BRRAAKK

"Nafa, nggak bisa nutup pintu pelan-pelan?" tegur mama yang sedikit marah melihat tingkah anaknya yang tidak sopan.

"Iya ma," jawabnya singkat.

"Ada siapa di depan? Kok ada ribut-ribut?" tanya mamamya lagi.

"Nggak ada siapa-siapa, salah denger kali ma. Hujan lebat gini siapa juga yang ribut-ribut." jawab Nafa mengelakkan.

Ia langsung melangkah ke lantai atas menuju kamarnya. Lagi-lagi Nafa menimbulkan suara bising dengan membanting pintu kamar dengan emosi yang masih memuncak. Ia sama sekali tak menghiraukan kata-kata mamanya barusan.

Nafa melempar tasnya asal, lalu merebahkan diri ke atas kasur bernuansa biru putih itu. Tanpa sadar air matanya jatuh perlahan, ia menangis. Menangis dalam diam, tanpa suara. Bayangan Jeje yang menangis sambil meminta maaf melintas begitu saja di pikirannya. Tapi, kata-kata tentang Jeje yang pacaran dengan Ghazi juga terngiang jelas di pendengarannya. Ia merasa serba salah, di satu sisi Jeje adalah sahabatnya, dan Ghazi adalah mantan kekasihnya. Sebenarnya tidak salah jika Jeje punya hubungan dekat dengan Ghazi, toh Ghazi juga bukan pacarnya lagi. Tapi, di hati Nafa masih ada nama itu, nama itu yang juga berarti bagi sahabatnya.

"Faa..." teriak seseorang di depan pintu kamar Nafa "Woiii, diem ae lo, gue masuk yak?" sambungnya.

"Pintunya nggak gue kunci, masuk aja!" jawab Nafa datar.

Arsyi menarik gagang pintu itu dan mendudukkan dirinya di atas sofa dekat meja belajar Nafa. Nafa yang tengah asik memainkan leptop di meja belajarnya masih tak menggubris keberadaan Arsyi.

"Fa, kok gue dikacangin sih, ih. Matiin leptopnya bentar Fa!" keluh Arsyi sambil menggoyang-goyangkan kursi yang sedang didudukkan Nafa.

"Iya-iya bentar," jawab Nafa lalu mematikan leptopnya, dan memutar kursi menjadi mengarah ke Arsyi.

"Nah gitu dong," ujar Arsyi dengan senyum sumringahnya. "Fa, gue pengen nanya, lo sama Jeje kenapa?" Arsyi kembali bicara, kali ini ekspresi wajahnya sudah mulai serius.

"Ini urusan orang dewasa, bocah mana paham." jawab Nafa sambil terkekeh, namun tawanya terdengar dipaksa.

"Elah, dasar lo. Tapi gue serius Fa, kalian kenapa sih? Gue tu sahabat elo, Jeje juga sahabat gue, kita tu sahabat, kalo ada masalah cerita, kita selesain bareng-bareng. Bukan ngomong-ngomong kasar kayak tadi. Itu nggak bakal nyelesaiin masalah Fa." kata-kata Arsyi membuat Nafa bungkam. Pikirannya kini berkecamuk.

"Gue tadi sempat nelfon Jeje, pengen nanya ke dia, tapi dia malah matiin telfon dari gue." sambung Arsyi lagi.

"Jeje pacaran sama kak Ghazi," jawab Nafa singkat, dengan nada suara rendah dan lesu. Kata-katanya berhasil membuat Arsyi ternganga.

"What? You seriously? Nggak mungkin, masak Jeje jadian sama kak Ghazi? Eh tapi tunggu, kak Ghazi yang mana nih? Mantan lo?" Arsyi terus mencerocos tak percaya dengan apa yang diucapkan Nafa.

"Iya, Ghazi mantan gue, gue tau dari Ghibran, gue juga udah nanya sama Jeje, dan Jeje bilang dia emang suka sama kak Ghazi," jawab Nafa tanpa semangat sambil mengayun-ayunkan kakinya. Raut wajahnya datar saja, tapi jelas di balik itu ada rasa sedih dan kecewa yang menyatu.

"Kok jadi kayak gini sih? Bukannya kak Ghazi lagi deket sama adek kelas yang waktu itu? Terus kenapa tiba-tiba jadiannya sama Jeje?" Arsyi masih bingung dengan apa yang terjadi di antara sahabatnya.

"Gue juga nggak tau, yang pasti mereka jadian 2 hari yang lalu," ujar Nafa "menurut lo, gue egois nggak kalo ngebenci Jeje cuma gara-gara dia jadian sama mantan gue?" tanya Nafa pada Asryi, hal ini dari tadi terus mengganggu pikirannya.

HESITATIONWhere stories live. Discover now