chapter 8: semangat

Start from the beginning
                                    

Bunda mengusap air mata yang entah sejak kapan turun. Tangannya dengan cekatan menyuapkan makanan pada Ama. "Iya, satu-satu kita wujudkan bareng, ya."

"Makasih, Bun."

Setelah selesai makan, Bunda pun ke luar kamar Ama. Lagi-lagi, Bunda tidak bisa mengatakan yang sejujurnya pada Ama. Bunda merasa, belum, belum saatnya Ama tahu.

Ama sedang bahagia.

Putrinya yang sudah lama berjuang melewati aral bahkan sampai detik ini itu sedang berbahagia.

Sementara, Ama tahu ada yang Bunda sembunyikan, tapi Ama tidak akan memaksa. Toh, sekarang tidak ada yang perlu diburu-buru.

Ponselnya berdenting, membuat Ama menaikkan satu alis. Tumben.

Melihat chat dari Rendra, mata Ama sedikit melebar. Apalagi melihat isi chat tersebut.

Rendra: Boleh jenguk, gak? 04.38 PM

Ama: Tau dari mana? 04.39 PM

Rendra: Karena aku nunggu kamu di kafe, tapi kamu selalu gak ada. 04.39 PM

Rendra: Jadi mungkin, kamu sakit. Aku boleh jenguk? 04.39 PM

Ama sedikit termenung. Rendra menunggunya setiap hari? Tunggu. Ama sudah tidak masuk seminggu lebih. Jadi, Rendra menunggunya selama itu? Dasar. Apakah tidak ada hal lain yang lebih berguna untuk Rendra lakukan dibanding menunggu seorang perempuan di kafe?

Ama: Boleh 04.45 PM

Ama: Tapi besok aja, okay? 04.45 PM

Besok saja. Karena sudah lebih dari seminggu juga, Ama belum mandi.

***

SEMBURAT senja mulai terlihat di langit kota ketika Tari turun dari mikrolet. Dari jalan raya, Tari selalu berjalan sampai ke rumah. Hari ini adalah hari Rabu, hari di mana Tari bisa pulang sore dan menikmati senja. Memang hanya beberapa menit saja sebelum Tari disibukkan mengurus Lentera dan mengantar barang supplier, namun beberapa menit pun cukup membuat lelah Tari sedikit berkurang.

"Hei!" seruan dari arah belakang telinganya membuat Tari refleks menoleh. "Tayo!"

Pelakunya tak lain tak bukan adalah Luki. Tari otomatis menabok bahu Luki karena sudah membuatnya terkejut. "Teriaknya jangan deket telinga!"

Luki terkekeh puas. Diam-diam, Tari mengamati Luki. Tubuh jangkungnya dengan seragam putih abu. Tas selempang hitam yang disampirkan di bahu kanan. Rambut Luki yang memang benar-benar acak-acakan tanpa disengaja–dari dulu, Luki memang tidak pernah suka menyisir rambut atau mencoba merapikannya sedikit. Dan ukiran senyum ceria yang selalu tersuguh.

Luki yang jauh dari jangkauan Tari.

"Gue masih nunggu balasan chat sejak tiga puluh jam yang lalu," ucap Luki dengan sok serius. "Udah dibaca sih, sama orangnya, tapi gue antara dicuekkin atau dia lupa bales. Menurut lo, dia cuekkin gue atau lupa bales?"

Tari yang tidak mengerti maksud Luki, lantas menjawab, "Lupa bales, kali. Jangan mikir negatif mulu soal orang. Kan, gak baik."

Luki tiba-tiba menyalip Tari hingga mereka akhirnya berhadapan. Luki berjalan mundur karena Tari juga tetap melanjutkan langkahnya. "Terus?"

Tari mengerutkan alis. "Terus? Ya, kamu coba chat lagi aja. Kok repot."

"Gak usah, orangnya ada di sini."

Tari berhenti berjalan untuk menoleh ke kanan kiri. "Mana?"

"Kamu."

"Oh...," kemudian mata Tari membelalak. "Sejak kapan aku gak bales chat Luki?"

Luki hanya mengangkat bahunya dan berjalan lebih dulu dari Tari. Tanda sedang merajuk. Tari buru-buru membuka ponsel dan dirinya meringis melihat chat Luki tentang Legenda Donat Lestari memang belum sempat Tari balas karena lupa. Kemarin malam, Tari harus begadang untuk mengerjakan tugas kuliah.

"Yah, maaf dong, Luki...," ucap Tari seraya berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkah panjang Luki.

Luki melirik Tari. "Tapi lo harus terima royalti seratus persen itu."

Wajah Tari berubah kusut. Dirinya terdiam.

"Kenapa gak mau?"

Tari berhenti berjalan. Luki juga.

"Kamu tau kan, aku gak bisa balas apa yang udah kamu lakukan ke aku?" tanya Tari.

"Gue gak minta balasan dari lo, Tar."

"Tapi, kamu gak ngerti posisi aku."

Tari melihat sepatunya. Dia tidak suka berkonflik dengan orang yang ia sayangi. Selalu tidak pernah suka. Dan Tari lebih tidak suka lagi ketika dirinya membuka kartu, 'Kamu gak ngerti posisiku,' setiap kali bertengkar. Tapi, memang itu yang ia rasakan. Luki tidak akan mengerti rasanya menjadi Tari yang setiap hari selalu berpikir apakah hari ini bisa memberi makan keluarganya atau tidak.

Luki menghela napas. "Ya udah, gue minta maaf."

"Jangan minta maaf. Kamu gak salah. Aku yang sensitif."

"Gue minta maaf karena udah gak sensitif," balas Luki. Luki kemudian melihat ke arah langit. "Senjanya lagi bagus-bagusnya tuh, Tar."

Tari merasa lega karena Luki akhirnya mengganti topik. Sambil berjalan menuju perumahan yang sebentar lagi menuju persimpangan jalan antara Tari dan Luki, mereka melihat ke arah langit. Benar. Sedang bagus-bagusnya, jingga-jingganya.

"Nanti, gue mau kuliahnya di kampus Tari aja, deh. Yang sejurusan sama Tari juga. Kalo bisa satu kelas," celetuk Luki.

Tari menoleh. "Hah?"

"Iya. Biar pas pulang kampus, bisa liat senja bareng-bareng kayak gini, seterusnya."

Tari tahu diri untuk tidak tersipu dengan kalimat Luki barusan.

Karena, sama seperti persimpangan jalan antara rumahnya dan Luki, perasaan Tari hanya akan berujung pada persimpangan.

Karena Tari tidak bisa memiliki Luki.

Keinginan itu terlalu egois.

***

Author Note

Haiii

Semoga kalian suka sama chapter 8 karena jujur ini adalah chapter yang paling aku suka sejauh ini :)

Apa opini kamu untuk Di Umur 19? Adakah hal baru yang kamu pelajari lewat kisah mereka?

*Tayang=Sayang

di umur 19Where stories live. Discover now