Chapter 10

10.6K 1K 10
                                    

"Bels?" teriakku saat memasuki flat yang terasa sepi. Liz sepertinya sedang berangkat kuliah, tapi Bels di mana? Bukankah dia baru saja menelponku?

Tepat saat aku ingin ke toilet, tiba-tiba pintu toilet terbuka begitu saja. Aku tersentak kaget saat wajah Bels tiba-tiba menyembul dari dalam.

"Astaga, Bels. Kau mengagetkanku, mana barang-barang yang belum dimasukan ke dalam mobil?"

Bels menggeleng, "Tidak, Kak, semuanya sudah aman. Di mana lelaki yang pergi bersamamu?" tanyanya takjub. Aku berdecak kesal lalu berbalik meninggalkannya, kulangkahkan kaki menuju kamar untuk mengambil kunci motor dan mobil.

"Aku serius, Kak. Di mana dia?" tanyanya lagi.

Dengan sabar, aku membalikan badan untuk kembali menghadap kepadanya.

"Dengar, ya, adikku sayang," ucapku penuh penekanan. "Tidak usah tanyakan lelaki itu. Dia sangat tidak penting, oke? Sekarang sebaiknya kau pakai ini. Aku akan jalan di depanmu untuk menunjukan lokasinya." Aku menyerahkan sebuah kunci berbandul skateboard padanya.

"Aku? Ini?" tanyanya senang, teralih dari pertanyaannya tentang Zayn.

Aku mengangguk.

"Serius Kak?" tanyanya lagi, aku pun mengangguk untuk kedua kalinya.

"Kak, kau sehatkan? Ini kunci motor. M-o-t-o-r." ujar Bels masih tidak percaya. Ia bahkan sampai mengeja kata 'motor' ketika mengucapkannya.

Aku hanya menatapnya datar tanpa menggubris pertanyaan yang ia lontarkan. Bukankah ucapanku mengenai ia yang boleh menggunakan motorku sudah sangat jelas tadi?

Merasa jika semua barang bawaan sudah lengkap, aku pun keluar dari flat dan mengunci pintunya dengan pintu cadangan yang Liz berikan padaku. Bels mengekoriku dari belakang sambil terus bergumam akan ketidakpercayaannya.

"Tumben sekali, bisanya kau selalu melarangku melakukan apa yang kau lakukan." ungkapnya saat kami sedang berjalan menuju mobil dan motorku terparkir.

Menghembuskan nafas jengah, aku menatapnya. Aku merasa bahwa semenjak Bels bertemu Zayn, dia jadi tambah cerewet seperti ini.  "Ini terdesak. Jadi, mau tidak mau aku harus memanfaatkan kemampuanmu. Sekarang, diamlah atau aku akan mengambil kunci itu lagi."

Dengan sekejap, Bels langsung diam. Dia berjalan di belakangku dengan hening.

Begini lebih baik.

Sebelum memasuki mobil, aku sempat menoleh pada Bels yang sedang mencoba memakai helm dengan susah payah. Hal itu membuatku was-was, apakah ia benar-benar bisa mengendarai motor balap jika menggunakan helmnya saja terlihat sangat kesusahan?

Tiba-tiba saja ingatan tentang Bels yang pernah membawa pulang motorku dari arena balap kembali memasuki benakku. Aku merutuki diri sendiri karena itu. Sudah sangat jelas kalau Bela belum mahir dalam hal mengendarai.

Tapi sepertinya ia akan baik-baik saja kalau aku menyuruhnya memakai motor untuk pergi ke apartemen baru kami. Lebih baik begini daripada aku harus repot untuk kembali lagi ke sini hanya untuk mengambil motor. Lagi pula aku tidak yakin jika Bels bisa mengendarai mobil dengan baik. Ia punya trauma kecil dengan kendaraan yang satu itu.

Dalam perjalanan, aku masih terus menerus terngiang akan perkataan Zayn. Perkataan mengenai dia yang tahu segalanya tentangku. Ia yang mengaku telah mengawasi dan menjagaku dari jauh.

Aku menyakinkan diri untuk tidak mempercayai tersebut, tapi dilihat dari reaksinya setelah mengucapkannya, aku jadi tidak yakin dengan pemikiranku sendiri. Dia terlihat terkejut pada perkataannya sendiri. Ia juga terlihat menyesal sesaat setelah mengucapkan hal itu. Seakan-akan Zayn kelepasan mengatakan sesuatu yang harusnya tidak ia katakan.

Protect You || Malik [au]Where stories live. Discover now