Rencana Kasmaji

83 1 0
                                    


"Setan itu si Azhar! Kurang ajar, dia. Lihat saja nanti, saya akan bikin dia mampus!"

Sambil menarik napas, gemeratak gigi-gigi geraham Kasmaji saling beradu hingga terlihat benjolan-benjolan kecil di rahangnya. Sebatang rokok yang terselip di dua jari tangan kanannya sudah lima menit ia hisap. Asap dari hidung dan mulutnya ia kepulkan berbarengan desah nafasnya yang berat.

Matanya memerah.

Semalam ia habiskan waktunya menerima masukan informasi dari Opan tentang perkembangan usaha jamur milik para pengusaha kecil. Ia menyebut mereka pengusaha teri. Sebab ia menganggap dirinyalah satu-satunya pengusaha jamur tiram yang paling besar.

Kini amarah di hati Kasmaji benar-benar mendidih. Menimbulkan gelegak panas hingga menyentuh ubun-ubunnya. Ia amat murka demi mendengar kabar rencana Azhar yang mengajak Pak Asep mencari baglog jamur tiram ke suplier lain. Ia menganggap mereka berdua telah mengancam eksistensi kerajaan bisnis jamur tiramnya.

Telah bertahun-tahun ia menjadi suplier tunggal baglog jamur di daerah Cisarua Bandung. Dan kini mulai ada pengusaha-pengusaha teri yang mulai macam-macam dengan mencari pasokan baglog dari suplier lain.

"Tak bisa dibiarkan!"

Hatinya menggeram.

Dengan watak kedengkiannya ia telah menangkap isyarat bahwa Azhar dan Pak Asep akan menjadi pelopor dan cikal bakal kebangkrutan usahanya. Bisa jadi nanti diikuti oleh para pengusaha lain, lalu ramai-ramai mereka pindah suplier, maka bangkrutlah usahanya. Pikirannya langsung menghitung-hitung kerugian yang akan dia tanggung bila ribuan baglog yang selama ini bisa ia jual tiap bulannya tiba-tiba macet. Uang ratusan juta akan menguap begitu saja dari depan matanya.

"Kiamat! Tidak bisa!!"

Ia berteriak kecil.

Nafsu amarahnya makin membara. Seakan ingin segera melumat siapa saja yang mengganggu bisnisnya. Sambil membenamkan dan menekan-nekan sisa rokoknya ke dalam asbak ia menegakkan posisi punggungnya. Pandangannya jauh ke depan dan dadanya naik turun. Ia harus mencari cara untuk menggagalkan rencana Azhar. Atau sekalian ia hancurkan bisnisnya. Tak peduli dengan cara-cara busuk sekalipun, sebab ratusan juta rupiah tak boleh menguap begitu saja. Ia telah lama membangun usahanya, maka menyingkirkan para pengganggu adalah harga mati buatnya. Apalagi seorang pendatang seperti Azhar. Anak ingusan saja sudah berani bikin ulah.

Sebenarnya tidak ada perjanjian apa pun antara Kasmaji dengan para pengusaha jamur yang selama ini membeli baglog dari pabriknya. Apalagi dengan Pak Asep dan Azhar. Pak Asep baru lima bulan merintis usaha jamurnya dengan dana sendiri dan baru sekali membeli baglog darinya, itu pun pembelian tanpa syarat-syarat tertentu. Jadi kalau Pak Asep sekarang berniat membeli baglog dari suplier lain maka itu sudah haknya.

Memang selama ini para pengusaha kecil yang hanya memiliki satu atau dua kumbung jamur tiram biasanya merintis usahanya dengan bantuan dari Kasmaji. Pada awal-awalnya mereka memang disyaratkan membeli baglog dari pabriknya. Namun anehnya pada saat mereka sudah mandiri dan bantuan sudah dikembalikan, mereka merasa masih diwajibkan untuk membeli baglog darinya. Ini yang memberatkan para pangusaha kecil sebab harga baglog oleh Kasmaji dipatok dengan harga tinggi sekitar 2.700 perbuah, sedang ada suplier lain dengan barang yang sama cuma seharga 2.000 perbuah, bahkan ada yang cuma 1.700 rupiah.

Tapi Kasmaji memang licik. Ia sengaja menampung semua hasil panen jamur para pengusaha kecil dengan harga sedikit lebih tinggi dari pengepul lain untuk mengikat mereka. Ia berani membeli dengan harga 9.000 perkilo, sedang pengepul lain paling tinggi 8.000 perkilo. Mungkin taktik inilah yang menjadikan para pengusaha menjadi tidak enak hati sama Kasmaji. Apalagi dari awal merintis usaha sudah mendapat bantuan pinjaman dana darinya.

Tapi mereka sering mengeluhkan harga baglog Kasmaji yang terlalu mahal, namun tak ada yang berani bilang langsung kepadanya sebab Kasmaji sudah dianggap tokoh setempat.

Dan ketokohan itulah yang dijadikan senjata olehnya untuk memperalat orang-orang.

Ia gila hormat, hingga warna hatinya penuh dengan bercak hasad. Siapa pun yang ia lihat usahanya mulai maju maka ia anggap sebagai kompetitor, bahkan lebih dari itu, penghalang dan penghambat rezekinya.

Ia benar-benar tak ingin ada orang yang setara dengannya lalu mendapatkan penghormatan seperti dirinya. Ia takut sedikit demi sedikit ketokohannya memudar dan tak ada lagi yang menaruh hormat padanya sebab pamornya telah dikalahkan.

"Tidak! Sekali-kali tidak akan kubiarkan itu terjadi! Persetan dengan Azhar!"

Suara-suara sumbang dalam hatinya pun semakin liar.

Malam berikutnya ia kembali begadang sendirian di atas Gazebo miliknya. Sambil duduk bersila ditemani segelas kopi hitam dan kepulan asap rokok yang tak henti-hentinya keluar dari lubang hidungnya ia memandangi hamparan ladang yang berderet di atasnya barisan-barisan kumbung jamur tiram miliknya. Ia membungkus tubuhnya dengan jaket kulit hitamnya. Tak lupa ia lilitkan syal di leher dan memakai peci hajinya. Udara dingin yang menusuk-nusuk tulang tak ia rasakan. Bahkan seakan tak sanggup melawan hawa panas yang berasal dari dalam dadanya yang malam itu sedang membara.

Suara-suara serangga malam saling bersahutan dengan irama yang berbeda seolah memberi bisikan-bisikan rencana pada dua telinganya.

Lama ia termenung memikirkan sesuatu. Namun tetap saja ia dilanda kebingungan. Bila ingin membuat rencana-rencana jahat terhadap Azhar, maka rencana apa yang tepat buat menghentikannya? Lalu siapa yang akan melaksanakannya? Dan bila rencananya ketahuan maka habislah reputasinya sebagai orang yang ditokohkan.

"Ah, brengsek! Lalu apa yang harus saya lakukan?"

Kasmaji memaki-maki dirinya sendiri.

"Atau sebaiknya saya minta saran saja sama orang-orang dekat. Tapi sama siapa?" sambungnya dalam hati.

Sejurus kemudian ia mengeluarkan handphone-nya. Ia mencari nama-nama. Lama ia teliti satu-persatu namun belum juga mendapatkan orang yang pas di hatinya. Hingga tiba di abjad Z belum juga ketemu. Ia ulangi lagi dari abjad A, lalu B, C, dan D.

Di deretan nama-nama berawalan huruf D itulah baru ia mendapatkan satu nama yang pas, yaitu Dahuri.

"Ya, Dahuri!"

Dialah orang yang paling tepat untuk dimintai saran dalam urusan penting ini. Boleh dikata Dahuri adalah sosok sentral dalam kesuksesannya selama ini.

Dahuri adalah pengusaha rumah makan di Bandung yang mendapat pasokan jamur tiram dari Kasmaji. Juga dikenal sebagai investor. Sangat dekat dengan orang-orang penting di lingkungan pemerintah maupun sesama pengusaha. Dan juga sangat dekat dengan Kasmaji. Dia sering memberikan suntikan dana besar kepada Kasmaji untuk mengembangkan bisnis jamur tiramnya.

Tapi di balik suksesnya sebagai pengusaha rumah makan, ia adalah orang yang sangat licik dan kejam. Sangat disegani di kalangan dunia hitam. Kelicikannya inilah yang sedikit demi sedikit menular pada Kasmaji, hanya saja Kasmaji belum merambah dunia hitam sebab ia masih dianggap tokoh dan orang bersih yang bergelar Pak Haji.

"Ya, Dahuri. Akhirnya Tuhan menunjukkan jalan juga!"

Seraya bangkit dari duduknya ia berdiri mendekati dinding Gazebo. Tangan kanannya masih memegang handphone sedang tangan kirinya berpegangan pada tiang.

Ia tersenyum menyeringai.

Turun dari Gazebo ia berjalan pulang sedang hati dan pikirannya penuh dengan lintasan-lintasan liar tentang rencana busuknya. Sampai rumah ia langsung masuk hendak menuju kamarnya. Dilihatnya istri dan anak lelaki satu-satunya sudah lebih dulu pulas. Ia langsung berbaring di tempat tidurnya seraya berharap mimpi indah menyaksikan kebangkrutan para pesaingnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 23, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HADIAH CINTA DARI ISTANBULWhere stories live. Discover now