5

43 6 5
                                    

Hidup memang semiris ini,
harapan datang saat kita abaikan,
lalu harapan akan hilang saat kita butuhkan.

~Leo_Arfan_Muhammad~

====================================

Setelah percakapan singkatku dan Ayah, aku memutuskan menutup mata menikmati lagu. Aku menyetelnya dengan volume hampir full agar rasa yang sulit diartikan ini menghilang.

Saat kurasakan mobil Ayah berhenti aku lantas membuka mata. Kutatap sekeliling, kami berhenti di gerbang sekolah. Kenapa? Aku juga tidak tahu. Cukup lama mengamati akupun bertanya pada Ayah.

"Yah, kenapa berhenti di sini? Kenapa bukan di parkiran?" tanyaku menatap ke depan memperhatikan siswa-siswi berlalu lalang dengan alat kebersihannya masing-masing.

"Ayah.." tak ada sahutan.

"Yah?" Kataku lebih keras lagi namun tetap nihil.

"A..." ucapanku tergantung karena seseorang menarik sesuatu dari telingaku, "...Yahh," lanjutku rendah.

Aku berbalik ke arah Ayah. Kulihat benda yang Ayah pamerkan tepat di depanku. Nyengir kuda, cuma itu yang aku tampilkan.

"Gimana mau dengar jawabannya kalau telinga aja, kamu sumpel terus pake ginian. Kamu mau jadi conge, haa?" tukas Ayah protes.

"Astagfirullah, Ayah doain anak gitu amat. Lagian, Yah. Inituh namanya earphone," kataku merebut earphone dari tangan Ayah. Aku memasukkannya dalam saku hoodie yang aku gunakan seraya berucap sangat pelan, "Lagian yang bikin Leo conge tuh malah teriakan Ayah."

"Apa?!" ucap Ayah lebih tepatnya mengintimidasi membuat bulu kuduk meremang.

"Gak ding yah, becanda. Abis, Leo kan lupa tadi kalau masih pake earphone," lanjutku tertawa renyah.

"Kebiasaan kamu, Leo." Ayah geleng kepala.

"Btw.. Kenapa Ayah berhenti di sini?" Tanyaku lagi dengan pertanyaan yang sama.

"Dari tadi kamu emangnya ngapain, Leo. Tadi Eis yang minta untuk diturunkan di sini."

"Ooo.. Eis," ucapku ber-oria.

Hingga aku tersadar dan memutar tubuh serempak.

"Ehh.. Yah, Eis mana? Anak orang hilang, Yah," kataku yang hanya menemukan kursi belakang sudah tak berpenghuni.

"Leo.. Leo.. ngaco kamu tadi ngapain aja, dari tadi Eis sudah turun." Ayah lagi-lagi geleng kepala.

Aku menggaruk tengkuk kikuk, "Udah turun ternyata. Hehe.. baru juga mau diajak kenalan."

"Tadi di jalan bilang kalau Ayah kegenitan, eee sekarang dia yang kegenitan," ujar Ayah entah ke siapa tapi aku merasa disinggung.

Aku diam saja memainkan lidahku.

"Ehh, ini anak. Kenapa gak turun?" Sentak Ayah membuatku terlonjak.

"Astagfirullah.. kaget Yah." Kuusap dadaku sabar, "Ayah juga gak nyuruh."

"Yaudah sekarang, Turun!" Titah Ayah tidak sabaran.

"Sabar dikit napa Ayah."

"Kamu ini---"

"Iya Ayahhh, iya." Kudengar hembusan nafas jengah dari Ayah membuatku tersenyum kecil.

"Kamu langsung ke ruang kepsek saja, Ayah nanti nyusul. Ayah parkir mobil dulu."

LAMWhere stories live. Discover now