Mereka kelihatannya tertarik pada perban yang membalut lukanya.

Menambah cepat langkahnya, Jimin bernafas lega saat sampai didepan kelasnya yang sudah ramai.

dan hal yang sama terjadi, semua teman kelasnya kini tertuju padanya.

Memperhatikan gerak gerik pemuda Park yang berjalan mendekati meja dan meletakan tasnya disana sebelum mengeluarkan buku sejarah yang entah berapa belas kali Jimin sudah tamat membacanya.




Jimin bersyukur hari ini sekolah selesai begitu cepat.

Setelah bel pulang berbunyi, Jimin tidak langsung pulang. Dia memilih untuk menunggu semua siswa sekolahnya habis terlebih dahulu. Tidak mau lagi mendapati tatapan penasaran dan intimidasi.

Berjalan tergopoh gopoh dan tak absen memegangi pergelangan tangannya. Jimin menahan sakit, demi sampai dirumah dengan selamat.

Nampaknya hari ini dia tidak akan mencari kerja Part time seperti biasanya.

Ia merasa sakit, tanpa diberitahupun Jimin yakin punggungnya lebam karena didorong ayahnya tadi pagi.

Keringat sebesar biji jagung, Jimin menahan rasa sakitnya dibawah terik matahari yang pas benar diatas kepalanya.

Sudah bisa melihat atap rumahnya dari kejauhan, senyum Jimin mengembang seolah mendapat secercah cahaya didalam lubang kegelapan.

'Sebentar lagi Jimin' ujarnya membatin, menyemangati diri sendiri agar tidak tumbang.

Namun, fisiknya tidak menyesuaikan keinginan hati. badan Jimin melemas, bisa Jimin rasakan kakinya berubah seperti jelly sebelum benar benar dagunya menyentuh aspal dan membuat luka baru disana.



Seokjin yang baru saja membeli bahan makanan untuk bulanan menyerngitkan alisnya, mendapati seseorang yang terletak tidak berdaya diatas aspal panas.

Berlari kencang tidak peduli lagi dengan tomatnya yang sedikit lagi akan terjatuh. Seokjin mendekati pemuda itu, berjongkok, dan membalikkan tubuh pemuda SMA.

Seokjin terkejut, mengenali siapa pemuda yang tampaknya nyenyak dalam pingsan. Walaupun aspal begitu panas, yang bisa saja membuat pipi pemuda SMA itu menjadi daging steak.

Itu adalah Park Jimin tetangga yang baru saja berkenalan dengannya.

"Astaga dagunya!" Seokjin berteriak histeris mendatangkan beberapa orang yang lewat untuk berhenti dan mendekat.

"Ada apa ini?" Tanya seorang pria dan seokjin hanya bisa menggeleng.

Pria itu menyingkap poni Jimin yang menutupi wajahnya "loh bukannya ini anaknya Eunsun, namanya Park Jimin kalau tidak salah"

"Iya paman. dia Park Jimin. Bisa bantu aku bawa dia kerumah sakit?"

"Tentu"

"Pakai mobilku paman"


Seokjin dan pria tadi memboyong Jimin kerumah Seokjin untuk mengambil mobil Seokjin yang terparkir rapi digarasi rumah.

Mereka kemudian menuju Rumah sakit. Mobil dikendalikan oleh si pria penolong sedangkan Seokjin memangku kepala Jimin yang tidak sadarkan diri dibangku belakang.

Meratap; takut. Seokjin mengigiti jari jari kuku cantiknya. Dia kasihan dengan Jimin tapi enggan menatap pemuda itu yang dagunya dipenuhi darah mengalir hingga kerah baju dan leher.

Seokjin takut darah, itu penyebabnya.

"Ayo paman, cepat sedikit. Darahnya terus mengalir"

"Iya iya"

Sekitar lima belas menit diperjalanan menuju rumah sakit, akhirnya mereka sampai. Pria penolong keluar dari mobil, memanggil suster untuk mengambil brankar dan meletakan Jimin disana.

Brankar didorong cepat, masuk keruang ICU. Dan pada saat sampai disana, Seokjin dilarang masuk. Suster memberi pengertian agar Seokjin tetap diam disana sementara ia dan perawat lainnya mengurus Jimin.

Seokjin mendudukan diri dikursi tunggu. Mengambil ponsel, menelpon suaminya untuk memberitahukan kepada tetangga baru mereka bahwa Jimin pingsan ditengah jalan dan sekarang sedang ditangani dirumah sakit.

Tidak butuh waktu lama, suami Seokjin menelpon balik. Mengatakan kalau dirumah Jimin sedang tidak ada siapa siapa.

Seokjin bingung, siapa yang akan dia hubungi lagi.

Dia tidak kenal teman Jimin atau sanak saudara pemuda itu.







3 jam berada diruang sewarna putih dan berbau obat. Jimin akhirnya membuka matanya perlahan setelah selama itu. Menyesuaikan bias matahari yang menembus kaca jendela mengenai mata sembabnya.

Pandangannya masih mengabur, Jimin menggosok matanya agar bisa melihat dengan jelas. Disana berdiri memunggunginya seorang pria dengan bahu tegap berlapiskan jas putih.

Jimin mengerjapkan matanya berulang kali, dan melengguh tanpa sadar karena penglihatannya belum juga terlihat jelas.

Sedangkan pria berjas putih yang ternyata Dokter yang menangani Jimin, memutarkan tubuhnya setelah mendengar suara Jimin.

Dokter muda itu berjalan mendekat "hai Park Jimin. Sudah sadar?"

Jimin tidak menjawab, memilih untuk membawa tubuh lemasnya duduk. dan sebagai dokter yang baik Yoongi—yah dia adalah Min Yoongi sang Dokter muda yang sangat berprestasi— dia membantu Jimin.

"Masih merasa sakit?" tanya Yoongi lagi, namun Jimin tetap diam tidak menjawab. Yoongi menghela nafas maklum. Memang sering seperti itu jika seseorang sadar dari pingsan; blank.

Jimin mengangkat tangan kirinya yang terasa sakit. Tangannya diinfus. "Aku dirumah sakit?" tanya Jimin, kepalanya mendongak menatap Yoongi.

"Hm" Yoongi berdehem

"Tapi kenapa?"

"Sentuh dagumu, pergelangan tanganmu, punggungmu terasa sakit kan?"

Jimin mengangguk dan menyentuh bagian tubuhnya yang duperintahkan Yoongi.

Dagunya diperban tempel, dan tangannya diperban lilit. Sepertinya ini perban baru, karena sangat rapi dan pas.

"Itu adalah jawaban untuk pertanyaanmu" jelas Yoongi dengan senyum manisnya. "Juga kau dehidrasi berat" Yoongi beralih menarik kursi disamping ranjang Jimin dan duduk disana "berangkat sekolah tidak sarapan ya?"

Jimin mendudukan kepalanya, tangannya mengelus punggung tangannya yang tidak tertanam jarum infus. Dan menggeleng pelan.

Yoongi tersenyum kecil, tangannya terngkat mengelus pelan rambut Jimin "lain kali harus sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah" Jimin menatap Yoongi yang masih mengelus kepalanya.

"Setidaknya minumlah air putih yang banyak jika memang tidak ada yang menyiapkan sarapan untukmu"

Jimin hanya diam. Bagaimana Dokter ini tahu kalau tidak ada siapapun yang selalu menyiapkan sarapan untuknya.

Yoongi bangkit "aku sepertinya harus pergi. Ada banyak pasien lain yang harus kutangani. kakakmu mungkin sebentar lagi akan kembali—"

"Kakak?"

Yoongi yang awalnya sudah ingin berbalik pergi. Kembali memutar tubuhnya menghadap Jimin yang berusara.

"Yah tuan Seokjin" setelah berkata sedikit. Yoongi langsung melenggang pergi.

Seokjin?

Seokjin ya?

Si tentangga baru?



——tbc

Kakak ReadersNim, mohon apresiasinya hehe.
Vote sama komennya.
Terima sayang.

You Should Love Yourself [YoonMin]Where stories live. Discover now