Bab 01 || Negeri para pencinta

6K 514 52
                                    

Di Mukalla, aku menganut paham Mazhab Cinta.

Segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan yang pasti. Ia paham bahwa memahami realitas yang sesungguhnya memang seringkali sulit dijalani. Kerapkali menciptakan persepsi untuk menyalahkan segala yang terjadi hari ini. Iya, dia lemah menghadapi hal-hal yang membuatnya sulit tuk mendapatkan solusi.

Dan sekarang seorang remaja 16 tahun yang mengenakan sarung hijau tua, baju koko putih dan peci hitam berdiri di dekat jendela kamar. Kedua mata tajamnya menatap suasana luar yang terlihat gersang.

Di kelilingi bangunan-bangunan tua berwarna cokelat muda yang terlihat kelelahan, lalu lalang insan berpakaian jubah putih dan pakaian khas negeri para wali ini lebih menarik minat laki-laki bernama lengkap Kafa Narelle Stewart itu untuk memperhatikan mereka, daripada memperhatikan sepasang suami istri yang tengah duduk di sofa kamarnya.

Setelah menghabiskan tiga hari di Yaman untuk ziarah di makam Syaikh Abu bakar bin Salim dan Nabi Hud AS, sekarang mereka menginap di Bukhsa Khaila hotel. Seharusnya mereka harus kembali ke bandara Sana'a untuk segera pulang ke Jakarta.

"Aku nggak mau pulang sekarang. Aku mau di sini lebih lama." Kata-kata itu sudah tiga kali terucap dari bibir merah Kafa untuk menolak ajakan orang tuanya.

"Nggak bisa. Kamu harus pulang, bentar lagi kegiatan di pondokmu mau aktif," tolak Rafael—sang ayah.

Terdengar embusan napas keras dari laki-laki berambut sedikit pirang itu. Ia membenarkan letak peci hitam, lalu berbalik badan menatap kedua orang tuanya intens.

"Sejak pulang dari Al-Ahgaff ketemu Gus Hamdan, kenapa kamu berubah kayak gini? Ada apa dengan kalian?" Sang ibu kemudian bangkit dari duduknya berjalan mendekati Kafa.

"Nggak papa. Aku baik-baik aja," ungkap Kafa dengan suara datar.

Kamila mengusap pelan bahu Kafa seraya tersenyum tulus. Ia tak tahu apa yang ada di dalam pikiran anaknya saat ini. Yang Kamila tahu, Kafa memang sangat menyukai Yaman dan setiap berlibur ke Yaman, Kafa memang sedikit susah untuk pulang. Sepertinya tanah Yaman memang memiliki gravitasi yang luar biasa bagi Kafa.

Cuaca siang di Yaman memang sangat panas, tapi Kafa terlanjur jatuh cinta dengan kehadiran masjid Muhdlor Hadramaut dan segala kisah masa lalu yang sedikit membuatnya terluka. Ralat. Tidak sedikit. Bahkan luka itu masih terasa hingga kini. Dalam satu syair Rumi menjelaskan bahwa ia lebih menikmati cinta dalam diam, karena dalam diam ia tak menemui penolakan. Dan sungguh, Kafa belum bisa sampai puncak yang dipijaki tokoh yang dikaguminya.

Kafa membenarkan letak peci, berjalan ke arah ranjang kamar tidur untuk mengambil ransel hitam.

"Gus Hamdan sudah dikasih tahu kalau kamu mau pulang?" tanya Rafa yang masih setia duduk di sofa.

Kafa menoleh ke arah ayahnya. "Sekarang mau dikasih tahu." Ia mengeluarkan ponsel dari ransel, lalu mengetik beberapa kata untuk disampaikan pada Gus Hamdan, selaku keponakan dari pemilik pesantren yang dikenyamnya saat ini.

Rafa dan Kamila berjalan keluar kamar Kafa terlebih dahulu saat remaja itu masih sibuk dengan ponselnya.

Kafa mendesah pelan saat pintu kamarnya kembali tertutup. Ia benci dengan keadaan saat ini. Di mana pikirannya masih terpenjara dalam luka masa lalu yang selalu membuatnya lelah tak berkesudahan. Namun, bagaimana pun juga dia tak boleh egois. Di Sana'a ada saudaranya yang menunggu selama tiga hari dan mereka harus segera pulang dan kembali ke Indonesia menuntaskan pendidikannya.

[2] Mazhab Cinta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang