D-22; Welcome to The Family!

1.7K 283 73
                                    

Minggu, 7 Februari 2020.


Irene meraih selimut yang menutupi wajahnya dan segera menghempaskan benda itu ke atas dada. Manik matanya menatap langit-langit kamar dengan kosong. Helaan napas keluar dari bibir mungilnya yang mulai kering sebab belum diberi pelembab. Kantung mata yang biasanya tak terlalu terlihat, kini menghitam dan berhasil memperburuk wajah lesunya. Ia tak bisa tidur. Hanya karena mengingat segala bentuk kekurang-ajarannya kemarin.

"ARGHHH!" pekiknya hilang akal. Kedua kakinya menendang udara dengan brutal sampai-sampai kasurnya sudah tak berbentuk lagi dan selimutnya jatuh tak berdaya di atas lantai.

Irene kemudian berbalik hingga wajahnya bertubrukan langsung dengan bantal kesayangannya. Lalu, ia merengek sepuasnya di sana. Sesekali memukul kasur empuknya dengan kedua tangan yang mengepal kuat.

Ia benar-benar cari mati. Hidupnya akan berakhir sebentar lagi. Theo benar-benar marah padanya. Mungkin, kemarin adalah terakhir kalinya mereka akan bertemu. Pemuda itu akan menghilang dari hidupnya, lalu ia putus asa, menangis darah, dan mencoba bunuh diri. Lalu, lalu—

Ah, tidak. Itu terlalu berlebihan. Irene berbalik lagi, menatap langit-langit kamarnya kembali.

Tapi, Theo benar-benar marah padanya. Mengingat bagian itu saja sudah bisa membuatnya merengek kembali. Setelah proses pertunangan ala American style itu, Paman Malvine langsung pergi ke perusahaan, sedangkan Paman Kai tetap berada di ruangannya. Berbeda dengan kedua pria berumur itu, Theo memutuskan untuk melanjutkan kembali aktivitas sebelumnya, yaitu mengamati para dokter senior bekerja. Tentu saja, Irene mengikuti dari belakang bak anak ayam. Namun, tak digubris sedikitpun oleh Theo. Sekalinya pun ditatap balik, pancaran amarah dan raut keki itu berhasil membuat Irene mundur perlahan. Pada akhirnya, Irene memisahkan diri dan menghabiskan waktu membantu memeriahkan acara mingguan di Panti Jompo sebelah rumah sakit—masih satu yayasan juga. Ia memang sering datang ke rumah sakit di akhir pekan. Untuk pergi ke Panti Jompo, atau sekadar menyemangati para pasien di sana, terutama anak kecil.

Setelahnya, Irene menunggu Theo di parkiran. Iya, Irene sampai mencari-cari di mana mobil Theo berada dari sekian banyak mobil yang berjajar. Sepertinya Theo sudah terbiasa menghadapi kelakuannya itu, karena ia hanya ditatap datar seperti biasanya dan kemudian ia dapat masuk ke dalam mobil dengan mudah. Tetapi tetap saja, selama perjalanan Theo tak membuka suara sepatah kata pun, meskipun bibirnya hampir berbusa karena terus berceloteh.

Ting!

Irene melirik ponselnya malas. Paling hanya notifikasi dari provider. Ia balik menatap langit-langit kamar, sebelum mengusap wajahnya berkali-kali. Mulai frustasi mengingat kejadian kemarin.

Ting!

Kali ini Irene menoleh sempurna. Menatap ponselnya yang bercahaya. Namun masih tak berniat untuk meraih benda itu. Hingga sebuah panggilan masuk berhasil membuatnya jatuh dari tempat tidur.

"AAAAH! T—Theo?!" Kedua bola matanya melebar. Mulutnya terbuka saking kagetnya. Ada apa? Kenapa pemuda itu sampai meneleponnya segala? Apa Theo ingin mengakhiri pertunangan mereka? Atau jangan-jangan Theo ingin mencaci-makinya setelah ditahan-tahan oleh pemuda itu kemarin? Seseorang tolong jawab, untuk apa pemuda itu meneleponnya?!

Seharusnya Irene senang, karena ini adalah pertama kalinya Theo yang lebih dulu menelepon. Tetapi karena tingkah kurang ajarnya kemarin, Irene jadi ragu mengangkatnya. Tanpa sadar, Irene berlari ke meja rias dan berkaca, kemudian merapikan rambutnya yang acak-acakan.

Entah untuk apa ia melakukan hal itu, toh Theo juga tak bisa melihatnya, bukan?

"H—Halo, Theo?" Irene tidak tahu mengapa ia jadi sering terbata-bata akhir-akhir ini. Sebelum suara datar itu berbicara, Irene menyelanya panik, masih belum siap diumpati oleh Theo. "Haiiiiii! Apa kabar, The? Baik-baik aja, kan? Aku juga baik, nih. Gimana tidur kamu semalam? Nyenyak? Aku nggak bisa tidur, loh. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Hehehe... Oh iya, The, kamu suka minum susu, nggak? Aku suka, loh. Tapi kayaknya kamu lebih suka kopi, ya? Pantas aja selama ini omongan kamu pahit. Hehehe... Eh... BERCANDA! Hahaha... Aku becanda kok, The, ampun-ampun. Aduh kok kamu nggak ketawa sih—"

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang