D-21; Another Couples

1.6K 254 68
                                    

Senin, 8 Februari 2020.


Jelas sekali di ingatan Irene bahwa Theo menolak keras-keras permintaannya untuk menjemput. Kata pemuda itu, "Gue bukan supir lo!" Tapi pagi menjelang siang ini, mobil Theo sudah terparkir rapi di depan gerbang rumahnya.

"Katanya nggak mauuu," ledek Irene dengan mata memicing dan senyum menyebalkan lewat sela-sela jendela mobil yang terbuka sebagian.

Tanpa menoleh, Theo bersuara datar seperti biasa. "Naik atau gue tinggal," ancamnya.

Otomatis Irene segera membuka pintu mobil dan duduk dengan nyaman di kursi penumpang. Memakai seat-belt kala mata Theo melirik tajam dirinya yang justru hanya termenung setelahnya.

"Oh ya, aku sampai lupa," Senyum Irene kemudian merekah bersamaan dengan matanya yang melengkung membentuk pelangi, "Selamat pagi, Theo tunanganku!" sapanya riang, membuat sang lawan bicara berdecih mendengarnya.

"Kamu udah sarapan?"

Pertanyaan Irene tersebut hanya dibalas anggukan pelan dari Theo. Irene lantas mendesah kecewa seiring mengeluarkan sebuah kotak makan mungil berwarna merah muda dari sana.

"Yaaah, padahal aku bawa sandwich buat kamu," gerutunya lemah. Irene kembali bersuara saat tak mendapat tanggapan dari sang lawan bicara. "Kamu udah kenyang? Belum kan, The? Pasti masih ada tempat kosong di perut kamu! Iya, nggak?"

"Nggak," jawab Theo cepat. "Gue udah kenyang."

Irene kembali bersorak kecewa. "Yaaah... Ini bukan aku kok yang masak, The. Suerrr! Yang masak Ma'am Sunny jadi tenang aja kamu nggak akan keracunan," bujuknya, kalau-kalau itulah alasan yang membuat Theo menolak menerima.

Oh, ayolah. Irene tahu ia memang kekanakkan dengan memaksa seperti ini, tetapi sebenarnya ia hanya ingin berlaku sebagaimana seorang tunangan pada umumnya. Contohnya, membuatkan bekal untuk sang pasangan.

Theo menoleh singkat pada gadis di sebelahnya. "Gue tahu itu. Kalau lo yang bikin pasti udah ada berita kebakaran sekarang," katanya. Terlalu datar untuk disebut menyindir, terlalu sinis untuk disebut ujaran pada umumnya.

"Hahahaha..." Irene spontan tertawa renyah, memukul lengan berotot Theo cukup keras. Hal itu tentu saja membuat Theo meliriknya tajam. "Biasa aja kamu, The. Ternyata kamu tahu banyak tentang aku, ya? Bahkan kejadian kebakaran setahun lalu saat aku pertama kali coba masak pun kamu tahu," tukas Irene dengan tersanjung.

Untung saja saat itu mereka tengah terjebak di lampu merah, sehingga Theo bisa menoleh sempurna pada Irene. Matanya lebih lebar dari biasanya. "Beneran pernah kebakaran?!" tanyanya tak menyangka. Padahal ia hanya mencetus asal tadi, mengira-ngira hal yang akan terjadi jika gadis itu memutuskan untuk memasak.

Irene ikut menoleh dengan mata mengerjap-ngerjap kecil. "Loh, kamu nggak tahu?" Raut herannya langsung berubah cengengesan, "Hehehe... Iya, aku pernah bikin rumah hampir kebakaran," jujurnya, membuat Theo langsung menggelengkan kepala tak habis pikir dan lanjut mengendarai mobil kala lampu hijau yang menyala.

"Tapi cuma bagian dapur aja kok!" bela Irene terhadap dirinya sendiri.

"Sama aja," sahut Theo keki. "Gue yakin pas kebakaran lo langsung kabur dan justru pekerja rumah lo yang matiin apinya," Dengan penuh penekanan, ia bersuara kembali, "Padahal lo pelakunya."

"Woah, Theo..." Irene menggeleng-geleng tak percaya mendengar Theo berkata seperti itu. Hatinya tersinggung, tapi mau bagaimana lagi... itulah fakta yang terjadi.

"Ternyata kamu mengenal aku banget," Irene lanjut bertepuk tangan, "Huhuhu... Aku jadi terharu. Semua yang kamu bilang benar, aku emang lari, hehehe... Tapi kamu harus tahu, itu seram banget loh, The! Apinya besar, merah, dan seakan-akan dia berusaha melahap aku! Dia kayaknya mengincarku karena aku pelakunya! Padahal setelah aku pikir-pikir lagi, aku nggak salah-salah banget, deh. Iya nggak, sih? Siapa suruh pas aku nyalain kompor apinya langsung besar, sampai menjulang tinggi gitu! Jadi aku spontan ambil kain untuk matiinnya dong, The!" oceh Irene bersemangat. "Hiiih... seram banget. Karena kejadian itu aku jadi trauma nyalain kompor," sambungnya bergidik ngeri.

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang