D-5; Their Unfortunate Fate

1.5K 240 254
                                    

⚠️ Singularity is a mature story, because it contains self-harm scenes. So, please be wise.


📅


Rabu, 24 Februari 2020.


"Ini," Theo menyerahkan sebuah lukisan yang selalu didambakan oleh gadis itu sejak dulu, namun baru sempat dikerjakannya akhir-akhir ini.

"Hadiah... terakhir dari gue."

Kata "terakhir" itu memberikan rasa nyeri bagi hati Sana. Gadis itu spontan mengulum bibir, sebelum meraihnya. Sebuah kanvas putih berisi lukisan wajahnya yang sedang tersenyum di tengah ladang bunga. Ladang itu mereka temukan saat bersambang ke suatu pedesaan.

"Makasih, Theo, kamu udah mengabulkan permintaan aku," ujar Sana tulus.

Beberapa bulan lalu, Sana meminta Theo untuk melukis dirinya. Sebagai gantinya, Theo meminta Sana untuk merajut sesuatu untuknya. Namun, mereka sempat melupakan perjanjian itu karena sibuk dengan urusan masing-masing.

"Lukisan kamu benar-benar indah," Sana sampai berkaca-kaca. "Makasih, Theo. Aku pun udah merajut sweater untuk kamu," tuturnya.

"Ah, iya, sweater," ucap Theo dengan mata mengerjap, seketika ingat dengan permintaannya dahulu. "Di mana sweater-nya?" tanyanya, mengedarkan pandang.

Sana meraih kotak di sisi—yang telah Marvel ambil dari rumahnya, "Ini," Lalu menyerahkannya pada Theo. "Jangan terkejut, ya."

Theo mengernyit mendengar peringatan itu. Lantas, ia membuka kotak persegi itu perlahan-lahan, dan sontak termenung sesudahnya.

"Ini... benang dari Irene, kan?"

Theo masih mengingat jelas ketika Irene tiba-tiba menghentikan taksi yang mereka tumpangi di Singapura, hanya karena sebuah toko yang menjual perlengkapan rajut-merajut. Theo memang sudah mengira jika Irene akan memberikannya pada Sana. Tetapi, ia tidak menyangka benang itu akan digunakan Sana untuk merajut sweater untuknya.

Sana mengangguk, "Iya, itu benang dari Irene." Ia tertawa lirih. "Aku udah menolak, tapi Irene tetap ingin aku ambil benang itu."

Theo mengernyit. "Kenapa pakai benang dari Irene untuk merajut sweater ini?"

Mata Sana kembali berkaca-kaca. "Dari awal aku udah bersikeras untuk nggak menggunakan benang-benang itu, Theo," lirihnya.

"Aku nggak enak hati. Tapi, setelah kupikir-pikir lagi... Suatu saat nanti, kamu akan hidup bersama Irene. Jadi, aku nggak mau kamu merasa bersalah setiap lihat sweater ini. Maka dari itu, aku menggunakan benang dari Irene. Biar yang kamu ingat adalah Irene, bukan aku," tuturnya perlahan, menata emosinya yang mulai bergejolak.

Theo tanpa sadar meremas sweater di tangannya. Ia mengalihkan pandang ke manapun selain pada mantan gadisnya, "Maaf," Ia menipiskan bibir. "Kita sama-sama tahu, kalau sekarang kita hanya bersahabat. Tapi, orang-orang berpikir lain tentang kita. Jadi, sepertinya lebih baik kita berhenti seperti ini."

Sana berusaha tertawa, namun tak bisa. "Berpikir lain?"

Theo menghela napas. "Mereka berpikir kalau..."

"Kalau kita seperti sepasang mantan kekasih yang belum bisa melupakan satu sama lain?" tebak Sana, berhasil membekukan Theo.

Theo sedikit mengangguk. Sejujurnya, ia tak mampu berbicara seperti ini pada Sana. Theo memang tak lagi memendam perasaan pada Sana, tetapi gadis itu tetaplah salah satu orang yang disayanginya. Theo ingin tetap menjaga dan melindungi gadis itu. Setiap Theo melihat Sana, ia seolah-olah mendapati sosoknya dalam gadis itu. Sana seperti dirinya dalam bentuk hawa, jika saja ia dibesarkan dengan lebih banyak perhatian dan kasih sayang.

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang