D-4; His Final Decision

1.2K 230 191
                                    

Kamis, 25 Februari 2020.


"Buat apa lo ke sini?" hardik Jennie garang, begitu berdiri di hadapan pemuda yang tak biasanya singgah ke daerah gedung fakultasnya.

Pemuda itu mendongak untuk mengetahui siapa yang telah berani menyentaknya. Namun, ia segera bangkit ketika mendapati raut berang itu.

"Jen, jangan begini," cegah Naya yang akhirnya mampu meraih lengan Jennie, setelah mengejar kepergian gadis itu yang tiba-tiba.

Jennie melepas cengkraman Naya. Ia menoleh jengkel, "Naya, gue masih marah sama lo. Jadi, lebih baik lo jauh-jauh dari gue."

"Jen—"

"Lo ngapain di sini?" tanya Jennie lagi, tak mengindahkan Naya sama sekali. "Gue udah dengar semuanya dari Naya. Bisa-bisanya lo dan Sana melakukan itu di balik Irene. Otak lo berdua udah pindah ke dengkul?!" bentaknya tanpa takut.

Tapi, Theo juga tak gentar. "Irene di mana?" tanyanya, dengan suara berat khasnya.

Kepala Theo menoleh ke kanan dan kiri, serta menengok ke belakang Jennie dan Naya, berharap menemukan kehadiran gadis itu ada di belakang mereka. Sayangnya, tidak ada.

"Kenapa? Mau lo sakiti lagi? Lo masih belum puas, hah?" damprat Jennie lagi.

Theo memejamkan mata. "Oh, please. I just want to know where and how is she right now," balasnya, masih tenang. Tapi, penuh penekanan.

Hari ini Theo kembali memarkirkan mobilnya tak jauh dari rumah Irene—seperti dua hari sebelumnya. Ia akan menunggu gadis itu keluar dari rumahnya untuk berangkat kuliah. Untuk apa? Tidak ada. Ia pun tak tahu kenapa ia melakukannya. Tetapi, hatinya cukup lega setiap melihat Irene tersenyum pada Mr. Johnny sebelum masuk ke dalam mobil dan mengetahui Irene tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Ketika malam datang, Theo pun akan kembali ke posisi ini, untuk menunggu pulangnya gadis itu. Ia merasa tenang dan aman, setelah memastikan Irene dapat kembali ke rumah dengan selamat.

Namun, pagi ini ada yang berbeda. Theo betul-betul mengingat jadwal perkuliahan gadis itu. Jam tujuh pagi ada kelas Miss Tiffany, namun batang hidung Irene tak terlihat bahkan sampai pukul delapan. Theo berpikir, mungkin saja Irene berangkat lebih awal. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk memastikan keberadaan Irene dengan mendatangi langsung gedung fakultas gadis itu.

"Nggak usah sok peduli!" hardik Jennie, membuat Theo tersadar dari lamunan.

Jennie ingin mengamuk rasanya, jika saja ia tak berada di lingkungan kampus. Sayangnya, para mahasiswa yang berada di kejauhan sudah memperhatikan mereka sekarang.

"Orang seperti lo, yang cuma bisa menyakiti hati Irene, nggak berhak untuk tahu keadaan dia," kecam Jennie tanpa ampun, membuat Naya hanya bisa menepuk dahi.

Theo menjilat bibir bawahnya perlahan, "Just tell me, is she fine or not?" tanyanya tak bertenaga. Ia nyaris tak tidur semalam, karena menyelesaikan seluruh tugas perkuliahan dan urusan organisasinya—ditambah harus mengurusi pikirannya yang berkecamuk.

Jennie sontak berkacak pinggang dan menghembuskan napas kasar. "She is fine," ujarnya, "She is fine and always will be fine without you, Theo. Jadi, lo nggak perlu muncul lagi di hidupnya. Just take care of your GIRL!" hardiknya, dengan sorot berapi-api, membuat Naya tercengang.

"Jen, lo bisa lebih tenang—"

"Shut up, Nay! Don't talk to me!"

Di sisi lain, Theo terdiam sejenak, memperhatikan kedua gadis di depannya yang kembali berkelahi. Ia akhirnya mengangguk sekali, "Thanks, udah menjawab pertanyaan gue. Please, take care of her," ujarnya, sebelum memilih untuk beranjak pergi.

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang