XII. CATFISHED

20.3K 2.5K 414
                                    

Bicara soal kepercayaan menjadi hal yang paling sulit diraih saat ini. Atau malah mustahil karena tak satupun yang benar-benar mengucap kebenaran. Dari ujung kepala sampai kaki berlomba berlari mencari penyelamatan melalui teriakan muslihat dan kebohongan. Dan begitu sulit bagi Jung Isla mempercayai pria brengsek yang sekarang sedang berbaring di atas kasur tanpa kaus—hanya ditutupi selimut. Kerap menampakan otot-otot yang menggoda untuk dijadikan pelukan. Mencari surga kepuasan di sana.

"Katakan saja yang ingin kau katakan. Tanyakan saja apa yang ada di dalam otakmu. Jika tidak, kemari dan hisap rokok ini," ujar Jimin mengulurkan segelinting ganja –yang tentu bukan sekadar rokok biasa.

"Kau bisa mati."

"Aku sudah lama mati, Jung Isla." Jimin terkekeh sinis. Menertawakan dirinya. Menertawakan Isla. Menertawakaan keadaan. Menertawakan kehidupan penuh kekejian yang kerap menyenangkan layaknya pasar malam dengan gemerlap kesenangan sesaat.

"Begitu—karena Kim Taeri?" Isla bersumpah ini pertama kalinya dia seberani ini. Mungkin menurutnya lebih berani daripada sekadar mengambil rekaman di dalam rumah Subin. Karena di mata Isla, Jimin adalah segalanya. Mengalahkan eksistensi Tuhan yang dia pertanyakan kehadirannya ketika ribuan nestapa menerpa menertawakannya nyaring nyaris meregang jika Jimin tak mengulurkan tangannya, sekalipun menenggelangkap pada keruh.

Jimin sendiri tersentak. Tak begitu terlihat kaget tapi rautnya berubah. Mata sayunya itu terasa lebih mengintimidasi dan memandang dingin dengan elang. Siap menerkam yang cukup membuat Isla membeku di tempat. Takut. Kerap setiap nama gadis itu disebut, Isla menyadari perubahan-perubahan emosi dari Jimin yang beragam. Tapi semuanya begitu signifakan.

"Untuk saat ini pertanyaan itu menjadi retorik, bukan?"

"Itu berarti kau baru saja menjawab iya, Jim." Jimin bungkam. Tak memberikan jawaban apapun lagi. Meneruskan kegiatan membunuh diri perlahan dengan obat-obatan itu. "Sejak kapan?" tanya Isla lagi membuat Jimin menoleh. Pertanyaan yang menimbulkan tanda tanya juga. Jelas Jimin menatap Isla seperti gadis itu adalah sebuah keanehan. Yang memang sebenarnya seperti itu—gadis gila mana yang mau hidup diperlakukan seperti itu oleh Jimin.

"Sejak kapan kau mengilai Taeri?" ulang Isla lebih jelas dan lengkap.

Air muka Jimin menunjukan jelas bahwa dia tak suka arah pembicaraan itu. Tak lagi berpura-pura mengabaikan. Memandang Isla dan menunjukan ketidak sukaan itu. Isla sejujurnya gemetar. Jimin itu menakutkan untuknya. Sangat terlebih ketika marah. Di balik wajah malaikat kelewat baik itu, Jimin punya sisi gelap yang menakutkan dan menawan secara bersamaan.

"Aku tidak menggilainya. Kau yang gila bertanya seperti itu."

Telak. Tak dapat dibantah. Jimin menunjukan bahwa Isla salah dalam sekali lempar. Dan Isla tahu kalau Jimin tak bohong. Sedikitnya Isla mengira bahwa Jimin terobsesi dengan Taeri. Tapi lega ketika Jimin mengatakan bahwa dia tidak seperti itu. Karena kalau Jimin benar-benar seperti itu, akan ada banyak praduga tentang pembunuhan Subin.

"Aku mencintainya," tambah Jimin setelah jeda lama.

Isla kaget. Terkesiap. Diam total tak tahu harus berbicara apa.

Dia merasa semuanya terasa menyedihkan.

"Tapi dia menyakitiku. Membuatku hidup dengan segala rasa bersalah. Menyiksaku. Menghukumku. Dia benar-benar pantas mati. Tapi aku mungkin tidak akan sanggup kalau dia mati."

Dalam dan membuat Isla mengerti perlahan. Setengah dari masalah di kepalanya paska Taeri dan Jimin yang membuat dirinya penasaran setengah mati. Setidaknya dia mengerti kalimat Jimin tentang Taeri yang 'pantas mati tetapi harus tetap hidup'.

SECRETS ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang