"Lo itu ngerti disiplin gak!!"ujarku masih saling bertatap dengan Alam, cowok itu membuang pandangan-nya, sepertinya sangat malas meladeni-ku, tentu dia pikir jika melakukan kesalahan akan semudah itu memberi alasan padaku, tidak aku sudah menunggu lama dan aku benci alasan yang terkesan di buat-buat, aku yakin seratus persen dia sengaja telat untuk memancing amarahku. Benar sekali tak ada lagi respon positif ku tentangnya bahkan alasannya saja selalu terdengar buruk di telinga-ku.

"Gue ada urusan penting"ucap Alam datar.

"Bodo amat, mau urusan penting kek apa kek, tapi kita udah janji dari kemaren jam sepuluh, kalo gak bisa datang kabarin kelompoklah!!"emosi-ku lepas landas, entah kenapa aku selalu saja berujung emosi jika bersangkutan dengan Alam, cowok ini sangat terlalu menyebalkan menurut-ku.

"Gue lagi males banget debat sama lo, jadi tutup mulut lo 'Anak Beasiswa'!."Alam menatap-ku kembali dengan ekspresi kelewat dingin dan penuh penekatan dalam setiap katanya. Bodohnya mataku malah memanas mendengar kalimat terakhir-nya, cowok itu selalu saja tahu membuat-ku terluka, bermain dengan kata-kata saja dia sudah sukses membuat-ku merasakan sakit luarbiasa. Panggilan dalam kutip anak beasiswa terdengar sangat remeh keluar dari mulut-nya dan itu terdengar sangat menyakitkan bagi-ku, aku tahu itu nada remeh yang mengejek, seakan dia mempertegas strata sosial seorang Hana.

Aku bernapas perlahan, menahan agar air matanya tidak jatuh, Alam masih menatap-ku tapi kini dengan raut puas, karena Alam yakin aku merasa terluka dengan kalimatnya.

"Brengsek"satu kata itu lepas dari mulut-ku begitu saja, membuat Raiden yang sejak tadi menyaksikan menatap-ku khawatir, sepertinya Raiden tahu aku sedang menahan air mata kini. Namun di lain sisi Alam justru menyeringai senang, puas dengan reaksi yang ku- berikan.

"Hai sori telat yah"suara centil itu tidak membantu suasana sama sekali, satu anggota kelompok lagi datang, Fiona Olinda. Primadona sekolah yang selalu bernampilan norak, itulah gelar yang ku berikan padanya, aku beranjak membuat Fiona yang datang dia buat bingung bukan main.

"Oke gue keluar dari kelompok ini dan silahkan urus dengan baik" Aku melemparkan kertas tugas ke meja lalu meninggalkan kafe dan ketiga manusia itu. Raiden terkejut, Alam puas bukan main dan Fiona sangat-sangat bingung.

Aku melarikan diri sejauh mungkin dari kafe, air mata-ku ingin sekali jatuh saat ini tapi aku tidak akan menangis di depan umum, aku kira itu cukup memalukan. Akhirnya aku menemukan sebuah taman sepi tak jauh dari sini, di sana ada sebuah perosotan dengan terowongan besar di atasnya, sepertinya menangis di sana tidak terlalu buruk. Akhirnya aku naik ke perosotan itu dan sembunyi disana, menyembunyikan kelemahanku-tangis.

^^

Aku melirik jam tangan berwarna cokelat di pergelangan-ku, aku terkejut tak terasa setengah jam aku menangis disini ,benar-benar rekor terbaru. Mungkin perkataan Alam terlalu menyakitkan makanya aku bisa menangis selama itu. biasanya jika aku selesai bertengkar dengan Alam, paling-paling hanya 5 menit untuk melepaskan tangis dan emosi-ku tapi kali ini beda, pria itu tahu bagaimana menjatuhkan diri-ku dengan baik.

Hingga berkeping-keping!

Aku tidak mengerti kenapa hati-ku selalu lemah jika berurusan dengan cowok kejam itu, atau karena cowok itu tahu cara membuat-ku takluk. Tidak, tidak semudah itu aku takluk. Hidup-ku sudah terlanjur seperti neraka semenjak kejadian itu. bukan karena aku merebut posisi utama dalam penilaian seluruh sekolah- peringkat pararel, hingga membuat cowok itu selalu berada di nomor dua, bukan lagi soal klub kami yang selalu adu mulut tentang konsep dan kegiatan jangka panjang. Kami selalu beradu argumen tentang apapun, tentu saja aku tidak akan mau jika pendapatku kalah dengan Alam, begitu juga Alam. Dia tidak akan mau jatuh di bawah kaki seorang Hana, bukan?.

Awalnya pertengkaran kami hanya sebatas adu mulut yang tidak bermakna kasar, sampai saat-kejadian itu. Dimana aku menemukan Alam berada di parkiran mobil dengan Ayah-nya, bukan bermaksud menguping aku hanya tidak sengaja lewat dan menemukan cowok itu tiba-tiba di tampar cukup keras oleh Ayahnya-pemilik sekolah.

Alam saat itu hanya diam, namun aku berhasil menemukan emosi di mata cowok itu dan satu hal lagi ada darah segar muncul di ujung bibirnya. Tidak seharusya aku ikut campur tapi aku malah benar-benar terjun langsung kesana, Meneriaki nama cowok itu dengan alasan dia di panggil ketua OSIS perihal pameran foto. Karena kedatangan-ku, Ayah Alam segera melarikan diri dengan masuk ke mobil, tak lama mobil itu melaju menyisahkan Alam dan aku di tempat itu, aku masih ingat dengan jelas apa yang dikatakan Alam waktu itu.

"Lam lo gak papah?"

"Berhenti ikut campur urusan orang lain!!"

"bukan gitu.."

"Jangan pernah berpikir kalau gue semenyedihkan itu, pikirin hidup lo sendiri Anak Beasiswa!"

Sejak saat itu sebutan anak beasiswa selalu keluar dari mulut Alam, mungkin memang terasa memalukan jika seseorang ditampar oleh orang tuanya sendiri, tapi aku tidak bermaksud membuat Alam malu karena aku menyaksikan hal itu, aku hanya khawatir sebagai sesama teman, tapi semua itu tidak pernah di mengerti sama sekali oleh Alam.

Akhirnya aku beranjak, setelah ku rasa cukup bisa mengendalikan diri, aku turun dari perosotan melalu tangga di terdekat, namun betapa terkejut aku saat menemukan Raiden sedang asik duduk di atas ayunan gantung di depan-ku, cowok itu nyengir kuda membuat-ku merasa serba salah, pertama ingin marah tapi nggak jadi, kedua pengen balas senyum tapi suasana hati-ku lagi gak baik. Aku mendekat lalu menyisahkan satu langkah di depan cowok itu lalu menatapnya bertanya.

"Lo ngapain disini?"

"Lagi nunggu cewek"katanya.

Aku menoleh ke kanan-lalu ke kiri, aku tidak menemukan siapapun. Atau jangan-jangan ceweknya-Raiden belum datang. Ah masa bodohlah aku pengen pulang sekarang, oh iya semoga saja Raiden tidak tahu kalo aku nangis di sana-perosotan terowongan, bisa tengsin gila jika cowok itu tahu.

"Cewek lo belum datang yah, yaudah gue pulang duluan yah"Aku menarik diri untuk pergi namun mata-ku baru saja menangkap ada sesuatu yang salah dengan wajah cowok itu, wajahnya lebam di beberapa sisi, dengan siapa lagi cowok itu berkelahi. Tapi meskipun hati-ku berusaha berbalik dan peduli nyatanya otak-ku sama sekali tidak mengizinkan, aku tidak mau berurusan lebih dengan cowok- tandai cowok paling populer di sekolah, sudah cukup hidupku sengsara seperti neraka karena Alam, dia tidak mau menahambah itu menjadi neraka paling dasar gara-gara berurusan dengan fans-fans fanatik Raiden di sekolah.

"Gue nunggu loh dari tadi"ucap Raiden pelan tapi pasti.

"Huh?"oke aku sukses berbalik dan mendekat kembali, menemukan wajah Raiden tertunduk, matanya sibuk menatap sepatu conversenya yang bergoyang-goyang.

"Kok lo nangisnya lama banget?"tanya Raiden mendongak, menatap-ku.

"Gue gak nangis"nada-ku meninggi.

"Gak usah bohong. Itu ada sisa air deket ujung mata"tunjuknya.

"Mana? Ishh ini mah air hujan"

"Kok boongnya aneh, Mana ada hujan orang dari tadi terik gini" Raiden berdiri lalu mengacak rambut-ku gemas, bagaimana bisa aku berbohong dengan alasan yang terlalu bodoh. "Gue kira lo cukup pinter tapi kok bohongnya terkesan bego sih"canda Raiden lalu tersenyum simpul menatap-ku, bodohnya lagi aku hanya diam, sepertinya ada sesuatu yang aneh menjalar di tubuh-ku entahlah aku tidak bisa pastikan itu apa, tapi rasanya geli. []

Fanboy Wanna-beWhere stories live. Discover now