chapter 8: semangat

Start from the beginning
                                    

"Kapan?" tanya Setyo dingin.

"Bulan depan."

"Dia akan tinggal di mana?" tanya Setyo, menunduk dalam.

Mata Ibu sudah lelah. Usianya juga sudah menua. Namun perasaannya tetap halus, dari dulu mau pun sekarang.

"Sebenci-bencinya kamu pada Ayah karena telah membuat Ibu, kamu, dan Vero menderita, dia tetap Ayah kamu. Kamu tidak mau keluarga kita berkumpul bersama di surga nanti?"

***

BALON permen karet Ama meletus ketika Bunda mengetuk pintu kamar, "Ama, ini Bunda."

Ama mengunyah permen karetnya lalu berkata, "Masuk, Bunda Tayang*."

Bunda perlahan masuk dengan senampan piring makanan dan minuman. Ama buru-buru bangkit dari tempat tidur. "Bunda, jangan capek-capek. Ama bisa ambil sendiri, kan."

"Gak apa-apa, kan Bunda pengen manjain Ama," balas Bunda sambil nyengir. "Bunda seneng, kok, direpotin dan dibutuhkan anak-anak Bunda. Termasuk Ama."

Ama menyipitkan matanya tapi tak bicara apa-apa. Entah kenapa, Ama tahu, ada suatu hal yang sedang Bunda sembunyikan agar Ama fokus istirahat. Awalnya, Ama ingin mendesak Bunda untuk memberitahu apa yang sedang terjadi, namun Ama memilih bungkam. Biar saja Bunda yang bicara.

"Bunda suapin, ya?" pinta Bunda setelah duduk di sisi tempat tidur.

Ama berusaha menengok ke arah pintu kamar. "Gak ada Reno sama Kiara, kan?"

Bunda terkekeh kecil dan menggeleng. "Pergi les. Ini kan hari Rabu."

Ama membuang permen karetnya di kertas bekas bungkus permen karet lalu merubah posisinya menjadi duduk bersila. Dengan manja, Ama membuka mulutnya, siap untuk disuapkan makanan oleh Bunda. Kalau melihat Ama yang manja seperti ini, rasanya, Lana yang bersinar di atas panggung tampak seperti khayalan, dan memang kenyataannya Lana adalah sebuah khayalan yang dibentuk sempurna. Bukan seorang Ama yang penuh ketidaksempurnaan.

Bunda lagi-lagi tertawa geli melihat tingkat anak keduanya seperti itu. Pasti kalau Kak Rassya, Reno, dan Kiara melihat, sudah habis Ama dijahili dan ditertawakan siang dan malam.

Bunda menyendokkan sup ayam, lalu mulai menyuapi Ama, seperti Ama yang dulu masih balita.

"Ama merasa bersyukur banget, Bun," ucap Ama sambil mengunyah. Bunda menoleh sekilas ke arah Ama, untuk memberitahu kalau Bunda sedang mendengarkan. "Ama punya orang-orang yang sayang sama Ama. Tanpa syarat. Meski sekarang Ama sedang jatuh, orang-orang yang sayang sama Ama tetep ada, gak hilang. Rasanya, komentar-komentar yang nyakitin hati Ama, langsung sembuh, langsung Ama lupakan.

"Sekarang, Ama mau fokus sembuh. Kata dokter, Ama udah boleh beraktifitas lagi minggu depan. Ama mau fokus kuliah. Dan, Ama juga mau jalan-jalan. Boleh kan, Bun?"

Hati Bunda terasa sedikit teriris. Selama ini, Ama sudah bekerja keras menopang keluarga. Selama ini, Ama menahan keinginan demi keinginannya. Bahkan di saat ini, di saat Ama bisa melakukan apa saja yang dia inginkan, Ama masih meminta izin pada Bunda.

"Boleh, Sayang," ucap Bunda dengan suara sedikit parau. Bunda tidak ingin Ama panik kalau ketahuan menangis. Bukan Bunda banget. "Kamu mau ke mana?"

Ama tidak perlu berpikir lagi untuk mengetahui keinginannya. "Ama mau berenang. Ama mau naik Jiggle Jungle. Itu, loh, Bun, mainan anak-anak yang ada di mall, kayak motor-motoran bentuk binatang! Bawa Kiara aja, sebagai kedok, padahal Ama yang pengin main, hehehe. Terus, Ama pengin ke Dufan. Terakhir, Ama ke Dufan waktu SD, sama Ayah," Ama mengukir senyum sedih mengingat kenangan bersama Ayah. "Ama juga pengin banget ke Yogyakarta. Gak usah ke mana-mana. Jalan di Malioboro beli gelang sepuluh ribu tiga, Ama udah seneng banget."

di umur 19On viuen les histories. Descobreix ara