Kak Tono, ada yang mau gue omongin, gak deng ada yang mau gue kasi

Butuh beberapa menit, balasan pun datang.

SiAlan

Mau ngomong apa ? aciee nembak ya ? biar gue aja yang nembak Lis. Kan kodratnya begitcu

Alice

Taman belakang,  gak usah geer kalo lo gak seganteng Ivanka!

Alan kembali mendengus lalu melirik Ivanka yang sedang memakan mie ayam di hadapannya dengan  lahap.

Gue lebih ganteng dari Ivanka! batinnya.

"Kenapa liat liat ? naksir lo sama gue ?" ujar Ivanka sinis.

Alan masih melihat Ivanka, seketika ia sedikit marah ketika menyadari temannya itu memang tampan.

Dengan kesal ia kemudian menginjak kaki Ivanka, membuat lelaki itu mengutuk. "Lo beneran suka sama gue ya!" teriaknya.

"Najis" Alan lalu bangkit dari mejanya, meninggalkan Bryan, Dicky, dan Ivanka yang masih menatapnya bingung.

Alan baru saja ingin membuka handphonenya, namun diurungkan ketika ia melihat Alice dengan rambut panjangnya sedang mencabuti dedaunan. "Aww sakit" ucap Alan melengkingkan suaranya.

Alice sedikit terkejut dan menatap Alan dengan kening berkerut. "Kenapa lo ?"

Alan menormalkan wajahnya. "Kasian daunnya dicabutin kaya gitu, ni kaya gini contohnya." Alan mencubit lengan kiri Alice. Dengan cepat gadis itu meringis.

"Awww! Sakit tau!" Alice mengusap lengannya, walaupun tidak begitu keras, tetapi tetap saja sakit.

"Nah kaya gitu, rasanya. Makanya jangan cabut cabut daun!" Alice memutar bola matanya malas. "Ter se rah"

"Mau ngomong apa ?" Alan kembali memasang senyumnya.

Gadis itu akui, untuk beberapa detik ia sedikit terkesima, jantungnya 'sedikit' berdetak lebih cepat. Namun sesegera mungkin ia tetap fokus. "Oh ini, bentar"

Alice membuka tasnya, mengambil kotak kecil dengan pita pink diatasnya. "Nih, gue liat lo buang ini beberapa hari lalu." Alan terdiam.

"Kenapa diambil ? Itu cuma sampah"

"Tapi lucu tau gelang sama bandananya! Coba bentar ya gue pake". Alice memakai bandana merah maroon tersebut ke kepalanya, dengan cepat Alan kembali menariknya.

"Ih, sini! bagus tau!"

"Jangan dipake!" Alan mulai kesal.

Alice tertawa, entah kenapa kini ia suka melihat Alan yang kesal. "Lo kesel ? HAHAHAHA"

Alice kembali memakai bandana merah maron tersebut, dan Alan kembali menariknya. Begitu seterusnya, hingga entah kenapa Alan menjadi sedikit marah. "GUE BILANG JANGAN DIPAKE!" Alan menarik bandana tersebut lalu membuangnya sejauh mungkin.

Alice diam, sedikit takut pada raut wajah Alan yang emosi. Alan tidak pernah begini sebelumnya. "Maaf"

Alan tak berbicara lagi, ia mengambil kotak tersebut lalu kembali membuangnya. Pandangannya tertuju pada Ivanka yang berada sedikit jauh dari pandangannya, menghadap ke arahnya dan Alice.

Alice mengikuti pandangan Alan dan mencoba menoleh ke belakang, namun kepalanya di cekal. "Jangan liat ke belakang"

Alice mencoba memutar tubuhnya. "Kenapa ?"

Alan tak menjawab. Alice kembali mencoba menghadap belakang. "Kenapa si—"

"Jangan liat ke belakang! Ish! Bisa gak sih lo dengerin gue, Lis" Alan kembali kesal, kedua tangannya masih setia menempel pada kedua pipi gadis tersebut.

Namun, sebuah suara memberi jawaban tentang rasa penasarannya. "Lan! Woy!"

Alice membulatkan matanya. "Itu Kak Ivanka ? Serius ?" Ia mencoba menoleh ke belakang, tetapi lagi-lagi kepalanya dicekal oleh tangan Alan, untuk tetap menghadap depan. "Liat gue lis"

"Lan, lo apaan si"

Dengan cepat lelaki itu merangkul leher Alice, membuat gadis itu berusaha melepas rangkulan nya, namun tenanganya tak cukup kuat. "Alan! Sialan! Lepas!"

"Gak mau, ayo pulang." Alan menarik Alice yang masih dalam rangkulan tangannya. "Dan lo,Van! Jangan tikung gue!"

Ivanka mengerutkan dahinya. "Yaelah, padahal kan gue mau traktir dia"

TBC

Terima kasih telah membaca !

27 Desember 2018.

STONENơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ