21.29
Anj***

Tawa Liqa mereda. Kata setan, banci bahkan anj*** tertuju padanya. Walau cowok itu tidak mengatakannya secara langsung tetapi tetap saja hati Liqa terasa sakit. Ini pertama kalinya Liqa dapat makian selama dia hidup hampir 17 tahun.

Liqa membenarkan kalau itu bukan salahnya sepenuhnya, tapi, apa tidak bisakah cowok itu berkata sopan sedikit. Bukan malah berkata kasar.

Seperti tidak diajarkan saja.

Liqa berdeham meredakan emosinya, tangannya mulai menari-nari di layar ponselnya. Liqa rasa cowok itu langsung mengerti pesan yang barusan ia kirim. Liqa langsung mematikan ponselnya dan berpindah ke kasur empuknya.

*****

Suara ricuh memenuhi ruangan. Senyum cerah terpampang di wajah beberapa orang dari mereka.

"Udah gue bilang, tuh orang bisanya bacot!" ucap Reza. "Lihat kita yang menang kan?"

"Gak tahu malu emang," timpal Abay.

"Diawal aja yang bacot, itu juga karna Ansel bilang jangan lawan dulu. Giliran diserang ampun-ampun!" ujar Boim yang masih panas. Lawan mereka sempat menjengkali cara bermain mereka sampai menghasilkan adu mulut.

"Kampreto tuh bocah!"

"Uangnya udah dikirim gak sama mereka?" tanya Yuma.

"Belum tau, tanya Ansel tuh!" tunjuk Boim ke arah Ansel yang sedang serius bersama ponselnya.

"Kenapa lo?" Yuma menepuk pundak Ansel sampai Ansel menatapnya galak.

"Ada orang yang gak dikenal ngechat gue."

Yuma menatapnya bingung. "Kok bisa dia dapat nomor lo?"

Teman dekat dan juga keluarga Ansel sangat menjaga privasi Ansel. Tidak sembarang orang bisa mendapat atau menyimpan nomor Ansel. Banyak siswi SMA First Star yang meminta nomor Ansel kepada teman-teman Ansel dengan memberi uang atau apapun asal dapat nomor Ansel. Namun, tidak ada satupun yang berani memberi nomor Ansel karena mereka tidak ingin mendapat teror horor.

"Gue juga bingung," jawab Ansel sembari membalas pesan itu dengan amarah.

"Coba lihat profilnya kali aja ada fotonya,"

"Cupu, gak berani dia pasang profil."

"Sabar, entar kita cari rame-rame siapa dia." Setelah mengucapkan itu Yuma langsung pergi ke teman-temannya.

From : +62 822 **** ****
21.40
Liqa

Satu kata mampu merubah mimik wajah Ansel yang tadinya mengeras kini menjadi datar.

From : +62 822 **** ****
21.41
Gue hanya mau nyampein pesan
Pak Afgan kalau lo diminta untuk mencari tau apa kendala mereka
sampai gak bisa matuhi peraturan
yang ada. Apa lagi cara bicara
seorang pelajar yang gak disaring
dulu.

Ansel menarik sudut bibirnya, ia tau kalau Liqa menyindir cara bicaranya tadi. Lagian Ansel kira Liqa seorang cowok.

Ansel
21.42
Oh

21.44
Tapi gue gak bakal mau jalanin
tugas itu

21.46
Lo aja yang chat mereka

Ansel terus menatap ponselnya menunggu balasan dari Liqa.

Lima menit telah berlalu balasan belum juga muncul. Ansel menyedot habis susunya dan mengambil satu kotak lagi yang belum terbuka.

"Belum pulang Sel?" tanya Boim yang sedang memakai jaket kulit.

"Entar lagi," jawab Ansel tanpa mau melirik.

"Serius amat, liat apa?" Boim semakin mendekat.

"Gak ada," Ansel berdiri dari bangku dan memasukkan ponselnya ke saku hoodie hitamnya.

Setelah Boim menjauh Ansel kembali mengambil ponselnya dan melihat apakah sudah ada balasan.

"Ck." Ansel melempar dua kotak susu yang sudah habis dia sedot ke tempat sampah yang jauh darinya.

"Gue pulang!" teriak Ansel.

"Oke ketua," ucal Yuma.

"Tiati Sel, entar kena culik wewe gombel!" pesan Reza.

"Jangan lupa baca doa Sel biar selamat. Lo kan udah diincar malaikat maut dari lahir," timpal Biom.

Ansel langsung melemparkan botol yang isinya tinggal setengah hingga membuat Boim meringis sekaligus mengumpat.

"Mampus lo Im! Ansel kok dilawan," ejek Yuma.

"Sel, titip salam sama tante girang yang joget-joget di pinggir jalan!" teriak Abay yang langsung dikerumuni yang lain untuk di ruqyah.

"Siap." Ansel tertawa melihat wajah Abay yang ternistakan.

See you babai ❤



Gone : Liqa [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora