D-2; Her Vacant Eyes

1.6K 244 178
                                    

Sabtu, 27 Februari 2020.


Irene membasuh pergelangan tangan yang kembali bercumbu semalam dengan bibir silet. Kantung mata yang gelap, bibir kering dan pucat, pipi tak berwarna, helaian rambut yang berantakan, serta sorot mata kosong tak bercahaya, itulah deskripsi keadaan gadis itu yang terpantulkan bias cermin.

Ia masih hidup, pikirnya. Ketika terpaan air memperjelas rasa nyeri yang menggerogoti luka-lukanya.

Irene benar-benar tak menyangka, jika ia mampu mengutarakan sebagian dari isi hatinya pada Theo semalam. Ia tak pernah seperti itu sebelumnya. Selama ini, ia hanya bisa menelan segala keluh-kesahnya di dalam hati—terus memendamnya sampai ia lupa sendiri.

"Hhh..." helanya panjang.

Sebelum keluar, Irene meraih sebuah handuk kecil dan menyeka sisa-sisa air di tangan. Irisnya mengedar ke sekeliling kamarnya, memperhatikan setiap sudut tanpa terkecuali—memicu memorinya untuk memutar secara otomatis seluruh kenangan yang terjadi di tempat ini.

"Terima kasih," Bibir pucat Irene menyungging tipis, "Kalian udah menjadi saksi perjuangan aku buat tetap hidup sampai detik ini," bisiknya tak bertenaga. "Hanya kalian yang tahu. Jadi, tolong jaga rahasiaku ini."

Begitu manik Irene terfokus pada satu bagian dinding, otaknya langsung berdenyut nyeri tanpa ampun. Tak ada apa-apa di sana. Dinding itu masih sama semenjak kepergian ayahnya. Tampak polos dan tak berhias. Sosok hitam itu telah dilenyapkan sejak lama.

Berarti, semalam ia berhalusinasi lagi. Kedua tangan Irene yang mengepal langsung memukul-mukul pelan kepalanya. Sepertinya, ia sudah gila—benar-benar gila.

Irene buru-buru beranjak menuju kasur, ingin beristirahat sejenak di sana—mengingat ia tak benar-benar tidur semalaman. Obat tidurnya sudah habis tak bersisa. Irene hendak menarik selimut dan menyembunyikan tubuh menggigilnya di balik benda hangat itu. Namun rencananya batal, ketika sebuah notifikasi datang dari ponselnya yang berada di atas nakas.

Ada satu pesan. Tetapi, bukan dari sosok yang ia harapkan. Melainkan, pengirimnya adalah Bibi dari sosok yang ia harapkan.

Tatapan hampa Irene jatuh pada benda itu. Ia tertawa lemah, "Memangnya, aku berharap apa?" gumamnya, mengolok diri sendiri. "Aku yang mengakhiri, tapi aku juga yang mencari."

Bibi Wendy

Halo, Irene! Ini nomor Bibi Wendy. Siapa tahu kamu belum simpan nomor Bibi. Bibi mau ajak kamu untuk makan malam di sini. Bisa, kan? Bibi masak banyak hari ini, sekalian mau minta pendapat kamu tentang resep baru restoran. Oke, Irene? Bibi akan bilang ke Theo untuk jemput kamu hihihi. Bibi tunggu, loh!

10.00

Irene spontan menghembuskan napas panjang, setelah membaca pesan itu. Ia menjatuhkan tubuhnya yang tak bertenaga di atas kasur, hingga wajahnya menghadap pada langit-langit. Tak ada setitikpun cahaya matahari yang ia perkenankan untuk menyelinap masuk, sehingga hiasan bintang di atas sana tetap bersinar indah dalam kegelapan.

Irene terdiam sejenak, sebelum mulai berceloteh, "Hei! Kalian dengar cerita lucu?" tanyanya, mengajak bicara objek mungil di atas sana.

Ia tetap mendongeng meskipun tak ada yang menanggapi. "Aku punya teman yang tergila-gila pada seseorang. Meskipun nggak pernah mendapatkan balasan, temanku tetap mengejar laki-laki itu. Sampai akhirnya, sebuah keajaiban pun muncul. Ternyata, mereka dijodohkan!"

Irene tersenyum miring. "Tunggu dulu, ya. Belum sampai ke bagian lucu," sahutnya.

"Setelah bertunangan, temanku mengira semuanya akan berjalan lebih mudah. Tapi nyatanya, lelaki itu menjalin hubungan dengan sahabat temanku sendiri. Hahahaha... lucu, kan? Makanya, laki-laki itu selalu bersikap dingin dan membenci—ah, sepertinya terlalu kasar, tepatnya sangat tidak menyukai temanku. Oh ayolah, bukankah wajar? Mau bagaimanapun temanku adalah alasan mengapa hubungan mereka berakhir."

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang