Bab 2: Sosok dari Masa Lalu

495 29 2
                                    

Adam

Dua minggu sudah ia tinggal di Jakarta, dan hidup Adam tidak pernah semonoton ini. Ia rindu bermain piano bersama Nenek, ia rindu makan tahu tek pinggir jalan bersama teman-temannya, ia bahkan rindu panas Surabaya yang menyengat. Kehidupannya di Jakarta hanya berkisar sekolah, rumah, kamar, pokoknya meminimalisir interaksi antara dirinya dan ayahnya. Untung saja ayah Adam berprofesi sebagai seorang kapten pesawat terbang sehingga beliau jarang di rumah.

Adam memandang papan tulis dengan tatapan kosong. Sepuluh menit lagi bel tanda pulang sekolah akan berbunyi, dan mulut Adam sudah asam minta asupan tembakau. Dengan bosan ia memain-mainkan jemarinya di atas meja, seolah-olah sedang menekan tuts piano. Bosan dengan piano imajinernya, ia mengalihkan perhatian ke teman-teman sekelas, yang saat ini terlihat sama bosannya dengan Adam.

Ide siapa sih menaruh mata pelajaran Sejarah di jam terakhir? Rio, cowok berambut keriting, yang duduk di samping kanan Adam terlihat sangat susah payah menahan kantuk.

"Dam, sssstt," bisik Rio tiba-tiba.

Adam menolehkan kepalanya, "Apa?" ia balas berbisik.

"Baru inget gue, ada pesan dari Amel buat lo."

Adam mengerang bosan.

"Lo diajak pulang bareng sama dia," Rio menjelaskan sambil nyengir mendengar nada bosan keluar dari mulut Adam. "Untuk yang keseratus empat puluh kalinya,"tambah Rio hiperbola.

"Gue ada urusan," jawab Adam singkat.

"Dan untuk yang keseratus... eh, berapa tadi?" Rio menggaruk keningnya, pura-pura berpikir. Adam memutar bola matanya. "Pokoknya, serangan bertubi-tubi dari Amel dimentahkan kembali, Bung," ujarnya, kali ini meniru komentator sepak bola.

Adam mengangkat bahu tak peduli. Sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di sekolah ini, cewek kelas sebelah yang bernama Amel berusaha mendekati Adam, membuat laki-laki itu jengah.

"Mau nggak?" cecar Rio.

Adam terbebaskan dari kewajiban menjawab pertanyaan Rio ketika bel tanda pelajaran usai akhirnya berbunyi. Dengan segera ia memasukkan satu-satunya buku catatan yang ia punya ke dalam ransel, dan melenggang pergi, sebelum Amel memiliki kesempatan untuk mencegatnya di pintu kelas seperti beberapa hari lalu.

"Dam, woy!" panggil Rio.

"Aduh!"

Ditengah hiruk-pikuk kelas dan langkahnya yang tergesa-gesa, tanpa sengaja Adam menabrak teman sekelasnya yang kalau tidak salah bernama Diandra. Buku-buku dan catatan yang tadinya berada di tangan cewek itu jatuh ke lantai.

"Aduuuhh, kalau jalan lihat-li...," ucapan Diandra terhenti saat melihat Adam yang sedang berjongkok memunguti buku-bukunya yang berjatuhan.

"Sori, gue nggak sengaja," ujar Adam sambil berdiri dan mengangsurkan buku tersebut ke Diandra.

"Iya, nggak apa-apa," niat Diandra untuk marah gagal total.

"Cabut dulu ya," kata Adam seraya melangkah pergi.

"Oke," sahut Diandra.

Tetapi belum dua langkah ia berjalan, Adam dibuat berhenti. Suara Diandra tertangkap gendang telinganya, yang membuat ia spontan membalikkan badan dan melangkah kembali ke arah Diandra.

"Maaf, tadi lo bilang apa?" tanya Adam.

Diandra tampak kaget. "O-oke?" ulang Diandra bingung.

"Bukan, setelahnya," desak Adam.

Diandra menatap Adam dengan heran, "Gue ngomong sama Nina," Diandra menoleh ke arah Nina yang juga sedang keheranan melihat Adam, "kalau catatan ini untuk Laluna," Diandra melambaikan sebuah buku bersampul putih di hadapan Adam.

Adam dan LalunaWhere stories live. Discover now