2. Masa Lalu

212K 12.9K 126
                                    

2

Diandra

"Se ... selamat siang." Aku menyapa dengan canggung.

Mitha memang kurang ajar! Jika tahu ada kakak bejat dan ipar cantiknya ikut makan siang, aku akan memilih membantu Mikaila memperbanyak kertas survei kepuasan pelanggan tadi.

Aku tak suka kondisi ini. Mitha tak berkata akan mengundang orang lain untuk makan siang. Jika begini, aku tak perlu menerima ajakannya. Namun, aku tak tahu harus menggunakan alasan apa. Mitha sahabatku, salah satu orang yang paling dekat denganku dan selalu membantuku.

Masalahnya, ada pria yang selalu berhasil membuatku tak nyaman. Meski ada orang lain di antara kami, tetap saja aku tak begitu suka. Aku memang tak takut, tak merasa terancam seperti saat dalam lift tadi. Hanya saja, aku ingin terus menjaga jarak agar tak perlu cemas dan tubuhku tak gemetar setiap melihat wajahnya.

"Biasa aja sih, Diandra, pake siang-siang segala. Basi ah! Sini lo duduk sebelah gue!" Suara riang Mitha entah mengapa seperti suara malaikat maut yang siap mencabut nyawaku detik ini juga.

Aku berjalan perlahan menuju sofa di samping Mitha. Sementara pasangan suami-istri yang kubenci salah satunya itu duduk berdampingan. Sialnya, kini posisiku di seberang sang komisaris utama dan Mitha berhadapan dengan iparnya.

"Gue masaknya banyak banget. Jadi, Bang Dipta sama Kak Arinda gue suruh makan sekalian," jelas Mitha, memecah kecanggungan yang terjadi sejak aku datang.

Akan tetapi, tampaknya mereka semua santai. Hanya aku yang canggung. Sungguh, aku salah ruangan. Ini bukan tempat staf biasa!

Aku bahkan tak berani menyandarkan tubuh di sofa. Aku terus duduk tegap dengan jemari yang sesekali bertaut. Kepalaku kaku, tak banyak menoleh ke arah mana pun, apalagi ke arah pria itu. Mataku hanya terus fokus pada makanan di meja sambil berusaha bernapas dengan baik.

Kami makan dalam hening. Sesekali Mitha melontarkan topik untuk memancing obrolan. Akan tetapi, aku hanya mengangguk seakan-akan setuju dengan pendapat mereka.

"Lucu memang, Kak, kalau punya anak cewek tuh. Bisa namainnya manis-manis gitu. Pokoknya kalau someday Kak Arinda punya anak, jangan kayak Mitha deh namanya, cuma Pramitha Sutanto. Nggak kreatif, kan? Bikin nama tuh yang artinya keren," usul Mitha yang masih sibuk mengunyah susyi homemade buatannya. "Arti nama lo apa, Di?"

"Heh?" Aku mendongak. "Ehm, nggak tahu juga sih. Kamila mungkin terinspirasi dari bunga chamomile," jawabku seadanya.

Mereka tertawa kecil. Aku tersenyum malu karena memang tidak tahu arti namaku sendiri.

"Kalau Kak Arinda, arti namanya apa?" lanjut Mitha.

"Arinda ya Arinda. Eka artinya satu. Putri artinya princess." Ini jawaban Pradipta, suaminya, sedangkan yang ditanya hanya tersenyum manis. "Jadi, kalau digabung," ucapnya sambil sedikit berpikir, "Arinda is the only one princess. I love." Pradipta tersenyum penuh cinta lalu melirik istrinya.

Mitha terbahak. Dokter Arinda tersenyum lagi seraya menahan tawa dengan rona merah di wajahnya. Sementara aku tersedak. Aku benar-benar melakukan kesalahan dengan menuruti undangan Mitha. Melihat Pradipta berengsek yang mesra dengan istrinya, justru membuat sesuatu dalam hatiku kembali muncul. Sakit dan perih.

Aku menerima air mineral kemasan yang Mitha sodorkan. Aku menepuk dadaku pelan, berharap sesak ini segera hilang. Rasanya sulit bernapas. Entah karena makanan yang tersangkut di tenggorokanku atau perasaan asing yang membuatku tak nyaman sama sekali.

"Makannya pelan-pelan, Di. Masakan gue nggak enak, ya?" Mitha menatapku dengan wajah tak enak hati.

Aku tersenyum simpul seraya menggeleng cepat. "Bukan karena masakannya, Mitha. Kayaknya gue kurang konsentrasi pas makan." Aku masih menepuk dada dan mengatur napas. Aku berusaha abai pada sosok di depanku dan terus menatap Mitha serta kakak iparnya.

Jar of Hearts ( Versi Terbit Diandra's Marriage )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang