Satu

74 14 4
                                    

Mentari pagi menyinari seisi ruangan gadis bertubuh mungil ini. Matanya sembab, ia masih tak menyangka pada takdir yang diberikan Tuhan untuknya.
Ia berharap ini hanyalah mimpi, ia tak tahu harus bagaimana dirinya menjalani hidup tanpa kedua Orangtuanya. Tapi disinilah Elena, masih tetap dirumah yang sama hanya saja rumah ini tak akan sehangat dulu.

"Ma, aku pikir kita akan baik-baik aja setelah ini, aku pikir kita bisa seperti dulu berbagi kehangatan lagi. Kenapa harus berakhir? Kenapa Mama dan Papa pergi? Aku tau aku kuat, seperti yang Mama bilang. Tapi kalo seperti ini caranya, aku nggak mau jadi manusia kuat, Ma."  Elena meneteskan air matanya.

Padahal saat itu adalah kesempatannya untuk merasakan lagi bentuk kasih sayang, tapi sayang ucapannya meminta kedua orangtuanya untuk pulang bermakna lain, mereka pulang untuk selamanya. Ia masih menyangkal atas semua yang terjadi, padahal sudah jelas kecelakaan itu tidak terjadi karenanya. Balutan di kepalanya adalah hadiah asam yang di berikan oleh pahitnya kehidupan, masih terasa sakit tapi tidak terlalu parah.

Elena menyeka air matanya, dadanya begitu sesak, tenggorokannya terasa seperti di cekik karena terus menahan air matanya yang berjatuhan dari kemarin hari.


"Gapapa, El, semua pasti baik-baik aja." Ia menguatkan dirinya untuk kesekian kali, duduk di tepian kasur melirik jam yang menunjukkan pukul 9. Ia turun kebawah, mencoba untuk membiarkan rasa sakitnya tertinggal di dalam kamar.

"Kamu ngapain?" Elena tersedak air yang diminumnya saat Mira mengejutkannya.

"Ng-nggak ngapa-ngapain, Tan." Ia menaruh kembali gelas di wastafel. Melihat wajah Tantenya yang terlihat begitu nyenyak tidur semalaman.

"Cepat sana mandi, nanti ada banyak orang dateng, coba untuk terlihat sebaik mungkin, Tante nggak mau mereka liat kamu kayak begini." Tantenya itu memerhatikan Elena dari ujung  kepala sampai kakinya dan langsung pergi begitu saja.

Elena menghela napasnya, air matanya lagi-lagi siap terjatuh namun ia tahan sebisa mungkin.
kembali ke kamarnya dan membersihkan dirinya, tangisnya kembali pecah, di kamar itu ia akan selalu teringat dengan kejadian beberapa hari lalu, entah kenapa. Dan sekarang hidupnya akan penuh dengan rintangan, ia seharusnya tau itu dari dulu.

☂️

Semua keluarga Mama dan Papa-nya datang. Beberapa dari mereka masih terlihat begitu sedih, Tante Gestalia terlihat sangat tepukul. Adik Mamanya itu memeluk Elena sambil menangis, sudah melepaskan pelukannya tapi kembali memeluk Elena lagi karena terlalu sedih atau memikirkan sesuatu tentang Elena kedepannya. Elena dapat banyak ucapan belasungkawa, ucapan-ucapan semangat salah satunya dari neneknya.

Masih di dalam pelukan neneknya, ia diberi kalung berliontin salju biru "Ini punya Alisha, kakekmu memberikan ini saat mamamu masih kecil, saat Kakek bekerja di luar kota Alisha minta di bawakan oleh-oleh tapi kakekmu malah pulang dengan kalung ini." Neneknya terlihat berkaca-kaca meski berusaha untuk tersenyum. Elena kembali meneteskan air matanya sambil berusaha mencerna setiap kata yang ia dengarkan.

"Alisha tidak suka kalung ini karena warnanya biru, tapi dia terlihat ingin memakainya walaupun egonya terlalu besar untuk anak kecil seusianya."

"Nenek simpan kalung ini, walaupun Alisha nggak suka pasti kamu suka" Elena menundukkan kepalanya, menyembunyikan air matanya dengan uraian rambut yang menutupi wajahnya, begitu juga dengan neneknya yang terus mengusap air matanya yang tak lagi bisa ia tahan.

TeduhМесто, где живут истории. Откройте их для себя