Chapter 1.2

57 14 5
                                    

Dua hari berlalu, persediaan makanan kini terpenuhi, cukup untuk mengisi perut empat puluh dua orang yang berada di lantai bawah tanah gedung pemerintahan ini selama sebulan ke depan.
Aku melindungi mereka yang mencari persediaan makanan dengan kekuatanku.
“Tidak ada sinyal sama sekali,” kuhela napasku yang terasa berat setelah gagal menemukan channel televisi.
Tidak ada sinyal televisi ataupun sinyal internet, semua jenis jaringan melalui satelit telah rusak. Aku belum mendapatkan informasi apapun tentang bencana yang terjadi.
Bantuan pemerintah juga belum datang, ditambah masih banyaknya mahluk-mahluk berbahaya di luar sana yang terus berkeliaran.
“Kita terisolasi,” Troias ikut pusing memikirkannya.
“Bagaimana cara kita mendapatkan informasi?” kuacak rambutku yang dari awal sudah berantakan.
“Mungkin … kita bisa mencoba radio,” Pherisio, putra Troias yang –harusnya- masih sekolah menengah atas, menyahut.
“Tidak ada sinyal satelit, Pher,” Troias seakan tidak senang karena Pherisio terkesan asal bicara.
“Tapi sinyal radio berbeda dengan sinyal televisi dan internet, sinyal radio paling dasar tidak membutuhkan satelit,” pendapat Pherisio langsung dapat kutangkap.
“Benar juga,” aku mengangguk.
“Sayangnya saat ini sudah jarang sekali ada perangkat radio, semua jenis alat komunikasi maupun informasi sudah menggunakan sinyal satelit,” Troias mengingatkanku pada kenyataan. “Radio telah punah.”
Aku menatap Pherisio, perkataan ayahnya benar.
“Aku bisa membuatnya,” Pherisio tersenyum optimis.
“Kau tahu caranya?” tanyaku.
“Tentu saja.”
###
Untuk pertama kali setelah dua belas hari, Pherisio keluar dari tempat berlindung.
Bersamaku, ayahnya dan dua orang relawan pemberani, kami menuju ke salah satu toko elektronik terbesar di kota ini.
“Apa tidak apa-apa seperti ini?” tanya Pherisio pada Mises, salah satu relawan yang ikut. Aku, Pherisio dan Mises duduk di bak belakang mobil terbuka yang kami naiki.
Troias dan Kirill, relawan lain yang menjadi sopir, duduk di depan.
“Tenang saja,” Mises menepuk bahu anak lelaki Troias itu. “Jika perkiraan ayahmu benar bahwa Ulriez memiliki kekuatan dewa laut Poseidon, maka tidak ada yang perlu ditakutkan. Lagipula aku sudah melihat sendiri bagaimana kekuatan Ulriez yang luar biasa.”
Mises tersenyum dan menatapku optimis. Pria yang tadinya bekerja sebagai pekerja kantoran itu melihat sendiri bagaiman kekuatanku saat mengalahkan dua mahluk menyerupai manusia namun bertangan sayap dan berkaki cakar burung. Dua mahluk –yang disebut Harpy- itu menyerangku dan beberapa relawan termasuk Mises yang sedang mencari persediaan makanan kemarin.
Pherisio ikut melihatku, aku mengangguk padanya. Tidak enak rasanya dipuji seperti itu, tapi aku tak boleh merubah suasana penuh semangat seperti ini.
Sepanjang jalan menyusuri kota Volos yang  kacau balau, kami tidak banyak bicara. Kami semua bersiaga menghadapi apapun yang bisa saja menyerang sewaktu-waktu.
Kami semua berusaha menjaga kewarasan melihat banyaknya mayat dengan kondisi badan tidak utuh di sepanjang jalanan kota. Kirill mengemudikan mobil cukup cepat dan lincah, mantan sopir taksi itu sudah sangat hapal jalan yang harus dilalui untuk menuju tempat tujuan kami.
Menurut Troias, mahluk-mahluk mistis berbahaya kini telah berkurang drastis dibandingkan saat pertama kali muncul setelah gempa besar. Namun bukan hanya mahluk-mahluk itu saja yang berkurang, hampir seluruh penghuni kota Volos juga ikut hilang.
Kami hampir sampai di tujuan saat terlihat seekor monster terlihat sedang tidur di kejauhan, Kirill segera membelokkan mobil menuju salah satu gang di antara dua gedung.
Aku turun dari bak diikuti Mises dan Pherisio.
"Kalian berjaga saja di mobil, aku akan mengatasi monster itu."
Mereka berdua mengangguk.
"Berhati-hatilah Ulriez," pesan Troias.
Aku mengintip dari sudut bangunan, jarak yang cukup jauh membuat monster anjing sebesar banteng itu tidak menyadari kedatangan kami.
Meski aku yakin jika kekuatanku melebihi manusia biasa, tetap saja aku masih merasa ragu untuk berhadapan dengan mahluk dalam legenda. Bagaimanapun juga aku harus bertaruh nyawa, padahal hidupku sebelum ini hanya seorang pemuda biasa yang sedang mencari kerja.
Sedikit demi sedikit kudekati monster itu. Semakin dekat, aku bisa melihat wujud aslinya. Ternyata monster anjing itu memiliki tiga kepala, mirip dengan deskripsi Cerberus penjaga Tartarus, peliharaan dewa dunia bawah Hades.
Yang membuatku merasa bergidik adalah aura di sekitar tempat itu, tidak ada monster lain atau mahluk hidup sama sekali seakan semua takut pada Cerberus. Kueratkan kepalan tanganku, kutarik napas dalam.
Aku keluar dari puing tempatku bersembunyi, satu dari tiga kepala Cerberus yang terjaga langsung melihatku disusul dengan dua kepala lain. Cerberus berdiri, tubuh anjing itu tidak lebih besar dari Minotaur namun memiliki aura yang mengerikan. Cerberus menggeram pelan.
Anehnya, Cerberus tidak menyerangku, berbeda dengan beberapa monster yang pernah kutemui sebelumnya. Cerberus bahkan tidak sedikitpun melangkah, namun ketiga kepalanya mengendusku.
Layaknya anjing biasa, Cerberus diam saja seakan menunggu sesuatu. Aku memicingkan mata.
"Duduk," sebuah kalimat iseng muncul dari mulutku karena melihat tingkah Cerberus.
Sesuai apa yang kukatakan, kedua kaki belakang Cerberus tertekuk untuk duduk. Dua kepala samping Cerberus menjulurkan lidah sedangkan kepala tengahnya lurus melihatku. Cerberus sangat mirip dengan anjing yang sudah terlatih.
"Kemari," kujulurkan tanganku untuk mencoba respon Cerberus.
Pelan tapi pasti Cerberus berjalan ke arahku. Aku terkejut sendiri, Cerberus benar-benar menuruti perintahku.
Meski tanganku bergetar, aku tetap bertahan di tempatku berdiri saat Cerberus sudah sangat dekat denganku. Kepala tengah Cerberus menjilat tanganku yang terjulur tanpa sedikitpun niat menggigit.
"Anak baik, anak baik," kucoba mengelus kepala Cerberus.
Bulu-bulu Cerberus terasa kasar saat kusentuh, mungkin karena ukurannya yang lebih besar daripada anjing normal. Tiga kepala Cerberus tidak sama, yang tengah terlihat seperti kepala jenis anjing German Shepherd, yang kiri Bulldog dan yang kanan mungkin sejenis Doberman.
Matanya terpejam dan menikmati belaianku. Dua kepala yang lain menatapku dengan tatapan ala 'anjing rumahan'. Aku yang mulai bisa tenang mengelus kedua kepalanya yang lain.
"Wow, kau menjinakkan Cerberus!" suara Pherisio di belakangku membuat Cerberus langsung berubah sikap. Tiga kepala Cerberus menggeram dan menatap tajam ke belakangku.
"Tenang, tenang anak baik, dia temanku. Kau tahu ... teman," kulambaikan tanganku di depan wajah Cerberus. Ketiga kepalanya langsung menatapku dengan tatapan penuh pertanyaan.
Aku melirik ke belakang, Pherisio melihatku kagum. Di belakangnya, Troias berwajah pucat pasi. Yang lain tidak ada yang berani menampakkan diri.
"Baiklah anak baik, duduk."
Sekali lagi Cerberus menuruti perintahku dan segera kubelai kepalanya. Meski sudah dapat kupastikan bahwa Cerberus benar-benar menurutiku, tetap saja aku masih khawatir dengan sikapnya pada yang lain.
Dengan tidak adanya orang lain untuk melindungi orang-orang yang datang bersamaku, aku merasa perlu melakukan eksperimen pada Cerberus ini.
"Baiklah anak baik, sekarang dengarkan aku," sejenak aku melirik ke belakang dan memberi isyarat pada Pherisio untuk mendekat padaku.
Kupegang bahu Pherisio setelah dia berada di sampingku..
"Dia temanku, kau mengerti?" tanyaku pada Cerberus.
Aku khawatir dengan respon Cerberus, namun aku lega begitu ketiga kepalanya mengangguk. Aku menengok lagi ke belakang, menyuruh Troias ikut mendekat.
"Dia juga teman," ucapku sembari membelai kepala tengah Cerberus. Respon yang sama kudapatkan.
Akhirnya aku tersenyum lega, kecerdasan Cerberus berbeda dengan monster biasa.
Setelah dapat kupastikan Cerberus tidak berbahaya, aku menyuruh yang lain keluar dari persembunyian.
Beberapa saat kami di tempat itu untuk melakukan  tes pada Cerberus. Dan hasil yang kudapatkan adalah, Cerberus hanya menurut padaku meski mengerti apa yang lain katakan.
"Kurasa tidak mengherankan jika Cerberus sepintar ini. Cerberus adalah peliharaan Hades yang setia, pastinya peliharaan dewa bukan monster biasa," komentar Mises.
"Tapi kenapa dia menurut padaku jika dia peliharaan Hades?" tanyaku.
"Mungkin karena kau juga dewa, atau setidaknya titisan Poseidon," Pherisio mengira-ngira.
Mendengar kata Poseidon, Cerberus menggonggong pelan padaku seakan membenarkan kata-kata Pherisio.
Aku tersenyum pada Cerberus, merasa senang karena sikapnya padaku. Meski Cerberus adalah seekor monster berbahaya, perasaan yang kudapat sama persis dengan masa kecilku dimana waktu itu aku memiliki seekor anjing peliharaan.
###
Berbeda seperti sebelumnya, kali ini perjalanan terasa lebih nyaman dengan adanya Cerberus mengikutiku. Tidak ada satupun monster liar di kota ini yang berani mendekati kami.
Pherisio mendapatkan semua bagian dan peralatan untuk merakit sistem radio dari toko elektronik.
Kubawa Cerberus ke tempat persembunyian. Awalnya semua ketakutan, namun setelah kutunjukkan jika Cerberus patuh menurutiku, mereka semua bisa lega.
Dua hari berlalu, Pherisio berhasil membuat sistem radio dengan sinyal yang cukup kuat. Sayangnya, tidak ada satupun sinyal dari luar yang masuk.
Seminggu berlalu, masih belum ada sinyal radio yang masuk ke radio buatan Pherisio, tidak ada juga sinyal yang bisa kami temukan.
Namun kehidupan dari para penyintas sudah lebih baik, mencari makanan bukan lagi masalah dengan adanya Cerberus. Bahkan anak-anak tidak takut lagi, mereka bermain di sekitar Cerberus seakan bermain dengan anjing rumahan.
###
Hampir sebulan setelah 'hari kiamat', barulah ada respon radio yang berhasil didapatkan.
"... mat, respo... i... tolong... kami...."
"Hanya ini yang bisa kudapatkan," ucap Pherisio setelah memperdengarkan padaku rekaman berbahasa Inggris yang didapatnya beberapa menit lalu.
"Sumber sinyalnya dari mana?" tanya Troias.
"Kurasa cukup jauh, arahnya dari barat, mungkin di luar kota. Kucoba menghubungi balik, tapi tidak ada jawaban," ucap Pherisio sembari mengutak-atik radionya.
Kami yang berada di tempat itu saling bertatapan, terlalu banyak resiko jika mencari tanpa petunjuk, apalagi jika harus meninggalkan orang-orang yang berada di rempat penampungan ini.
"Kita harus menyelamatkan mereka," ucap seseorang di belakangku. Cukup banyak orang yang berkumpul, aku tidak tahu siapa yang bicara.
"Mau jadi pahlawan, huh," sindir Kirill. Setelah cukup lama bersama mereka, aku jadi lebih tahu bagaimana sifat asli masing-masing termasuk Kirill yang berlidah tajam.
"Tapi kita punya Ulriez dan Cerberus," pemuda yang mungkin belum genap dua puluh tahun itu, kembali bicara.
"Tidak semudah itu Gerd, kita tidak boleh gegabah dalam hal ini," Troias melihatku. Aku mengangguk.
"Masalahnya, Cerberus hanya menurutiku, tak mungkin kutinggalkan dia untuk menjaga kalian ataupun sebaliknya, tak mungkin mengirim regu pencari dengan membawa Cerberus sedangkan aku disini."
"Jadi, tidak ada yang bisa kita lakukan?" Gerd, pemuda itu, tertunduk lesu.
"Jujur saja, tidak ada," jawab Troias jujur.
"Lalu apa gunanya radio itu?" Gerd mulai emosi. Pherisio tidak terlalu menanggapi, kuhargai pengendalian emosinya yang lebih baik daripada Gerd meski berusia lebih muda.
"Apa kau bodoh? Pher membuat radio itu agar ada yang datang kesini untuk kita," lagi-lagi Kirill menyindir.
"Tapi kita tidak bisa begitu saja meninggalkan orang yang membutuhkan!" Gerd tetap tidak terima pergi dengan muka masam.
Gerd menabrak bahu Mises yang sedari tadi diam saja.
Kami tahu Gerd benar, namun tidak banyak yang bisa kami lakukan dalam keadaan ini.

-tbc-
ngetik dan upload via hape bikin spasi antar paragraf berantakan :(
maaf deh, yg penting bisa ngetik terus :")

kemungkinan revisi langsung jika ada kesalahan plot dsb, karena fokusku skrg menyelesaikan cerita ini~

201218

Heroes of the LegacyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang