chapter 2: ralla lestari ozora

17.2K 1.8K 85
                                    

"Hanya salah satu, bukan yang utama, apalagi yang satu-satunya."

"KALO lo berpikir hidup gue udah berat banget, lo salah," Ama menggeleng dengan senyum melekat di wajahnya. "Banyak banget orang yang lebih gak beruntung dibanding gue. Orang-orang yang buat makan aja masih gak menentu. Orang-orang yang struggle dalam kehidupan yang keras. Mereka yang diserang secara fisik dan mental tapi gak bisa menyuarakan hal itu," Ama terdiam sebentar. "Gue salut sama orang-orang yang berhasil melewati itu semua."

"Cara Allah bikin gue sadar itu, ternyata unik. Allah bikin gue sedih akan sesuatu untuk gue akhirnya menyadari kalau sesuatu itu gak perlu gue sedihkan, tapi gue hadapi. Allah bikin gue sadar kalau gue sudah diberi begitu banyak anugerah, dengan cara gue mengintip kehidupan orang lain yang masalahnya ternyata jauh lebih besar dibanding yang gue alami. Kayak..., duh, masalah gue tuh kecil banget dibanding yang orang itu hadapi sekarang. Gue gak boleh ngeluh karena cuma ini. Dia aja yang masalahnya banyak, tetep senyum, tetep bikin sekitarnya bahagia. Kalau itu bukan sebuah kekuatan, gue gak ngerti lagi apa kata yang tepat buat mengungkapkannya," ucap Ama. Ama menarik napas panjang sesaat untuk melanjutkan kalimat berikutnya. "Sekarang gue ngerti. Apa yang terjadi pada gue atau pada orang itu, semuanya memang udah takdir-Nya. Tinggal kita aja yang harus melewati itu semua dengan tegar."

"Setelah ini, gue menceritakan kisah orang itu. Orang yang bikin gue sadar kalau hidup itu memang tentang perjuangan dan pengorbanan."

***

LESTARI tahu kalau hidupnya tidak sama dengan anak-anak kebanyakan. Tari bahkan sudah menerima hal itu jauh-jauh hari, bahkan sebelum dirinya tidak mampu ikut study tour SMP karena terbentur biaya. Tari tahu dirinya harus berjualan kue kering dan basah setiap pagi di sekolah untuk biaya SPP serta keperluan dirinya dan adiknya, Lentera. Selain berjualan, Tari juga kerap kali dipercayakan untuk mengantar bahan makanan di tempat-tempat jajanan di mall.

Tari ingin jadi anak yang membanggakan kedua orangtua, juga ingin taraf hidup keluarganya menjadi lebih baik, maka dia belajar sungguh-sungguh untuk mengejar beasiswa. Dan, Tari mendapatkannya, beasiswa penuh, ditambah uang saku.

Pagi itu seperti pagi yang biasa. Tari bangun jam empat pagi untuk membersihkan rumah yang semalam kacau karena abu rokok dan berserakannya botol minuman di lantai. Tari tidak mau Lentera melihat kekacauan itu dan menjadi sedih, maka Tari selalu bangun lebih pagi, selelah apa pun dirinya tadi malam mengantarkan bahan makanan. Setelah itu, Tari langsung membuat sarapan sekaligus bekal makan siang untuknya dan Lentera. Ketika jam menunjukkan pukul lima, semua keperluan untuk hari itu sudah selesai, dan Tari bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, lalu kemudian menunaikan shalat Subuh di kamarnya.

Lentera bangun jam enam. Tari masih belum bisa memaksa Lentera untuk shalat di umurnya yang baru enam tahun. Tari pun membantu Lentera untuk mandi dan bersiap-siap ke Paud. Tari membantu Lentera yang masih makan dengan celometan. Tari mengucir rambut Lentera. Tari memakaikan kerudung hijau khas Paud untuk Lentera.

Tari adalah ibu sebenarnya Lentera.

Tari mengantar Lentera ke Paud dengan berjalan kaki, karena lokasinya memang ada di depan perumahan. Seperti hari-hari biasa, Lentera dititipkan di Paud hingga jam empat sore. Bersama dengan anak-anak lain yang orangtuanya sibuk bekerja.

Jam tujuh pagi, ketika Tari pulang selepas mengantar Lentera, orangtuanya baru bangun. Dan, tak lebih dari sepuluh menit, mereka langsung saling bertengkar dan adu argumen.

Argumennya itu-itu saja. Mama menuntut biaya keperluan ini-itu pada Papa. Papa tidak punya uang lagi setelah kasus PHK yang menjeratnya lima tahun lalu, maka Papa balas memarahi Mama sebagai wanita tidak tahu diuntung. Kemudian Mama mengatakan kalau dia menyesal dengan pernikahan ini. Ujungnya, Papa membanting pintu (yang sebenarnya pintu itu sangat kasihan sekali karena selalu jadi pelampiasan orang-orang dewasa di rumah ini) entah pergi ke mana, menyisakan Mama yang menangis-nangis lalu mengatakan pada Tari kalau dia harus mencari laki-laki yang tidak seperti Papa.

Tari membuatkan sarapan untuk Mama. Memberi Mama minuman hangat untuk meredakan amarah. Mama menjadi tenang dan kemudian tidur di sofa dengan TV yang menyala.

Barulah jam delapan, Tari ada waktu untuk dirinya. Ia bersiap-siap ke kampus, masih dengan perasaan berdebar-debar, meski sudah seminggu terlewati. Tidak ada hal-hal mengejutkan terjadi di kampus, bahkan bisa dibilang, Tari sudah bisa menyesuaikan semuanya dengan baik. Hanya saja, dirinya tidak berjualan kue kering dan basah, mengingat Tari tidak ingin orang-orang mulai mencampuri urusan hidupnya. Gaji mengantar bahan makanan, uang saku, serta tabungan Tari cukup untuk menutupi semua keperluan makan dan lainnya.

Tari selalu berjalan kaki dari perumahan hingga stasiun untuk menghemat pengeluaran. Lagipula, tidak ada salahnya jalan di pagi hari, meski tatapan dari tukang ojek pengkolan dan supir angkutan umum membuat bulu kuduk Tari meremang. 

"Pagi, Tar," sapa Luki dengan santai, kedua tangannya ia masukkan ke saku jaketnya.

Kemunculan Luki, tetangga sekaligus sahabatnya dari blok A, tentu saja membuat Tari terkejut. Tari lantas mencubit bahu laki-laki itu sekeras mungkin. Mereka tetap berjalan menuju gerbang perumahan.

"Kamu bolos jam pertama lagi? Ngapain sih, Lukiii, kurang kerjaan banget, tau gak! Belajar yang bener, biar lolos SBMPTN! Gimana sih kamu ini," gerutu Tari tanpa mengindahkan Luki yang mengaduh karena cubitan super dahsyatnya. "Mamah sama Papah ngebesarin kamu untuk pengharapan yang lebih dari ini."

"Ampun galak banget, Tar. Iya..., iya.... Abis ini gue gak bolos lagi, deh," ucap Luki, tangannya mengusap bahu bekas kriminalitas Tari. "Tapi, kan, gue pengin banget dong, lihat sahabat gue yang satu ini jalan ke kampus memulai harinya sebagai mahasiswi kece...."

Wajah Tari memerah. Meski usia Luki di bawahnya setahun, Tari tetap saja tidak bisa mengabaikan debaran jantungnya yang terasa cepat ketika laki-laki berambut cepak itu ada di sekitarnya. Entah sejak kapan hal itu terjadi. Terjadi begitu saja. Mungkin ini sebabnya antara laki-laki dan perempuan tidak boleh terlalu dekat, karena salah satu di antaranya pasti menyimpan perasaan lebih.

"Kamu...," Tari berusaha memutar otak untuk mencari kata-kata, dan akhirnya, dia berhasil menutupi kecanggungannya, "Kamu kan udah seminggu kayak gini, Luki! Masa sampe aku lulus, kamu mau bolos terus? Kalo kamu selamanya jadi anak SMA gara-gara gak lulus gara-gara gak belajar gara-gara ngikutin aku terus ke mana-mana, gimana?"

Luki terkekeh. "Serius amat sih, Marimar. Hidup tuh ketawa dikit apa, dikiiit aja."

Tari hanya menggerutu untuk menutupi kesenangannya. Iya. dirinya senang ada Luki di sekitarnya. (Tunggu, nama mereka inisialnya sama. Padahal Wulan gak sengaja. Padahal tadi sampe nyari nama bayi di Google. Tiba-tiba pengen nama Luki. Ternyata nama ceweknya Lestari. Adeknya Lestari namanya Lentera. Ajaib.) Luki membuat Tari merasa ada seseorang yang mendukungnya, berada di sampingnya, berbagi cerita dengannya.

Bersama Luki, Tari bisa bebas bercerita apa saja. Namun sudut kecil hati Tari yang pesimis mengatakan, kalau ada banyak perempuan lain yang lebih menyenangkan dan menarik bagi Luki, yang juga merasa nyaman bercerita apa saja pada laki-laki itu. Dengan sikap yang ramah dan penyayang itu, sudah jelas banyak perempuan yang naksir dengan Luki. Tari salah satunya. Hanya salah satu, bukan yang utama, apalagi yang satu-satunya.

Tidak apa-apa. Tari selalu menenangkan hatinya.

Bersama Luki meski hanya berjalan beriringan sampai depan kompleks perumahan saja, sudah membuat hari Tari sedikit lebih ringan dibanding yang seharusnya orang-orang awam kebanyakan membayangankannya.    

di umur 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang