Namanya Kisa, Gadis Yang Aku Cintai

23.9K 1.4K 98
                                    

Aku menatap tak minat Sebti yang berbaring di ranjang. Ini sudah seminggu kami menikah, besok pagi rencananya kami akan pindah ke rumah orang tuaku.

Selama seminggu kami menikah, tak sekalipun aku pernah menyentuhnya. Tak minat dan tak ada gairahku untuknya.

Menghela napas, aku kembali menatap ponsel di genggaman. Ada sebaris pesan dari Kisa, yang meminta tolong untuk mengantarnya ke kota besok.

Aku tidak pernah keberatan, aku suka mengantarnya kemanapun. Membonceng dan mendengar celotehnya, membuatku merasa hangat dan hidup.

Aku menyukai ah tidak aku mencintai Kisa.  Aku pernah sangat menyesal memutuskan hubungan kami dahulu, dan lebih menyesal lagi saat aku meminta restu pada Ayah dan Ibu untuk menikahi Kisa tapi tak mereka restui.

"Ibu tahu Kisa gadis baik, tapi Ibu enggak bisa ngerestui kalian Bang. Kisa itu janda, punya anak satu. Ibu bukanya merendahkan janda, tapi... duh pokoknya Ibu enggak ikhlas kalau kamu sama Kisa."

Itu ucapan Ibu beberapa tahun lalu, kata-kata yang membuatku marah dan juga kecewa pada mereka.

Setelah menyetujui ajakan Kisa, aku meletakan ponsel di atas meja, lalu berbaring memunggungi Sebti. Aku terpejam, tak lama kemudian sudah terseret ke alam mimpi.

"Agra bangun." Guncangan di bahu membuatku menggeliat dan membuka mata. 

"Apa?" ucapku pada Sebti yang berdiri di sisi ranjang. "Udah pukul 6, bangun ya."

Aku bergumam dan bangun terduduk. Menguap beberapa kali dan turun dari ranjang. Membiarkan Sebti merapikan ranjang kami.

Di luar kamar, keluarga Sebti sudah sangat berisik. Masak ini-itu, berteriak suara tangisan anak-anak, membuatku bagai hidup di neraka seminggu ini. 

Aku bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dengan cepat dan masuk kembali ke kamar.

Keluarga ini terlalu sibuk sana-sini hingga pukul 9 pagi kami baru bisa berangkat ke rumah orang tuaku. Di antar Ibu-Ayah dan saudara-saudara yang lain.

Aku merasa lega, setela mengobrol selama beberapa jam, akhirnya rombongan keluarga Sebti undur diri. Tinggallah aku dan keluarga inti. Satu jam kemudian setelah semua selesai dibersihkan, aku masuk ke dalam kamar. Mandi, mengganti baju yang lebih bagus, memakai parfum dan juga gel rambut.

"Kamu mau ke mana?"

Aku menoleh saat mendengar suara Sebti. Aku kembali merapikan rambut, sedangkan Sebti melangkah dan duduk di ujung ranjang.

"Kamu mau Ke mana? kenapa rapi sekali."

Aku berjalan ke arah lemari, mengambil jaket dan memakainya. "Aku mau keluar bentar."

"Terus aku gimana?"

Aku mengerutkan dahi. "Gimana apanya?" tanyaku tak mengerti.

"Aku mana enak sama Ibu, Ayah dan saudaramu yang lain. Kalau kamu tinggal sendiri aku bakal canggung banget."

Aku mengangkat bahu mendengar keluhan Sebti. "Kamu ke rumah orang tua kamu aja kalau gitu."

"Itu malah lebih aneh lagi Agra. Emang kamu ngapain sih keluar?"

Aku kembali terdiam. "Terserah kamu deh, mau ke mana. Aku mau keluar sebentar," ucapku berlalu ke luar kamar.

Aku melirik saat Sebti berjalan mengikutiku. Mengambil sepatu dan kunci motor aku melangkah ke luar rumah.

"Mau ke mana Bang?"

Aku menghentikan langkah saat Ibu berdiri di hadapanku. "Keluar sebentar Bu."

"Ke mana?"

Aku menatap Ibu. "Mengantar Kisa ke kota," ucapku setelah beberapa menit terdiam. Menimbang akan jujur atau bohong. Namun, akhirnya aku memilih jujur.

Ibu tersentak kaget, wajahnya menahan amarah mendengar jawabanku. "Masuk dulu Bang, Ibu mau bicara."

Aku menggeleng. "Nanti aja ya Bu, aku udah terlambat nih." Aku melirik jam di pergelangan tangan.

"Sekarang Bang," ucap Ibu tegas, membuatku mau tak mau harus menuruti perintah beliau.

"Kamu main sama Nina dulu ya Seb," ucap Ibu pada Sebti sembari menunjuk Nina yang sedang bermain ayunan di bawah pohon mangga.

Sebti mengangguk, dia melirikku sekilas. Lalu berlalu begitu saja.

"Ngapain kamu mengantar Kisa ke kota? Ada urusan apa dia di sana? Emang dia enggak tahu ya kamu itu udah jadi suami orang, kenapa main seenaknya aja mengajak kamu pergi."

Berondong Ibu dengan berbagai pertanyaan setiba kami dalam kamar. Aku mengaruk rambut belakang.

"Enggak tahu Bu, mau mengurus pajak motor katanya."

"Pajak motor!" seru Ibu. "Emang Harun ke mana? kenapa dia enggak minta antar Abangnya itu."

Aku duduk di sudut ranjang, mengangkat bahu tak tahu.

"Pokoknya kamu enggak boleh pergi kemanapun sama Kisa ya Bang. Ingat Sebti istri kamu, jaga perasaan dia. Dan Apa kata orang nanti."

"Ayolah Bu, aku udah terlanjur janji sama Kisa," ujarku menarik napas lelah.

"Ibu enggak mau tahu, pokoknya kamu gak boleh pergi sama Kisa, memangnya kamu mau jadi omongan sekampung!" seru Ibu memberi tatapan tajam.

Aku kembali mengacak rambut. Bingung bagaimana caranya kabur dari Ibu. Aku benar-benar ingin pergi berdua dengan Kisa.

Tok...

Tok

"Mas Agra ada Mbak Kisa nyariin nih!" seru Nina dari luar sana.

"Aku pergi Bu, Assalamualaikum," ucapku bangkit dan berjalan keluar kamar.

"Bang. Ibu kan udah bilang jangan pergi sama Kisa," bisik Ibu mengikuti langkaku dari belakang.

"Kisa udah di sini Bu, enggak enak kalau ditolak." Aku terus melangkah, tak memperdulikanya tarikan dan cubitan Ibu.

"Sebti gimana. Jaga perasaan istri kamu dong. Memangnya kamu suka lihat istri kamu jalan sama laki lain?"

Aku tak peduli dengan Sebti. Untuk saja kata-kata itu tidak meluncur dari mulut. "Dia udah tahu kok Bu."

Kami tiba di luar, Kisa sedang terlibat obrolan dengan Nina dan Sebti. "Udah siap belum?" tanya Kisa saat melihatku.

Aku tersenyum melihat penampilan Kisa, sangat manis dengan hijab pink menutupi kepalanya. "Udah yuk, berangkat." ucapku melirik Sebti. Tampak kerutan dalam di dahinya.

"Mau ke mana Bang?" tanya Nina yang duduk di samping Sebti.

"Mau antar Mbak Kisa bentar," jawabku melangkah ke arah motor. Menyalakannya dan menunggu Kisa, wanita yang kucintai naik ke boncengan.

"Aku pergi ya Mbak Seb, Wak" ucap Kisa pamit pada Sebti dan Ibuku.

Tak ada sahutan dari Sebti dan Ibuku, aku hanya melihat anggukan lemah dari Sebti dan  pelototan tajam Ibu.

Setelah Kisa naik dan merasa nyaman di belakang, aku mulai menjalankan motor di bawah tatapan tajam Ibu.

Ini semua gara-gara Sebti. Kalau saja dia menolak lamaran keluargaku, aku tidak akan merasa kesulitan keluar bersama Kisa.

Segera mungkin aku harus melepaskan diri dari Sebti. Tidak perlu menunggu 6 bulan seperti rencana awal. Jika aku berpisah dari Sebti, keluargaku tidak akan bisa melarangku bersama Kisa. 

Aku sudah tidak sabar menikahi Kisa, aku ingin mendengar celotehnya sepanjang waktu dan juga pelukannya. Aku menyentuh tangan Kisa yang sedang memeluk perutku meremasnya sesaat, membuat Kisa mengeratkan pelukan.

Dari balik helm aku tersenyum. "Ya Allah aku sangat menginginkan wanita ini. Aku sangat ingin dia menjadi Ibu dari anak-anakku." Doaku dalam hati. Doa yang selalu ku panjatkan tiap waktu.








Perempuan Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang