Dalam setiap pandanganku, jika orang lain sudah mengeluarkan reaksi yang begitu saat mereka mengatakan sesuatu. Itu berarti mereka benar. Mereka tidak bohong. Terlebih saat itu juga Zayn menyuruhku untuk melupakan perkataannya.

Aneh sekali bukan?

Kalau memang benar mengenai ia yang telah menjagaku dan mengetahui segalanya tentangku. Mengapa aku tidak mengenalnya? Mengapa aku baru bertemu dengannya? Dan mengapa dari dulu ia tidak menampakan diri?

Inilah yang membuatku bimbang. Di sisi lain, aku yakin jika ia tidak mengada-ada. Tapi jika kulihat dari alasan mengenai kami yang baru bertemu, maka kebenaran dari perkataannya cukup diragukan.

Walaupun hanya perkataannya yang spontan sekaligus sepele, itu membuatku sangat bingung. Semua orang yang ada di masa laluku adalah orang yang sangat berarti bagiku. Jadi, kalau memang ia berasal dari masa laluku, ia juga akan sangat berarti bagiku.

Tapi, apakah seorang Zayn Malik bisa jadi sangat berarti bagiku?

Aku sendiri tidak yakin dengan jawabanku. Untuk saat ini, mungkin tidak. Tapi ... aku tidak tahu bagaimana kedepannya.

Pikiran acakku mengenai ucapan Zayn terhenti begitu saja ketika sebuah palang merah menghalangi jalan masuk apartemen. Aku mengerem mobil dengan mendadak. Sedikit bersyukur karena sebuah umpatan bisa kutahan ketika seorang pria berumur mengetuk kaca mobilku.

"Maaf, Nona, ada keperluan apa anda datang ke kawasan apartemen ini?" ucap seorang pria dengan suara berat.

Karena kaca yang memang sudah terbuka, aku menoleh.

"Penghuni baru. Aku baru membelinya dari seseorang. Tapi, kurasa ia sudah pindah dari sini." jelasku padanya.

Pria itu terlihat tidak yakin dengan perkataanku. Aku sempat memicingkan mata dan berpikir mengenai hal apa yang membuatku terbebas dari palang merah sialan yang menutupi gerbang apartemen.

"Atas nama Zayn Malik. Aku membelinya dari orang itu. Kalau kau tidak percaya, aku ada bukti surat--"

"Oh! Tidak perlu, Nona. Silakan masuk, maaf telah mengganggumu." Ujarnya memotong perkataanku.

Ia tersenyum sekilas dan dengan terburu-buru langsung menekan tombol yang berfungsi untuk membuka-tutup palang.

Aku membalas senyumnya dengan canggung. Aku segera menjalankan mobil untuk masuk pada kawasan apartemen.

Keningku mengeryit begitu mengingat kelakuan pria tadi. Ada yang janggal disini. Kenapa pria paruh baya itu langsung terburu-buru membukakan palang saat aku menyebutkan nama Zayn? Dia bahkan langsung percaya dengan ucapanku meski awalnya sangat terlihat ragu.

"Kak, apartemen ini ... besar juga." ujar Bels. Ia mendongak ke atas, mengamati gedung apartemen.berlantai tiga puluh yang cukup menjulang. Ia juga sempat mengedarkan pandangannya pada lahan hijau yang ada di sekeliling kami.

"Barang-barang kita bagaimana?" tanyanya beberapa saat setelah berhasil mengendalikan rasa takjubnya.

"Nanti ada yang membawanya, mobilku tidak kukunci. Tenang saja, di sini aman."

Tapi, ternyata aku salah. Setelah menyerahkan kunci motor padaku, Bels masih terkagum-kagum bahkan ketika kami sudah melangkahkan kaki menuju  gedung. Dia juga sampai berdecak.

Aku tersenyum tipis mendengarnya. Di lantai dasar, aku menemui seorang pegawai perempuan untuk memberitahunya tentang kepindahanku kemari. Serta mengenai barang-barangku yang masih ada di dalam mobil. Perempuan itu mengangguk sopan dan berkata bahwa semuanya akan segera ia tangani.

"Aku sudah lama sekali tidak menginjakan kaki di bangunan mewah seperti ini," gumam Bels ketika kami sudah berada di dalam lift.

Aku tertawa geli. Selama itukah? Kurasa hanya beberapa tahun.

"Sekolahmu juga mewah, Bels."

Bels menggeleng, "Itu beda, Kak. Kasusnya beda. Dimanapun juga, semewah apapun sebuah sekolah, tempat itu tetaplah sekolah. Dan, aku tidak terlalu menyukai sekolah." elaknya muram.

Aku tersenyum sambil mengusap bahunya, "Nikmatilah saat-saat kau menjadi seorang murid Bels." Aku lalu berbisik padanya, "Jadi, mahasiswa lebih buruk daripada menjadi murid."

Bels tergelak, ia baru berhenti tertawa saat kami sampai di depan apartmenen kami. Lantai 10 dari 30 lantai, dan nomor 5 dari 10 nomor di setiap lantainya.

Tapi, bukan karena itu Bels menghentikan gelak tawanya.Melainkan karena ada seseorang yang sedang menyender pada dinding pemisah antara pintu kelima dan keenam.

"Senang bertetangga denganmu, Bella." ucap lelaki itu –tidak lain tidak bukan, adalah Zayn– dengan senyum manisnya. Bahkan, selama beberapa detik aku ikut terpesona. Tapi, aku langsung tersadar bahwa aku tidak akan pernah terpesona olehnya. Tidak lagi.

"Sayangnya, aku tidak ikut senang bertetangga denganmu." balasku cepat.

Zayn mengangkat sebelah alisnya. "Aku berkata pada Bella, Clarisse," ujarnya tenang.

"Iya! aku senang bertetangga denganmu." kata Bels antusias.

Aku mendengus dan langsung memasukan kode apartemen yang diberitahukan Harry padaku. Pintunya pun terbuka, aku masuk ke dalam tanpa mempedulikan Zayn dan Bels yang masih ada di luar.

Masa bodoh dengannya. Baru saja, aku tiba di sini. Tapi ia langsung menggangguku. Membuatku naik darah, seakan-akan kejadian di kampus tadi tidak cukup membuatnya puas.

"Well, tolong ucapkan pada kakakmu bahwa aku senang kalian tinggal di sini."

"Semoga kau betah, ya. Kalau ada masalah tentang apartemen, kau bisa menemuiku. Aku tinggal di kamar nomor enam."

Sayup-sayup aku mendengar Zayn berkata seperti itu. Dan detik selanjutnya, aku mendengar teriakan histeris yang berasal dari adikku. Bella Morgan.

"Kau dengar tadi, Kak? Dia baik sekali." ucapnya tidak percaya.

Menghela nafas, aku termenung. Perkataan Bels tidak sepenuhnya salah. Bagi seseorang seperti Zayn, melakukan hal semacam itu sudah  sangat baik. Ia bahkan menawarkan bantuan pada Bels jika kami punya masalah dengan apartemen ini.

Tapi, aku merasa jika Zayn bersikap baik hanya kepada orang lain. Tidak, memang bukan semua orang lain. Ia baik kepada Bels dan yang lainnya, tapi tidak kepada aku dan juga Liz.

Ia terlihat juga terlihat ramah ketika kami makan di restoran. Zayn tidak bersikap sombong seperti biasanya, ia bahkan berterima kasih dan menolak uang kembalian ketika kami membayar pada kasir.

Aku merasa jika Zayn berbeda dengan Harry. Kukira mereka memiliki perilaku yang sama, tapi ternyata tidak. Harry tidak pernah ramah kepada orang lain, apalagi mau meninggalkan uang kembalian sebagai tip.  Ia akan selalu membentak orang lain ketika ia sedang marah, tidak peduli orang itu penyebab kemarahannya atau bukan.

Sedangkan Zayn, ia hanya menyentakku ketika marah. Lalu dilanjutkan dengan diam. Hal yang lebih buruk daripada dimarahi secara langsung. Tapi anehnya, ia hanya berlaku seperti itu padaku. Tapi tidak dengan yang lain.

Perbedaan inilah yang membuatku bingung.

Jika Harry benar-benar orang brengsek yang pernah kutemui. Lalu, Zayn itu siapa?

Dia terlalu sulit untuk ditebak.

"Kak, dia seperti malaikat. Ya tuhan, kau lihat tadi? Dia sangat tampan dan juga baik. Aku masih tidak percaya ada lelaki yang seperti itu."

Perkataan Bels kembali terdengar di telingaku. Aku pun menutup telinga, sepertinya perkataan gadis itulah yang membuatku mengubah pandangan pada Zayn. Jika aku tidak melihat sikap baiknya di depan Bels dan orang lain –dan juga suara Bels– Aku tetap memiliki pandangan yang sama kepadanya.

Ia sama-sama seperti Harry. Ia tetaplah orang brengsek yang berani-beraninya mengganggu kehidupanku.

__________________________

Sorry baru update. Disini sikap zayn yang agak-agak misterius(?) mulai muncul. Tapi kalau pembawaannya gagal nanti malah jadi nggak jelas. Wkwk, maaf yaa :p

So, Leave your vomments yap :)

09 Agustus 2014

Protect You || Malik [au]Where stories live. Discover now