OTY 07. Perjanjian Ode dan Yerisha

Mulai dari awal
                                    

"Kenapa, Yer?"

"Bisa bicara."

"Penting?"

Ya pentinglah, rutuk Yerisha dalam hati. Kalau tak penting mana sudi ia mengetuk pintu kamar pemuda itu.

Anggukan pelan Yerisha membuat Ode menggeser tubuhnya sedikit bersembunyi di belakang pintu. Seolah sengaja memberi ruang Yerisha untuk memasuki kamarnya.

"Masuk saja. Aku sedang belajar soalnya," sahut Ode memberi isyarat dengan tangannya, mempersilahkan Yerisha memasuki kamar.

Sebenarnya Yerisha enggan, berhubung hal yang ingin disampaikannya penting. Ia memasuki kamar itu.

"Duduk di mana saja," suruh Ode berjalan kembali ke arah meja belajar. Sementara Yerisha lebih memilih duduk di atas kasur berukuran besar milik cowok itu.

"Jadi mau bicara apa?" tanya Ode memutar kursinya menghadap ke arah Yerisha.

"Berhubung kita satu kampus..." Yerisha menjeda sebentar kalimatnya, memperhatikan raut wajah pemuda itu. "Aku nggak mau orang lain tahu hubungan kita terutama anak kampus."

"Kenapa?"

"Males ditanya-tanya."

"Bukan karena nggak suka orang tahu aku kakakmu?"

Itu kamu tahu alasannya.

Diamnya Yerisha dipahami oleh Ode sebagai jawaban ya. Pemuda itu mengangguk paham sebelum menjawab,"Oke. Aku mengerti. Aku nggak akan ngasih tahu hubungan kita sama siapapun."

Jawaban Ode sedikit membuat Yerisha lega.

"Oke."  Setelah mengucapkan itu, Yerisha segera meninggalkan kamar pemuda itu, tak lupa menutup pintu kamar meninggalkan Ode yang kembali menekuni materi kuliahnya yang sebenarnya baru dimulai beberapa hari.

Cuma beberapa menit kemudian dia memandang ke arah pintu. Raut wajah cowok itu berubah murung. Entah sampai kapan Yerisha akan membencinya?

Ode ingin suatu saat Yerisha menerimanya seperti papa dan mama.

***

"Jadi beneran kak Ode anak FK?" Mata Saelin membulat tatkala Yerisha bercerita tentang buku kedokteran tersusun rapi di rak buku yang berada di kamar pemuda itu. Sebenarnya, Saelin sudah bertanya mengenai Ode pada sesama panitia Ospek yang lebih mengenal pemuda itu. Tapi tetep saja ia masih terkejut mendengar penuturan Yerisha.

"Wow hebat!" tambahnya semakin kagum pada kakak sepupunya itu.

Yerisha mengaduk es coklatnya sebentar sebelum menyeruput isinya dengan sedotan. Sedikit mendinginkan suasana hati dan kepalanya yang sedikit panas.

Usai mengetahui jurusan yang diambil pemuda itu jujur ia kagum sekaligus iri. Jurusan yang nggak akan pernah bisa Yerisha masuki seumur hidup. Yerisha sadar diri dengan kapasitas otaknya yang nggak seberapa.

"Mamamu pasti senang ya punya anak dokter." Saelin mencomot kentang goreng di depannya, tak menyadari raut wajah Yerisha yang mengeruh."Mamamu akhirnya punya penerus."

Mama Yerisha merupakan dokter yang bekerja di salah satu rumah sakit di kota Jogja. Sementara papanya memiliki sebuah perusahaan penerbitan terkemuka. Saelin ingat betul saat menjelang kelulusan, mama Yerisha berharap putrinya itu mengambil kedokteran agar bisa meneruskan tradisi keluarga. Kakek Yerisha dari pihak mama seorang dokter, paman dan bibinya juga ada yang menjadi dokter, sepupunya dari pihak keluarga mama juga banyak yang menjadi dokter. Tradisi memiliki keluarga dokter sepertinya harus putus di Yerisha. Karena gadis itu lebih memilih menyukai sastra dibandingkan kedokteran. Saat sekolah saja, rumpun mata pelajaran IPA tak disukainya dan lebih memilih pelajaran bahasa.

"Eh sorry. Aku nggak bermaksud membuka luka lama," cicit Saelin tersadar Yerisha tersinggung dengan ucapannya barusan. Topik obrolan mereka memang sedikit sensitif terlebih bagi Yerisha yang membenci Ode.

Tiba-tiba saja Saelin merasa kegerahan. Padahal cafe tempat mereka nongkrong full AC.

"Sorry, Yer."

"It's okay," jawabnya berusaha tersenyum.

Saelin akhirnya lebih memilih diam, takut ucapannya tak terkontrol lagi seperti barusan.

Yerisha yang tahu Saelin merasa bersalah mencoba mencairkan suasana."Sudahlah, Sae. Aku nggak apa-apa. Lagian orang tuaku juga udah mendukung pilihanku."

"Eummmm. Iya. Sastra lebih cocok juga buatmu, Yer." Saelin mengaduk es coklatnya dengan sedotan untuk sedikit meringankan rasa gugupnya.

"Oh iya bagaimana dengan kelanjutan novelmu, Yer?" Saelin berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Topik yang tentu saja jauh dari Ode dan kedokteran.

"Belum ada kemajuan. Sepertinya aku butuh riset lebih," ucap Yerisha merasa buntu setelah menulis sekitar lima bab. Padahal ia sudah membuat kerangka cerita untuk novelnya tapi tetap saja ia merasa buntu dan kadang merasa tulisannya biasa saja.

"It's okay, Yer. Aku yakin kamu bisa menyelesaikan novelmu." Saelin menyemangati sepupunya itu. Dia tahu dengan pasti sepupunya itu menyukai dunia tulis menulis semenjak dulu.

"Aku harap begitu," gumam Yerisha sedikit tak yakin. Terlebih pikirannya akhir-akhir ini terpecah sejak kemunculan pemuda itu di rumahnya.

Kapan ya pemuda itu menghilang dari kehidupannya?

Jujur saja Yerisha merasa tak nyaman.

Lonceng yang terpasang di pintu cafe berbunyi ketika pintu terbuka. Lonceng yang menjadi pertanda adanya pengunjung cafe yang memasuki maupun keluar bangunan itu. Cafe four season merupakan cafe hits dan sedang populer di kalangan anak kampus di kota pelajar itu. Sesuai dengan namanya, cafe itu menyajikan tema empat musim yang tak ada di Indonesia. Semi, dingin, panas dan gugur.

Seorang pemuda memasuki cafe, di belakangnya ada teman-temannya yang mendorongnya agar memasuki cafe karena ia menghalangi jalan. Pemuda itu tak bisa mengalihkan pandangan ke arah tempat Yerisha dan Saelin berada. Ketika memasuki cafe, pandangannya langsung tertuju pada kedua gadis itu. Bahkan ketika ia dan teman-temannya memilih tempat duduk di pojokkan, sedikit jauh dari tempat kedua gadis itu, ia rela memutar tubuhnya untuk melihat ke arah mereka lagi.

"Kamu melihat siapa sih?" tanya temannya, pemuda berkaos polo putih yang menyadari pandangan temannya bagai tersedot ke arah lain.

"Hmmm."

"Hmmmm bukanlah sebuah jawaban yang kuinginkan," sahutnya kesal.

"Aku sepertinya mengenal cewek itu."

"Siapa? Mana?" tanyanya penasaran, sementara teman-teman sejurusannya yang lain sibuk memilih menu.

"Hmmm. Lupakan. Sepertinya aku salah orang," sahut pemuda itu enggan menjawab temanya dan lebih memilih menyalahkan pandangannya yang mungkin salah.

-to be continued-

-to be continued-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ODE TO YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang