yang tidak ada dalam di hidupnya. (Apakah itu make sense? Ya, pokoknya begitu, lah, ceritanya).

Ama ke ruang makan. Tentu saja perutnya keroncongan karena cacing-cacing sudah melakukan unjuk rasa di sana. Di seberang meja makan, sudah duduk dua adiknya, Kiara dan Reno. Kiara, si Bungsu, sudah masuk TK B (serius, TK B, yang berarti beda usianya sama Ama kira-kira 14 tahun), dan Reno, adik pertamanya, yang sebentar lagi lulus SMP dan sedang masa puber-pubernya naksir kembang sekolah, kalau gak salah namanya..., ah, Ama lupa namanya. Sementara kakak pertamanya, Rasyya sedang di Jogja menjadi mahasiswa tingkat akhir jurusan animasi yang berteman dengan mi instan dan kupon promo.

"Kok kamu masih gegembelan sih?" tanya Bunda dengan alis mengerut.

Ama tentu gak mendengar pertanyaan Bunda karena telinganya disumpal. Bunda mengerti sikap anaknya maka Bunda menaruh mangkuk nasi dan mencabut earphone Ama. "Kok masih gegembelan sih cantiiiiiiik?" dengan suara yang membuat Ama langsung menutup telinganya.

"Jangan teriak-teriak dong, Bun, nanti Pak RT dateng," keluh Ama. "Gegembelan apa sih, Bun? Kan kalo pagi Ama emang gini."

Bunda menatap Ama seperti anak keduanya ini baru saja membelah seperti amoeba. Bahkan Reno yang sedang asyik main Mobile Legend langsung menatap kakak keduanya itu (langka sekali, karena Reno kalo lagi Mabar pasti serius banget). Sementara Kiara tetap asyik sama selai stoberi yang berantakan di tangannya.

"Sekarang hari apa?" tanya Bunda.

"Senin," jawab Ama. "Kenapa, Bun? Ada jadwal manggung, ya?"

Bunda mengurut pangkal hidungnya. Punya anak kok gini amat, ya....

"Tanggal berapa?" tanya Bunda lagi.

"Ya tanggal... berapa, sih, No?" tanya Ama. "Lagian Bun-Bun ngapain nanya tanggal sih, kan ada Alexa, Bun. ALEXAAA, TANGGAL BERAPA SEKARANG?"

Reno mencibir. "Ya kali Alexa ngerti bahasa tarzan."

"Heh! Awas ya lo," balas Ama dengan mata menyipit.

"Coba orang-orang liat lo yang gini, pada ilfil pasti," balas Reno.

"Lo bikin emosi ya pagi-pagi!" seru Ama, nada suaranya mulai naik satu oktaf.

"Udah-udah! Berantem terus nanti Bunda gak kasih uang jajan!" Ama dan Reno lantas menutup mulut mereka. Tentu saja uang jajan adalah hal yang dinantikan semua anak. Termasuk Ama, meski sebenarnya dia yang lebih sering ngasih uang jajan ke Bunda.

Bunda kemudian menatap Ama serius. "Kamu lupa hari ini hari apa?"

Ama mengangguk, masih dengan tampang polosnya.

"Hari ini hari pertama kamu ngampus, Cantiiiiiik. MANDI CEPETAN!!" gelegar Bunda sambil mendorong Ama ke lantai dua.

"Hah?" Mata Ama mengerjap. Suara musik dari earphone-nya masih menggelitik gendang telinga, sama seperti hari-hari kosong sebelumnya. Hingga akhirnya Ama sadar ini hari apa. Hari yang membuat kemarin malam, kemarinnya lagi, dan kemarin kemarinnya lagi, gelisah. Ama berseru lebih kencang ketika menyadari kelas pertamanya dimulai kurang dari setengah jam lagi. "HAAAAAAH?!"

"Hahaha, Govlok," celetuk Reno dengan puas.

Hari itu sukses Ama terlambat masuk kelas.

Hari itu sukses Reno gak dikasih uang jajan.

Hahaha, Mpus.

***

"LO pernah gak sih, ketemu sama banyak saudara pas acara hari besar atau apa, dan mereka tiba-tiba nanya, kayak," Ama menampilkan senyum sok manis, "'Kuliah di mana?' Dan gue yakin mereka berekspetasi gue kuliah di tempat yang sama bagusnya dengan karier nyanyi gue yang ternyata gak seindah yang mereka lihat di televisi. Tapi, pas gue jawab, 'Eh, gak Om/Tante/Kak, saya lagi gak kuliah dulu karena jadwal manggung saya padat.' Terus, ekspresi mereka kayak," Ama menunjukkan wajah pura-pura terkejut yang menjijikan. "Seriusan? Kamu gak mentingin pendidikan? Memang ya kalo udah kejilat duit, langsung gak mau sekolah lagi. Apa kata dunia kalau keluarga besar tahu?

"Memang sih, mereka gak bilang itu secara gamblang, yang tersisa tinggal obrolan canggung. Tapi, kalau hati lo ngerasa mereka secara gak langsung bilang kayak gitu, semesta juga tau apa yang ada dalam dasar hati mereka. Oh, si Ama gak selevel sama gue, meski dia udah sukses, tapi sayang, dia bodoh karena gak sarjana. Oh, ternyata kalo udah sukses, memang pendidikan itu ditinggalkan.

Kamera memperlihatkan Ama yang perlahan tersenyum, namun senyum itu bergetar, seolah menahan beban kesedihan yang teramat. Yang tidak hanya dirasakan olehnya, tapi juga mereka yang selalu diremehkan, yang dipandang sebelah mata.

"Atau ketika lo ngobrol sama temen-temen SMA. Mereka yang udah sibuk sama kegiatannya masing-masing. Pas kumpul, ponsel selalu ada di tangan, ngecek apakah ada notifikasi baru tentang kegiatan mereka, tanpa mengerti kalau temannya juga harus dihargai karena meluangkan waktu untuk berkumpul.

"Gue nyesek aja, gitu. Karena nasib gue gak sama kayak temen gue yang bisa fokus mikirin pendidikan tanpa pusing biaya, gue jadi dianggap sebelah mata. Mereka gak tahu...," Ama mendongak menatap langit-langit kamarnya. "Mereka gak tahu gue banting tulang nyari uang supaya finansial keluarga gue yang merosot sejak almarhum Bokap pergi bisa naik lagi. Gue nyari uang supaya rumah yang Bokap waktu itu gadaikan untuk modal bisnis gak diambil sama Pegadaian. Gue nyari uang supaya keluarga gue bisa makan," suara Ama makin bergetar. "Di umur gue yang baru 16, pada saat itu, pada saat temen-temen gue sibuk fokus belajar SBM. Fokus ngerancang masa depan mereka masing-masing.

"Makanya, setelah itu gue berjuang keras supaya bisa masuk universitas. Supaya orangtua yang udah ngebesarin gue dari kecil seenggaknya bisa bangga anaknya sarjana," ucap Ama dengan mata menerawang. "Gak apa-apa gue diremehkan, asal jangan orangtua gue."

Instagram: @diumur19

di umur 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang