Bab 10: Rindu Sungguhan

5.6K 169 38
                                    

Laluna sedang menunggu taksi di gerbang sekolah saat didengarnya suara mesin sepeda motor datang dari belakang. Dalam hati ia berdoa semoga orang yang sedang mengendarai sepeda motor ini bukan Adam, tetapi rupanya alam punya rencana lain. Dengan senyuman lebar, Adam menghentikan vespa miliknya di depan Laluna.

"Dijemput bokap?" tanya Adam.

"Nggak," sahut Laluna.

"Wah, kasihan cowok yang tadi pagi," kerling iseng muncul di mata Adam.

"Cowok yang man..." Laluna teringat percakapannya dengan Yoga tadi pagi. "Lo nguping?"

Adam tertawa, memamerkan lesung pipinya. "Bukannya elo yang nguping?" balas Adam. "Gue pikir kaki lo sakit pas gue ngobrol sama Amel tadi, soalnya jalannya pelan banget."

Laluna menelan ludah, kehabisan kata-kata.

"Ternyata bisa ngebut juga jalannya," lanjut Adam, kali ini derai tawanya berhenti dan matanya menatap mata Laluna lurus-lurus. "Tadi kenapa ninggalin gue sendirian?" tanya Adam mendadak berubah serius.

Dipandangi seperti itu membuat Laluna gugup. "Gue kesel," jawabnya pelan.

"Apa?"

"Gue kesel sama lo!" kata Laluna, kali ini lebih kencang. "Belum sehari kita ketemu, hidup gue udah jumpalitan gara-gara lo. Setelah bertahun-tahun nggak ketemu, lo pergi gitu aja nggak ngabarin gue sama sekali, dan sekarang lo muncul tapi... tapi..."

Laluna bingung hendak mengatakan apa, hendak mulai dari mana. Separuh dirinya juga menyadari bahwa ia telah berbicara terlalu banyak.

"Tapi?" kali ini Adam turun dari vespanya, berjalan mendekati Laluna. "Tapi apa?" tanyanya.

"Tapi...." Laluna bergumam, "tapi lo bukan Adam yang gue kenal dulu," ucapnya pelan, entah mengapa kata-kata itu yang meluncur dari bibirnya.

Adam menghentikan langkahnya. Ia terlihat kaget mendengar pernyataan Laluna. Ia lebih kaget lagi saat mata Laluna membalas tatapannya dengan tak kalah tajam, seakan-akan ingin meluapkan segala emosi yang ia simpan tahunan lamanya.

"Maafin gue kalau gue nggak sesuai dengan ekspektasi lo. Maafin gue kalau gue dulu ninggalin lo gitu aja tanpa kabar. Maafin gue kalau hari ini hidup lo susah gara-gara gue," ujar Adam perlahan pada akhirnya, setelah mereka saling bersitatap beberapa lama.

Sebenarnya bukan maksud Laluna untuk menyalahkan Adam, kejadian hari ini juga bukan semata-mata karena Adam, tetapi ada andil Laluna yang tidak bisa mengendalikan perasaan. Laluna pikir setelah bertahun-tahun ia bisa bersikap santai menghadapi Adam, tetapi tidak. Apa yang terjadi antara dirinya dan Adam tinggal di masa lalu, sudah mengusang dan bahkan sudah jadi barang rongsokan. Tidak berguna, pun tak ada harganya. Masa lalunya dengan Adam tak lebih dari serpihan yang sudah jadi abu.

"Na?" panggil Adam lembut.

"Apa?"

"Gue seneng bisa ketemu lo lagi," kata Adam. Kali ini tidak ada senyum iseng di wajahnya, atau mata yang berbinar jahil. Adam serius dengan kalimatnya barusan.

Hampir saja Laluna luluh terjebak masa lalu kalau saja sebuah taksi tidak sedang melaju ke arah mereka. Dengan sigap Laluna melambaikan tangan agar taksi tersebut berhenti.

"Eeeerrr... gue balik dulu," kata Laluna salah tingkah dan mulai mundur menjauh.

Adam menahan tangannya dan dengan lembut serta hati-hati ia menggenggam lengan Laluna. Ia menarik gadis itu agar mendekat, namun Laluna bersikukuh tidak ingin berhadap-hadapan dengan Adam saking groginya. Nyaris seperti bisikan, Adam berkata, "Na, waktu aku bilang aku kangen kamu, aku serius."

2-0 untuk Adam.            

+++

Adam menghentikan vespanya di garasi, dan mematikan mesin. Seketika, suara berisik knalpot vespa digantikan oleh senyap. Adam duduk di jok vespanya, dengan kedua kaki menjejak lantai, berusaha menjaga agar vespa miliknya tetap berdiri seimbang. Ia membuka helm yang melindungi kepalanya, dan menggantungnya di setang. Ia mengusap-usap rambutnya sambil menghela nafas panjang.

Ada seratus enam belas SMA di Jakarta, dan semesta mengharuskan dirinya untuk masuk ke sekolah yang ada Laluna. Satu kelas pula. Serta di hari pertamanya, ia dengan sukses membuat Laluna ditegur di depan orang banyak dan dihukum padahal kakinya sedang sakit. Luar biasa banget elo, Dam.

Adam tersenyum diluar kemauannya mengingat Laluna dan ekspresinya ketika Adam mengganggu dirinya. Hidup ini memang lucu dan ironis, di tengah dunianya yang penuh dengan tragedi seperti ini, Tuhan menghadirkan Laluna, dan gadis itu berhasil membuatnya tertawa lebih banyak dalam sehari pertemuan mereka dibanding orang lain sejak Nenek meninggal.

Malas-malasan, ia turun dari vespanya. Sebulan sudah ia di sini, akan tetapi susah baginya menyebut tempat ini rumah. Tempat ini tidak memberikan efek yang seharusnya dihasilkan oleh sebuah rumah. Tidak ada kehangatan, tak ada kebahagiaan, hanya ada rasa nelangsa dan enggan untuk melangkah pulang.

Adam berjalan selambat kakinya bisa membawanya menuju pintu masuk tempat ini.

***

Please comment and vote yaaah guuyyss. Love you...

Adam dan LalunaWhere stories live. Discover now