Silence

16 3 0
                                    

Hari itu bagaikan cerahnya mentari pagi. Langkah kaki itu memenuhi koridor sekolah. Hanya langkah kaki itu sendirian. Sangat jarang dapat melihat manusia di pagi buta seperti ini. Siapa orang yang ingin datang ke sekolah jam enam lewat limabelas. Tentu saja pemuda itu. Suasana yang hening disertai gemercik sisa-sisa air hujan. Perlahan ia menaiki tangga, satu-satunya akses menuju ke kelasnya. Udara yang cukup jernih, sangat jarang didapatkan di kota. Dengan perlahan tangan putih itu membuka pintu kelasnya.

Mata hitam menyelusuri seluruh ruangan itu. Beberapa kursi di kelas ini terlihat tidak teratur. Berjalan menuju tempat duduknya. Bangku di depan nomor dua tepat persis di sebelah jendela. Pemuda itu menaruh tas punggung cokelat tua miliknya. Terlihat dengan jelas di atas meja itu sebuah kartu tertulis "Adrian Fajar Orian". Adrian membaikan kursi-kursi yang berantakan di kelasnya. Serta mendudukkan dirinya dengan tenang. Mengeluarkan sebuah Headphone berwarna hitam dan smartphone miliknya. Ia mulai memutarkan lagu antah berantah. Pemuda itu tidak peduli, selama lagu-lagu yang terputar dapat mengalihkan perhatiannya dari pintu kelasnya yang berulang-ulang terbuka. Sebuah buku di kedua tangannya.

"Oii! PR sejarah lima halaman---.." samar-samar ia dapat mendengarkan beberapa teriakan keputusasaan milik teman sekelasnya. Kembali ia memfokuskan kepada buku di depannya. Ia tidak memperdulikan genre buku yang dibacanya. Sebuah tepukan mendarat di pundak kirinya. Adrian melirik seorang pemuda lainnya yang tersenyum lebar kepadanya.

"Selamat pagi! Seperti biasanya kau sangat rajin datang pagi, Ad." Adrian memandang beberapa detik terlebih dahulu sebelum membalas dengan anggukan biasanya. Pemuda itu memaklumkan balasan yang diberikan oleh Ad. Kemudian, tersenyum lagi dan duduk di sampingnya. Adrian membiarkan dirinya kembali tertarik kepada dunia buku di tangannya tanpa memperdulikan keadaan kelas yang semakin kacau.

"Hei, Ad. Boleh pinjam PR sejarah sebentar? Seperti biasa kau tau lah. Hanya ingin mengecek saja." Mengambil buku yang ditanyakan. Ad tanpa pikir panjang memberikan buku itu. Sedangkan, pemuda itu tengah asik memeriksa. Di sampul buku milik pemuda di samping Ad, tertulis nama pemuda itu dengan sangat jelas dan tulisan yang rapi. "Erdan Hayden".

Hari itu berjalan seperti biasanya bagi Adrian.

.

.

.

"Ayolah yang benar saja, Hale. Aku benar-benar tidak percaya kau meninggalkan ponsel genggam mahalmu itu di kantin! Bagaimana jika orang lain telah mengambilnya?" seorang gadis remaja dengan rambut hitam mengkilau, mengebrak meja dengan kuat. Alis berkedut dan wajah kesal terlihat jelas. Seorang gadis lainnya, Hale, dengan senyuman kikuk menatap sahabatnya. Jari telunjuk menggaruk sisi pipi kanan yang sama sekali tidak gatal.. Beberapa teman sekelas yang sedang membersihkan kelas saat itu, hanya menggelengkan kepala melihat tingkah keduanya.

"Maaf, Ela. Bisakah sekarang kita ke kantin tanpa kau harus menasehatiku. Bisa saja ponsel itu dibawa pulang dengan ibu kantin. Kita harus segera ke sana." Membangkitkan dirinya, Hale mengangkat tas biru miliknya dan berjalan keluar dengan Ela mengikuti di belakangnya. Gerutuan dari sahabat tidak berhenti. Keduanya menyempatkan sedikit waktu untuk berpamitan dengan teman-teman yang sedang piket pulang sekolah itu.

Perjalanan menuju kantin tidak terlalu berkesan bagi keduanya. Ela, gadis dengan potongan rambut bob. Sudah menjadi sahabat seorang Hale sejak mereka berada di sekolah menengah pertama. Hale yang sekarang sangat berbeda dengan Hale yang pertama Ela temui. Begitu dingin dari tatapan hingga tindakan yang di ambilnya. Banyak teman-teman sekolah saat itu menjuluki Hale dengan sebutan Cold Princess. Hale sendiri tidak mempersalahkannya. Perempuan itu tidak peduli dengan anggapan di sekitarnya. Ela tau bagi seorang Hale, perhatian dan penilaian dari orang tuanya lah yang paling penting.

EquanimousDove le storie prendono vita. Scoprilo ora