Bab 5

247 26 5
                                    

Bab 5

"Mas ke sini lagi, kan? Main-main loh ke Jogja." Sofi berucap seraya tangannya membantu supir memasukkan koper Rivan ke bagasi.

Pagi ini ia akan kembali ke Semarang.  Tentu karena kepentingannya sudah selesai.

"Iya, mungkin gak lama lagi saya ke sini sama adik saya," balas Rivan.  Ia mendesah setelah berhasil memasukkan beberapa kantung 'pesanan' adik tersayangnya.  "Kalau gitu saya pamit, saya titip coffee shopnya, ya."

Sofiyan mengangguk dan melambaikan tangannya begitu Rivan memasuki mobil yang menjemputnya secara pribadi.  Rivan tersenyum kecil lalu menutup kaca jendela begitu mobil mulai bergerak maju.

Rivan menyenderkan badannya ke kursi.  Ingatannya melayang ke masa-masa kuliah sarjananya.

"Tahun ini anak-anak barunya pada seger semua, ye.  Kagak ada yang kumus-kumus kayak angkatan kita dulu."

Rivan hanya menganggukkan kepalanya.  Walau ya, ia akui tahun ini banyak mahasiswa baru yang terlihat lebih keren daripada kakak tingkat mereka sendiri.

"Wih anjir, kayak artis anjir.  Van, liat deh!"

Hh susah ya punya teman cerewet.  Rivan menolehkan kepalanya ke gerbang mengikuti arah tangan Bagus, temannya.  Dan ia menyesal karena melihatnya.  Gadis itu, rambut lurus panjangnya, bibir penuhnya, hidung kecil itu, dan mata sayu nan teduh itu telah memerangkap Rivan.  Sialnya ia tak bisa mengalihkan pandangan dari gadis yang sedang tengah berjalan terseok-seok memasuki ruang basket.

Dan setelah sekian lama Rivan mengagumi sosok gadis itu, Rivan akhirnya mengetahui namanya.  Kasih, Kasih Hansa Iswari.

Dia gadis yang bersinar.  Bahkan tidak hanya Rivan yang menyadarinya.  Banyak teman-teman angkatannya yang mengaku menyukai sosok Kasih.  Semakin mengenal gadis itu mereka makin jatuh pada pesonanya.  Kasih sederhana, tipe gadis yang rendah hati dan juga ia terlihat sering mengalah untuk segala sesuatu.

Kasih sungguh sempurna, sungguh.  Rivan mengakuinya dan sejujurnya ia takkan menampik jika orang bertanya apa dia suka dengan sosok itu atau tidak.  Ia akan jujur bahwa dia menyukai Kasih.

Hanya saja setelah masa ospek telah berlalu, Rivan menyadari Kasih menghindarinya.  Rivan tak tahu alasannya.  Namun ketika Rivan memasuki semester delapan ia mendengar bahwa Kasih telah berpacaran.  Dan hal itu membuat Rivan menganggap memang seharusnya begitu.  Walau ada yang mengganjal ketika mendengar berita itu, tapi sudah seharusnya sosok Kasih yang bersinar itu memiliki seseorang yang dia cinta.

Tapi, kenapa sikap Kasih padanya sekarang justru seperti itu? Dia cenderung memperlihatkan kebenciannya pada kehadiran Rivan.

"Kamu sudah menikah?" tanya Rivan duduk bersama adik tingkatnya ini.

Disha mengangguk.  "Ini cafe suamiku, kakak tahu? Aku nikah sama sepupunya Kasih loh," ungkap Disha bercerita.

"Dante? Suami kamu Dante? Wait, sepupu Kasih?"

Disha semakin mengangguk antusias.  Entahlah, ingatannya terlempar pada sosok Kasih yang sebenarnya menyukai Rivan.  Ia pasti senang mendengar Rivan ternyata di Jogja.

Rivan mengerutkan dahinya.  "Dante punya sepupu dua munkin, ya.  Karena kemarin saat aku ketemu dia di  soft openingnya sepupunya bukan Kasih."

"Hah? Kakak datang?" tanya Disha yang diangguki oleh Rivan.  "Kemaren sepupu Mas Dante yang dateng ke sini cuma Kasih kok."

"Bukan, kemarin yang datang namanya Hansa."

Disha tampak memutar bola matanya.  "Kakak pikun banget sih.  Hansa itu ya Kasih, nama lengkap Kasih kan Kasih Hansa Iswari."

Rivan diam.  Ia kaget, tentu saja kaget.  Sosok gadis yang terlihat membencinya adalah Kasih? Kenapa?

***

Kasih menyesap kopinya sembari tetap membaca naskah.  Ia benar-benar harus bekerja keras karena saat ini kantornya sibuk dengan banyak kiriman naskah.  Sekarang sedang marak penulis novel online yang ingin menerbitkan bukunya secara offline.  Jadi para penerbit juga mulai lebih selektif untuk pemilihan naskah yang akan mereka ambil.

Sebuah piring berisi sandwich mendarat di samping laptop Kasih.  Ia mendongak dan menemukan sosok Disha yang tengah memegang perutnya menatap Kasih dengan tatapan datar.

"Kamu di sini?"

Disha tak segera menjawab, ia memilih duduk di depan Kasih.  "Jelas, ini cafe suami aku."

Kasih memutar matanya.  "Suami kamu, sepupu aku," ucapnya lalu kembali mencoba menekuni naskah yang tadi ia baca.

Mereka sama-sama duduk berdiam.  Hanya saja Disha terus menatap Kasih datar.  Wanita hamil itu belum sama sekali mengalihkan pandanganbya dan itu membuat Kasih merutuk kesal karena tak bisa berkonsentrasi.

"Kamu mau ngomong apa?" tanya Kasih menyerah.  Ia menutup laptopnya dan balas menatap Disha.

"Kamu ketemu sama Kak Rivan, 'kan?" Paru-paru Kasih mengembang begitu juga matanya yang berpenjar kaget.  "Di soft opening cafe ini, kamu ketemu dia, 'kan?" Tak mungkin mengelak membuat Kasih hanya terdiam mendengar Disha.

Keduanya saling tatap seolah memastikan apa yang sedang memenuhi pikiran masing-masing.  Kasih yang berharap bisa membaca apa yang sedang Disha pikirkan, sedangkan Disha tengah menebak perasaan Kasih sebenarnya.

"Kamu gak jawab berarti iya," kata Disha.  "Lalu kenapa kamu ngenalin diri kamu sebagai Hansa?"

"Kamu tau dari mana?!" tanya Kasih benar-benar terkejut.  Ia kira Disha mengetahui adanya Rivan pada saat itu dari Dante.  Tapi tentang mengenalkan dirinya sebagai Hansa, walau Dante juga tahu, tapi Kasih sangat mengenal sepupunya.  Dante takkan mau ambil pusing tentang urusan kenapa Kasih bohong.  Kecuali itu Ela dan Disha.  Dua wanita itu pasti akan menjejalkan rasa ingin tahunya pada Kasih ketika mereka sadar Kasih menyembunyikan sesuatu.

"Kenapa?"

Kasih membuang muka tak mau beradu pandang dengan Disha.  "Aku cuma gak suka ketemu kakak tingkat alumni kita," jawabnya mencoba terlihat tak acuh.

"Wah, usaha yang bagus, tapi aku terlalu tau kamu buat percaya sama omongan kamu barusan.  Jadi jawab yang jujur, kenapa? Kenapa kamu ngenalin diri kamu sebagai Hansa ke Kak Rivan?"

Kasih menggigit bibir dalamnya, menciptakan sebuah cekungan di pipinya.  "Bisa kita gak perlu bahas ini?" cicitnya.  Ia jelas paham betul kalau dirinya tak mungkin menang mendebat Disha.

Disha menggeleng keras menolak.  "Kasih Hansa Iswari, jawab aku," kata Disha tegas.  "Sih, aku tau kamu banget, tapi ngebohongin Kak Rivan setelah kamu ngejauhin dia bertahun-tahun lalu.  Rasanya itu gak bener, dia bahkan dulu gak pernah tau alasan kamu ngejauhin dia dan sekarang kamu malah nambah bohong ke dia, kenapa? Kenapa, Kasih?"

Kasih diam tak ingin menjawab.  Benar-benar tak ingin menjawab. Sudut hatinya terluka ketika Disha kembali mengingatkan Kasih pasa masa lalu.  Rivan, ya ini semua berawal dari pria itu.  Apa salahnya hingga Tuhan mempertemukan Kasih kembali dengan sumber lukanya itu?

"Kasih jawab!"

Kasih menatap Disha berang.  "Aku gak mau jawab, karena aku emang gak harusjawab pertanyaan kamu itu."  Tangannya dengan tergesa memasukkan laptop dan alat tulisnya yang berserakan di meja.  Ia harus menyelamatkan diri sebelum Disha semakin mengungkit luka lamanya.

Ia bergegas berdiri dan berjalan melewati tubuh Disha yang bertahan di tempat duduknya.  Namun seperti yang ia duga, Disha takkan mengalah sampai ia mendapatkan jawaban.

"Kamu masih suka sama Kak Rivan.  Iya, kan?" Disha mendongak mendapati langkah Kasih terhenti di samping tubuhnya tanpa harus ia mencekal.  Ia dapat melihat dinding di mata gadis itu runtuh dan mengakui segalanya.  Segala tentang perasaannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DISPARAITRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang