"Bro!" Seru Raynand.

Tidak menggubrisnya, Damar malah duduk di bangku Brian yang masih kosong. Menyadari raut wajah Damar, Ray malah menepuk bahu temannya dengan punggung tangan kanannya.

"Kenape?" Tanya Ray.

Damar menoleh sebentar kemudian mengalihkan pandangannya lurus ke depan kembali. "Putus."

"Hah? Yang bener dong kalau ngomong, kambing!"

"Kanaya pindah, putus, salah paham." Ucap Damar.

Ray tahu kata-kata itu saling berhubungan, dan ia pun tahu maksud yang dari Damar ucapkan.

Kanaya pindah, mereka putus karena salah paham.

Iya benar, itulah maksud yang Damar katakan. Ray sangat paham jika sohibnya itu sedang dalam keadaan bad mood. Damar tidak akan diam begitu saja kalau semua masalahnya benar-benar murni kesalahannya, jelas ia akan mencari segala cara untuk bisa menyelesaikan masalah yang ia mulai. Tapi jika ada sesuatu atau seseorang yang membuat masalah padanya—tentang hubungannya dengan Kanaya, ia benar-benar bingung harus melakukan apa.

Itulah sahabat, tidak ada sahabat yang tidak pernah mengetahui kapan sahabatnya sedang senang, dan kapan sahabatnnya sedang sedih. Terkadang Damar sangat beruntung mempunyai teman atau sahabat seperti Ray yang bisa membuatnya tenang ketika dirinya dilanda oleh kebingungan atau keresahan.

Tapi kini Ray tidak tahu ingin mengatakan apa. Apalagi menyangkut gadis yang pergi dan mengakhiri hubungan dengan Damar.

"Yaudah gak usah galau, mending ke kantin kuy, Brian sama Revan udah disana lagi sarapan."

Tidak ada respon dari Damar, lelaki itu masih dalam posisi duduk tegak dengan kedua tangan yang di letakkan di atas meja.

"Bangsat, lo kenapa jadi males gerak samsek?!" Papar Ray.

"Bacot lo, gue lagi gak mood." Semprot Damar.

"Iya gue tahu, mau digimanain lagi? Udah pergi jauh? Samperin? Udah kelas dua belas, bro. Lo mau gak jadi lulus cuma gara-gara dia? Lo udah turun kelas gara-gara kecelakaan dulu, terus sekarang mau turun kelas lagi? Mau lo gak kawin-kawin?!" Ceramah Ray panjang lebar.

Damar berdecak. Ia sedikit mengubah posisinya. "Gue mau pindah kelas aja rasanya." Lelaki itu menempelkan punggungnya di senderan kursi.

"Dih ngapa?"

"Genit banget, gue geli lama-lama." Ucap Damar membuat Ray terbahak membuat beberapa orang yang ada di kelas pun menoleh ke arah mereka. "Bacot banget, lo, kambing!" Damar kesal ketika melihat mereka berdua yang menjadi bahan tontonan.

Seketika tawanya ditahan ketika melihat sahabatnya semakin bete. "Lagian, lo kemaren ngeladenin dia terus. Lah sekarang?" Celetuk Ray membuka pikiran Damar agar lebih mengingat minggu-minggu sebelumnya. "Malah ber-efek, kan, sekarang sama hubungan lo dan Kanaya. Makanya dibilangin sama mama tuh nurut, nak."

"Mana gue tau kalau dia adeknya Derek. Lagian ya, gue gak pernah tega sama perempuan yang punya penyakit parah gitu." Ujar Damar seketika teringat dengan Almarhumah mamanya.

Ray terkekeh. "Yaudah ayo, refreshing dulu lah. Mau jadi apa lo galau terus?"

Ray menepuk kencang bahu Damar kemudian menarik paksa lengan Damar agar sahabatnya ikut bersamanya ke kantin.

unforgettable [COMPLETED]Where stories live. Discover now