0.3 | A Few Good Men

19 1 0
                                    

3

¤¤¤

¤¤¤

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

¤¤¤

Handphone nya berdering didalam totebagnya. Anne yang sempat terpaku memperhatikan sosok pria dihadapannya, tersadar dan segera memeriksa ponselnya.

Terpampang nama Elena disana. Thank God, ujarnya dalam hati.

"Uh, maaf, sepertinya temanku menelpon." Sahut Anne dan segera menjauh dari pria yang menurutnya creepy.

"Anne, apa kau sudah sampai ? Aku menunggu mu didepan gerbang. Kau hanya perlu menunjukkan kartu mahasiswa mu dan viola kau bisa masuk ke stadion."

Baru saja Anne hendak menjawab, Elena sudah menutupnya terlebih dahulu. Ia bahkan tidak tahu dimana gerbang itu berada. Lalu, ia teringat pada lelaki berambut ikal tadi, hendak bertanya. Tetapi saat ia membalikkan badannya, pria itu tidak ada disana.

Anne menghembuskan nafas panjang sambil menepuk jidatnya. Bodoh. Gerutunya. Dan akhirnya mau tidak mau, dia harus bertanya pada orang-orang disekitarnya, walaupun jumlahnya sedikit.

 Dan akhirnya mau tidak mau, dia harus bertanya pada orang-orang disekitarnya, walaupun jumlahnya sedikit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Hei, Ben. Darimana saja kau, kita sudah berada disini selama 1 jam atau mungkin lebih." Ujar salah seorang temannya ketika pria berambut ikal tadi memasuki ruangan gantinya.

Lelaki yang dipanggil Ben hanya melirik dengan ekor matanya sambil melepaskan hoodie yang ia kenakan.

"Aku ada urusan." Jawabnya singkat.

Temannya yang lain saat mendengar jawaban dari Ben, menggidik sungkan. Karena menurut mereka, Ben, sudah berubah. Dia bukan seperti Ben yang mereka kenal. Biasanya pria itu lebih terbuka dan sering bercanda dengan teman-temannya, ya meskipun ia tetap menjaga image nya. Namun kali ini berbeda, um, lebih tepatnya minggu ini. Kerap ia mencampakkan teman-temannya dan asyik dengan dirinya sendiri, seperti bermain hp, membaca buku atau pulang lebih awal disaat latihan tengah berlangsung.

Hal itu tentunya menjadi suatu pertanyaan besar bagi teman satu timnya. Ada yang menduga ia sedang mempunyai banyak masalah yang belum terselesaikan. Ada yang menduga pria itu sedang lelah dan jenuh. Jadi mereka memilih untuk diam saja. Lagipula, Ben akan tetap diam seribu bahasa dan masa bodoh jika ada temannya yang peduli. Dia selalu berpikir bahwa teman-temannya tidak mengerti masalah yang sedang dia hadapi dan hanya ikut campur saja.

SempiternalWhere stories live. Discover now