Badmood

15 3 1
                                    

Malam telah datang. Sinar senja telah menghilang dari bumi. Menyisakan kegelapan yang hanya disinari rembulan sabit. Angin malam tidak begitu kencang. Suara serangga malam masih belum terdengar. Akibat malam yang masih belum larut.

"Isfany. Hahaha." Kekeh seseorang di depan teras rumahnya.

"Lo kenapa cantik banget sih? Gue nggak bisa move on dari lo. Padahal selama gue jadi playboy gue nggak pernah ngerasain euforia sedashyat ini."

"Hati gue ini kenapa? Gue belum bisa mastiin apa gue beneran cinta ke Fafa, atau cuma pelampiasan. Tapi terlalu sayang kalau cewek sebaik Isfany harus gue permainin apa lagi disakitin." David menggeleng gelengkan kepalanya.

Krieet!

Decitan gerbang rumah dibuka terdengar. David langsung menoleh ke arah orang yang malam malam membuka gerbang rumahnya. David tersenyum simpul menyambut orang tersebut. Sudah agak lama ia menunggu orang tersebut.

"Ngapain kamu di sini?." Orang yang datang menyapa David yang masih duduk di teras.

"Nyantai-nyantai, Pa. Bosen di dalam terus. Sumpek. Sekalian tunggu papa pulang." Jawab David.
"Papa tumben pulang malam? Biasanya jam empat sore udah pulang. Ini udah jam tujuh baru pulang." Tanya David kepada orang tadi yang tak lain adalah papanya.

"Iya, Dav. Hari ini kerjaan di kantor banyak banget. Ditambah perjalanan pulang macet. Jadi makin telat deh pulangnya." Jelas Papa.

"Papa sok sibuk." David bangkit dari duduknya menyungging bibirnya.

"Kan ini demi kamu, sayang." Orang tua yang diketahui bernama Satya merangkul bahu David.

"Ih Papa apaan sih? Manggilnya jangan gitu ah? Kayak anak perempuan aja." David makin menyungging bibirnya kesal.

"Terus mau dipanggil apa? Boy? Bro? Or Mas?." Papa Satya makin meledek. David tertawa dengan celotehan papanya yang baginya bisa menghibur hatinya.
"Masuk yuk? Papa bikinin makan malam." Ajak Papa.

"Papa nggak usah masak. David udah siapin makan malam buat kita." Ucap David sambil tersenyum.

"Kamu yang masak?." Satya menyipitkan mata ragu - ragu.

"Ya iyalah Paaa." Kata David memanjangkan kata terakhir.

"Masak apa? Udah pinter masak? Enak enggak? Nggak ada rasanya ya?." Papa Dav yang terbilang humoris selalu bisa menghangatkan suasana.

"Aaelah Papa. Kayak nggak tau anak semata wayang papa aja. Dav udah pinter kali ngurus rumah. Emangnya Dav masih anak kecil?." David memanyunkan bibirnya mengikuti alur hiburan yang dilancarkan Satya.

"Ah, masa? Papa jadi penasaran." Papa menopang dagunya.

"Bener lah. Dijamin makanan buatan Dav enak dan pastinya halalan thoyyiban. Papa pasti bakal ketagithan.."

"Ya baguslah jajanmu bukan jajan sembarangan." Sanjung Satya.

"Tapi ya gitu. Bagian kamar Dav agak berantakan gitu. Tadi ada sedikit keributan di kamar bareng temen temen Dav. Maklumin aja." Ucap David sambil nyengir.

"Kebiasaan." Papa mengacak - acak rambut David.
"Tapi kamu nggak buat macam - macam kan?." Tanya Papa Satya. David menggeleng mantap.
"Yuh ah masuk!." Papa Satya membawa badan David ke dalam rumah.

>skip<

Di tempat lain, seorang pemuda sedang menekuk wajahnya. Ia dikelilingi tembok empat sisi yang menyatu dengan di dalamnya terdapat barang barang yang diletakkan sembarangan. Sorotan matanya menatap tajam sisi tembok yang dekat dengan pintu. Ia menyoroti sebuah foto. Foto gadis berbaju SMA Negeri 7 Jakarta yang berpose menatap kamera sambil menopang dagunya serta tersenyum. Sorotan mata pemuda itu menatap tajam penuh emosi benci, rasa tidak senang.

The End of My LoveWhere stories live. Discover now