07; awan putih tak selalu melambangkan kebahagiaan

Začít od začátku
                                    

"Gak usah banyak protes. Tuh," ucap nya sambil memberikan sebuah kantung plastik berwarna putih. "Gue pamit ya."

Langit langsung pergi meninggalkan Talana yang kini tengah mematung, tak mengerti, atau pura-pura tak mengerti?

Malam itu, setelah Langit datang kerumahnya dan membawakan makanan, ia sama sekali tak menghubungi Talana setelah itu. Hanya sekedar memberi penjelasan apa maksud dari perlakuannya pada Talana saja tidak.

🌱🌱🌱

"Gimana tes nya kemarin?" tanya Mamah yang kini sudah duduk di depan kemudi mobilnya pagi itu.

"Mamah pasti tau jawabannya," jawab Talana asal sambil mengunyah sarapan paginya.

"Mamah cuma tanya," jawabnya pelan sambil memasang seat belt, "Enggak salah, kan?"

"..."

Hening. Tak ada obrolan sama sekali setelah itu. Canggung, itu yang Talana rasakan. Sangat jengah disituasi seperti ini.

Detik pun menjadi semakin melambat karena suasana ini.

"Mamah minta ma--"

"Aku udah telat, see you." potongnya dan segera meninggalkan Mamahnya yang belum usai menyelesaikan ucapannya.

Perempuan itu hanya dapat menatap nanar punggung putri bungsunya itu yang lama-lama menghilang. Ia menyesal telah menikah dengan lelaki yang pada akhirnya hanya dapat memberikan beban yang saat ini dipikul putrinya itu. Tapi ia tak pernah menyesal telah melahirkan anak secerdas Talana.

📌📌📌

Talana merapihkan kolong mejanya, menaruh novel-novel baru menggantikan novel yang telah selesai ia baca.

Lalu mengeluarkan buku dengan 300 halaman kurang lebih, modul matematika wajibnya yang selalu sulit dimengerti. Kalau dikatakan pandai, untuk kali ini otak Talana dibawah standar. Karena, sering kali saat kelas matematika usai ia segera pergi ke kamar mandi lalu membasuh muka dan menyeka kepalanya dengan air. Mungkin ingin membuat yang ada di dalam kepalanya padam.

Lucu memang.

"Nih," seseorang meletakkan 2 buah sandwich dan susu kotak di hadapannya.

Talana mendangak ke atas, lelaki itu kini tengah duduk di meja Talana sambil mengunyah sandwich.

"Jangan duduk di atas meja!" seru Talana.

Lalu kini lelaki itu menyeret kursi yang di letakkan di samping kursi Talana. Lalu tetap sibuk melahap sandwich. Talana hanya menatap Langit dengan tatapan bingung.

"Kenapa?" Ucap Langit tak jelas karena masih sibuk mengunyah.

Talana menggeleng lalu membuka plastik yang membungkus sandwich itu.

"Tal ..."

Talana menoleh, "Boleh pinjem buku catetan fisika?"

Kini Talana mengingat betul, Angel, wanita dengan kacamata kotak itu duduk tepat di belakang Talana.

"Boleh," Talana memberikan buku yang ia ambil dari ranselnya.

"Makasih," ucap Angel, "Talana." tambahnya dengan senyum, dan senyum itu mampu membuat Talana terpesona. Lesung yang ada di ujung bibir Angel dengan mata yang berubah menjadi segaris saat senyum menambah nilai plus pada setiap senyumnya itu.

"Heh," Langit menyapu wajah Talana dengan telapak tangannya, "Masih normal kan, lo?"

"Apa sih, gak jelas!"

"Gue kira lo lesbian."

"Sembarangan!" Talana meninju pelan bahu Langit.

✨✨✨

"Please, please ..."

"Enggak, gue gak mau!"

"Kali ini aja, gue mau ngerasain rasanya istirahat di kantin. Ya ya? Kali ini aja." rengek Langit sambil membuntuti Talana yang tengah memilih buku di perpustakaan.

"Ya udah sana, lo aja."

"Gue gak punya temen selain lo," kini Langit bergayutan di lengan Talana sambil cengar-cengir menampilkan jejeran giginya.

"Ih, Langit!" Talana melepas tangan Langit dari lengannya, "Lo kan bisa cari temen."

"Ya udah ayok bantuin cari di kantin," rengeknya lagi.

Talana memutar bola matanya jengah. "Oke."

"Yeayyy," Langit bergegas menarik tangan Talana dengan cepat.

⏳⏳⏳

"Duduk," Langit menarik kursi merah yang disediakan di kantin, "Lo tunggu sini, biar gue aja yang pesen."

Talana mengangguk.

Celingak-celinguk ke kanan dan kiri. Memperhatikan sekitarnya, mungkin jengah dengan sekitarnya yang sangat ramai dan gaduh.

--

"Waktunya makan ..."

Talana meraih nampan yang dibawa oleh Langit. Menjejerkan piring yang berisi siomay di hadapan Langit yang sudah siap menyantap jajanan kesukaannya itu.

"Sabar," ucap Talana menahan tawa. "Cuci tangannya dulu."

Langit segera berlari ke arah wastafel, sangat ramai, hingga ia harus mengantri. Talana hanya terkekeh.

"Pssttt. . Pssttt. ."

Talana menoleh ke meja yang ada di ujung kanannya. Di sana ada Siwi, syukurlah. Ia tampak murung, kenapa? Ah sudahlah tak usah dipikirkan.

"Gue kira dia gak doyan cowok," ujar salah seorang cewek di samping Siwi, entah siapa. Menyindir, namun terdengar hingga telinga Talana.

Mereka tertawa seakan mencemooh. "Sok gak punya temen karena introvert, padahal emang karena dia gak asik, hahaha." timpal Sisyl

Talana berdiri namun Sisyl juga berdiri seakan tak gentar dengan tantangan Talana, namun kejadian itu usai sebelum akhirnya Nadyan dan Anita serta Langit memisahkan mereka.

--

"Udah, lo lanjutin aja istirahat nya!" ucap Talana sambil melepas tangan Langit dari lengannya.

"Ya lo harus ikut juga, lah!"

"Kenapa harus gue sih?" gertak Talana lalu berhenti, Langit menjajarkan dirinya dengan Talana. "Kenapa sih lo jadi sok deket gini sama gue?"

"Maksud lo?"

"Lo itu gak bego Langit, lo pasti ngerti ucapan gue."

Langit mengusap wajahnya dengan kasar.

"Jangan membodohi diri sendiri," tambah Talana. Lalu ia pergi meninggalkan Langit yang tercengut dengan ucapan Talana.

Kenapa risau? Kenapa gundah? Bukankah memang begitu sifat Talana? Kenapa Langit seakan tak tahu dengan keadaan Talana yang kini memiliki moodswing?

Talana yang dulu ia kenal bukanlah Talana yang kini menjadi remaja introvert serta pemarah. Harusnya ia mengerti. Ia tahu, sangat tahu persis apa yang dirasakan Talana.

Itulah, Langit.

Gomawo udah baca ceritaku😙 terimakasih juga dukungannya dari nol sampai sebesar ini walaupun ya gak besar2 amat tapi,
i prouddddd
Dan mulai hari ini,
Tanggal 21 oktober 2018, aku akan next cerita setelah vote nya 30.
Yeayyyy, tengkyu💖💖
-salam cecan.

Langit [REVISI]Kde žijí příběhy. Začni objevovat